Kita sedang berada di bulan Muharram 1442 H. Sebagian kita hanya tahu, Muharram merupakan bulan pertama dalam penanggalan Islam atau kalender hijriah. Padahal sebenarnya banyak informasi penting yang perlu diketahui terkait bulan ini.
Bulan Pertama
Seperti dikatakan sebelumnya, Muharram adalah bulan pertama dalam penanggalan hijriah. Bagi pembaca yang belum hafal nama-nama bulan hijriah, berikut penulis cantumkan nama-nama bulan dalam penanggalan hijiran secara berurutan.
- Muharram, di tanah air dikenal pula dengan bulan Suro
- Shafar
- Rabiul Awal yang dikenal pula dengan bulan Mulud/maulid (kelahiran nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)
- Rabil Akhir atau Rabiul Tsani
- Jumadal Ula
- Jumadal Akhir atau Jumada Tsaniyah
- Rajab
- Sya’ban
- Ramadhan
- Syawal
- Zulkaedah
- Zulhijjah atau bulan Haji.
Bulan Suci dan Terhormat
Bulan Muharram merupakan satu dari empat bulan mulia yang disebut asyhurul hurum (bulan-bulan suci dan terhormat) Sebagaimana dinyataakaan oleh Allah dalam al-Qur’an surah at-Taubah ayat 36:
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah diwaktu Dia menciptakan lanit dan bumi, diantaranya terdapat empat bulan haram.” ( Terj. Q.S. at Taubah :36).
Yang dimaksud dengan empat bulan haram dalam ayat di atas adalah bulan Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan bulan Muharram. Hal ini dijelaskan oleh Nabi dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Mulim dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu.
Penegasan Larangan Berbuat Zalim Pada Bulan Mauharram
Di bulan Muharram yang suci dan terhormat larangan berbuat dzalim lebih tegas. Sebagaimana diisyaratkan oleh lanjutan ayat 36 surat At-Taubah.
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah diwaktu Dia menciptakan lanit dan bumi, diantaranya terdapat empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu,” (Q.S. at Taubah :36).
Menurut Al-Qadhi Abu Ya’la rahimahullah, penamaan bulan haram karena; [1] diharamkan pembunuhan pada bulan tersebut sebagaimana hal ini diyakini pula oleh orang jahiliyyah, dan [2] Larangan untuk melakukan berbagai perbuatan haram pada bulan tersebut lebih keras dari pada bulan-bulan lainnya. (Lihat Zadul Maysir, Ibnu Jauziy). Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Ibnu Abbas, Qatadah dan yang lainnya.
Syahrullah, Bulan-Nya Allah
Bulan ini disebut pula dengan syahrullah [bulan-Nya Allah]. Sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya.
أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم (رواه مسلم
“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan-Nya Allah (yaitu) Muharram, , , ”. (H.R. Muslim).
Penyebutan ini memberi makna bahwa bulan ini memiliki keutamaan khusus karena disandarkan pada lafdzul Jalalah (Allah). Menurut Para Ulama penyandaran sesuatu pada lafdzul Jalalah menunjukan tasyrif (pemuliaan), sebagaimana istilah Baitullah (Rumah Allah/Masjid), Rasulullah, Saifullah (Pedang Allah, gelar bagi Sahabat Nabi Hamzah bin Abdul Muthalib) dan sebagainya.
Menurut Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah, “Muharram disebut dengan syahrullah (bulan-Nya Allah) karena [1] untuk menunjukkan keutamaan dan kemuliaan bulan Muharram, serta [2] untuk menunjukkan otoritas Allah Ta’ala dalam mensucikankan dan memuliakan bulan Muharram”.
Puasa Sunnah pada Bulan Muharram
Amalan yang dianjurkan pada bulan ini adalah puasa sunnah. Karena puasa pada bulan Muharram merupakan puasa paling afdhal setelah puasa Ramadhan. Sebagaimana dalam hadits di atas.
