Wawancara Khusus Harian Fajar (Selasa, 9 Oktober 2007 Halaman 19)
Serahkan Jadwal Idul Fitri pada Pemerintah
(Muhammad Zaitun Rasmin, Ketua Umum DPP Wahdah Islamiyah)
Kenapa terjadi perbedaan penetapan tanggal Idul Fitri di tengah masyarakat muslim Indonesia?
Karena ada dua pendekatan yang digunakan, masing-masing pendekatan rukyat dan pendekatan hisab. Metode rukyat memang sangat klasik dan digunakan sejak zaman Nabi Muhammad saw, di mana untuk menentukan penanggalan harus melihat bulan secara kasat mata atau mata telanjang. Sedangkan metode hisab, atau perhitungan ilmu falaq (astronomi). Oleh orang-orang yang menganut metode ini mereka memiliki teori atau ilmu pasti tentang pergerakan planet atau benda-benda di sekitar bumi. Jadi, dengan metode hisab, tanpa melihat bulan pun di akhir Ramadan, tanggal Idul Fitri sudah bisa diketahui jauh hari sebelumnya.
Apa kelebihan dan kelemahan kedua pendekatan ini?
Kedua-duanya (hisab dan rukyat) memiliki landasan kuat dan sama-sama benar (Koreksi: metode rukyah merupakan metode yang kuat untuk menentukan awal bulan yang sesuai dengan Sunnah dan Hadits Shahih, bukan Kedua-duanya (hisab dan rukyat) memiliki landasan kuat dan sama-sama benar) Rukyat harus melihat kemunculan bulan dengan mata telanjang, sedangkan hisab lebih menekankan pada teori astronomi. Nah muncul pertanyaan, kenapa mesti ada perbedaan, karena kemunculan bulan bisa saja tidak terlihat karena beberapa hal, antara lain terhalang oleh awan, atau memang belum muncul. Nah, kalau memang terhalang oleh hujan atau awan, maka jalan keluarnya harus dicukupkan bilangan bulan Ramadan menjadi 30 hari.
Bagaimana Anda melihat perbedaan ini di tengah masyarakat?
Sebenarnya, perbedaan ini tak seharusnya muncul karena berdasarkan hadis yang diriwayatkan Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmidzi dalam kitab sahihnya dan disebutkan pula dalam kitab sahih Syaikh Nashiruddin Al Albani yang artinya: “(waktu) Puasa itu adalah ketika kalian berpuasa dan (waktu) Idul Fitri adalah ketika kalian ber-Idul Fitri dan (waktu) Idul Adha adalah ketika kalian ber-Idul Adha”.
Maksudnya?
Ahli tafsir menyebutkan bahwa puasa dan Idul Fitri adalah ibadah berjemaah dan dilakukan secara mayoritas kaum muslim. Karena itu, dalam literatur Islam dan telah menjadi tradisi kaum muslim bahwa mereka berpuasa atau berlebaran bukan karena masing-masing perorangan. Tapi berdasarkan pengumuman baik melalui masjid-masjid atau mulut ke mulut maupun melalui media canggih seperti sekarang ini dan ditetapkan dan diumumkan oleh pihak berkompeten.
Anda mau mengatakan bahwa harus diputuskan oleh pemerintah?
Betul sekali. Seyogianya, awal puasa dan Idul Fitri diserahkan kepada pemerintah selama pemerintah itu adalah pemerintah berdaulat dan berkompeten dalam menentukan masalah ini, terlepas apapun metode yang dianutnya. Saya garis bawahi kata berkompeten, sebab ini sangat penting. Sebab jika tidak berkompeten, maka tugas itu pindah kepada para ulama dan tokoh-tokoh umat Islam. Dalam hal ini makna pemerintah berkompeten mereka adalah muslim dan bersungguh-sungguh dalam masalah ini. Dan idealnya, setiap keputusan pemerintah harus diikuti secara bersama-sama karena memang begitu penafsiran hadisnya.
Bagaimana dengan organisasi Islam?
Setiap muslim termasuk organisasi dan lembaga-lembaga Islam yang memiliki informasi tentang masalah ini wajib menyampaikan pada pemerintah dan menyerahkan keputusan pada pemerintah. Selanjutnya, pemerintah yang memutuskan, dan keputusan pemerintah inilah yang harus diikuti sehingga selaras dengan hadis yang diriwayatkan tersebut.
Kenyataan sekarang, keputusan pemerintah bukan jadi patokan di Indonesia?
Hisab dan rukyat memang sangat sulit disatukan sampai hari kiamat sekalipun. Tapi ingat, ada titik komprominya. Idealnya kita semua mengikuti apa yang menjadi keputusan pemerintah. Memang kita tidak bisa memungkiri, jika masih banyak umat muslim tetap berkeyakinan dengan salah satu metode tersebut dan mengabaikan keputusan pemerintah. Khusus kasus ini, itu tak masalah. Namun perlu diketahui, di Malaysia salah satu negara yang memiliki karakteristik seperti Indonesia, namun saat berlebaran tidak ada perbedaan hari. Mereka tetap mengikuti apa yang menjadi keputusan pemerintah.
Sikap Wahdah Islamiyah sendiri tentang perbedaan ini?
Saya tidak mau mempertahankan mana metode yang baik dan mana yang tidak baik. Semuanya betul. Meski tidak terjadi perdebatan sengit antara metode rukyat dan hisab, namun semua pihak idealnya menyerahkan keputusan ini kepada pemerintah. Sehingga tak ada lagi perbedaan yang menimbulkan friksi dalam Islam. Karena di sejumlah daerah dengan tingkat fanatisme tinggi, persoalan beda hari lebaran bisa memunculkan friksi-friksi yang dapat mengundang konflik. Pada hari-hari biasa, tidak ada persoalan. Tapi, ketika lebaran dirayakan dua kali, muncul fenomena sentimen kelompok, identitas mulai dipertaruhkan. Dan, mau tidak mau, Idul Fitri yang sejatinya adalah kembali ke kesucian, justru dinodai oleh pertentangan yang merusak silaturahmi.
Pesan Anda?
Mari kita sesama umat Islam saling menghormati tanpa saling menodai. Sekali lagi, metode rukyat dan hisab itu sudah betul semua (Koreksi: metode rukyah merupakan metode yang kuat untuk menentukan awal bulan yang sesuai dengan Sunnah dan Hadits Shahih, bukan Kedua-duanya (hisab dan rukyat) memiliki landasan kuat dan sama-sama benar). Wahdah Islamiyah sendiri akan ikut pemerintah. ([email protected])
DATA DIRI:
Nama : HM Zaitun Rasmin
TTL : Gorontalo, 24 Desember 1966
Alamat : Jl Wijaya Kusumah Raya No 20 Makassar
Pendidikan : Islam University of Medinah
Pekerjaan : Dai
Jabatan : Ketua Umum DPP Wahdah Islamiyah
Organisasi :
– Forum Ukhuwah Islamiyah
– Ketua Forum Ukhuwah Pemuda Islam Sulsel
KPPSI
NB:Tulisan merah merupakan koreksi pemberitaan, dalam wawancara tersebut Ketua Umum DPP Wahdah Islamiyah tidak pernah mengeluarkan pernyataan seperti yang tertulis di atas (yang bergaris bawah). Penjelasan secara rinci antara Hisab dan Rukyah, dapat dilihat di website ini pada Kolom Ramadhan-Kumpulan Artikel, Jum’at 7 September 2007)