Imam al-Qari berkata, “dzahir (nampak) nya, yang dimaksud adalah berpuasa pada sepanjang bulan Muharram”.
Sedangkan Imam Nawawi rahimahullah berpendapat, “Jika dikatakan bahwa puasa paling afdhal setelah Ramadhan adalah adalah puasa pada bulan Muharram? Lalu bagaimana dengan memperbanyak puasa sya’ban melebihi puasa di bulan Sya’ban? Maka jawabannya adalah, “Mungkin beliau tidak mengetahui keutamaan puasa Muharram melainkan di akhir hayat beliau sebelum beliau sempat melakukannya, atau beliau ditimpa sakit atau sedang safar sehingga tidak sempat memperbanyak puasa, atau karena faktor lain”.
Imam Ibnu Rajab berkata, “Shiyam tathawwu’ ada dua macam, yakni; [pertama] shiyam tathawu’ mutlak. Puasa sunnah mutlak yang paling afdhal adalah puasa Muharram. Sebagaimana shalat sunnah mutlak yang paling afdhal adalah qiyamullail (shalat malam). [Kedua] Shiyam yang menyertai shiyam Ramadhan seperti puasa sya’aban dan enam hari di bulan syawal. Ini tidak termasuk puasa sunnah mutlak. Karena termasuk jenis puasa yang menyertai puasa Ramadhan. Ini lebih afdhal dari puasa tathawwu’ mutlak.
Syekh Saleh al-Munajjid mengomentari pendapat Ibn Rajab di atas bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa sebulan penuh selain Ramadhan. Sehingga hadits ini dibawa kepada ma’na anjuran memperbanyak shiyam pada bulan Muharram. Bukan berpuasa sebulan penuh.
Puasa Asyura
Selain itu di bulan ini ada hari ‘Asyura yang ditekankan untuk berpuasa pada hari tersebut. Sehingga bagi yang tidak sempat memperbanyak puasa pada bulan Muharram ini, jangan sampai melewatkan puasa di hari yang satu ini.
Karena puasa ini memiliki fadhilah (keutamaan) yang sangat besar, yakni menghapus dosa selama setahun. Sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah bersabda, “Aku berharap pada Allah dengan puasa Asyura ini dapat menghapus dosa selama setahun sebelumnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan hadits lain dari Ibnu Abbas bahwa beliau berkata: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam berupaya keras untuk puasa pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari as Syura dan bulan Ramadhan.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Puasa Asyura dan Tasu’a
Puasa Asyura hendaknya disertai dengan puasa sehari sebelumnya, yakni pada tanggal 9 Muharram. Puasa 9 Muharram disebut tasu’a (hari kesembilan). Hal ini sesuai anjuran tersirat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai sikap menyelisihi orang-orang Yahudi yang juga berpuasa pada tanggal 10 Muharram. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa;
“Ketika Nabi puasa A’syura dan beliau memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa, mereka berkata: “Wahai Rasulullah, hari Asyura adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani!! Maka Rasulullah berkata: “Kalau begitu, tahun depan Insya Allah kita puasa bersama tanggal sembelilannya juga”. Ibnu Abbas berkata: “Belum sampai tahun depan, beliau sudah wafat terlebih dahulu”. (HR. Muslim).
Dari hadits ini para Ulama menyimpulkan, dianjurkan mengerjakan puasa ‘Asyura dengan disertai puasa Tasu’a. Namun hal ini buka suatu keharusan. Artinya boleh berpuasa Asyura tanpa didahului puasa sebelumnya.
Sehingga, tidak mengapa puasa asyura’ disendirikan”, kata Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj, Juz. 3 Bab Shaum Tathwwu’(Puasa Sunah).
Pendapat ini juga dikuatkan oleh Lembaga Riset dan Fatwa Ulama Saudi Arabia yang menyatakan, “Diperbolehkan puasa Asyura’ hanya satu hari saja. Akan tetapi yang lebih utama adalah puasa sebelumnya atau puasa setelahnya. Hal ini merupakan sunah yang telah ada ketetapan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. []