Ketika itu kami mendapatkan pesan menggeltik hati disebuah grup whatsapp sejawat. Pesan itu berisikan tulisan dari sebuah kota M di negeri Indonesia dengan percapakan sebagai berikut: “Assalamualaikum Pak dokter, mohon bantu saya… anak saya usia 12 tahun kelas 1 disalah satu satuan pendidikian di kota M di Indonesia. Sebelum covid saya tidak memberikan fasilitas HP untuk anak-anak saya, setelah covid, mau tidak mau saya harus belikan HP. Sang orang tua lanjut mengisahkan empat bulan sungguh saya sangat terkejut, anak saya terpapar pornografi. Hancur rasanya batin saya, anak saya menonton film porno, baik yang sesama jenis maupun yang beda jenis.”
Orang tua yang mengisahkan ini menceritakan bahwa ketika membaca chat dengan teman-temannya, bahasa yang digunakan bahasa bar-bar, perbincangan aneh-aneh. Lalu sang orang tua menawarkannya ke sang dokter untuk dibawa konseling.
Dari kisah nyata diatas, maka sangat merasa prihatin dengan kondisi sebahagian anak Indonesia. Anak yang seharusnya mengalami fase kehidupan dengan tuntunan dan kasih sayang, cinta, perhatian, penghormatan, lemah lembut, sopan, penghargaan terhadap pandangan anak, tanpa kekerasan melalui pendidikan, dan perlindungan anak hingga masa baligh. Namun ditengah banyaknya pergolakan dan romantika yang dihadapi anak seperti usia dari kasus diatas, sudah seharusnya para orang tua yang diberi amanah sebagai pemimpin untuk mengambil peran penting dalam pendampingannya.
Dalam Hadis Nabi Muhammad Shallallahu alaihi Wa Sallam juga memberi Ilmu tentang pola pendidikan pada anak.
((Perintahkanlah anak kalian melaksanakan sholat ketika usianya 7 tahun, pukullah ia jika tidak mau melaksanakannya diusia yang kesepuluh, dan pisahkan tempat tidurnya.)) ( HR. Abu Daud: 418 ).
Dari hadist tersebut para orang tua bisa mengambil pelajaran bahwa ketika anak berusia 7 tahun maka berikan contoh, modeling, dan figur. Kemudian diusia 7 – 10 tahun orang tua punya peran untuk memerintah. Secara perkembangan moral, anak yang berusia 11 – 12 tahun memiliki dorongan yang kuat untuk menyusuaikan diri dengan nilai-nilai kelompok sebayanya.
Ketika kembali pada konsep masalah pergolakan anak, maka pada dasarnya konsep mendidik di sekolah, dalam situasi sebelum pademi covid 19 relatif sama di rumah. Anak membutuhkan figur yang bisa dilihat, didengar, ditiru yang tercermin dari prilaku pendidik (sehingga tidak heran kita sering mendengar kata “lebih percaya guru dari pada orang tua” ). Ini menunjukkan totalitas pendidik menjadi teladan bagi anak didiknya.
Ketika keadaan memaksa untuk melakukan pembelajaran virtual, maka setiap orang tua harus memahami bahwa zaman digital menyebabkan anak mengalami gejolak emosi dan kebingungan prilaku, yang dalam ilmu psikologi prilaku yang harusnya dialami nanti pada saat remaja, indikasi sehingga hal ini terjadi pada anak karena adanya asupan berlebihan yang mempengaruhi hormon dan stimulasi dari luar, maka tidak heran di usia anak seperti kasus diatas banyak yang sudah baligh, haid, dan mimpi basah.
Prilaku dunia digital pada anak yang tidak terdampingi dan terkontrol pemanfaatannya dari orang tua di rumah selama pembelajaran virtual ini, bukan tidak mustahil akan melahirkan dampak pornografi pada anak, yang mana pornografi merupakan jenis kecanduan yang paling sulit diobati, kecanduan pornografi merasakan hal yang sama dengan pecandu narkoba, yaitu ingin terus memproduksi dopamine dalam otak. Yang patut menjadi perhatian semua pihak, bahwa pecandu pornografi bisa mememuhi kebutuhan barunya dengan lebih mudah, kapan pun, dan dimana pun bahkan melalui ponsel, dan kecanduan ini bagi para konselor menyebutnya lebih sulit dideteksi dan diobati ketimbang narkoba.
Akhirnya, mari banyak melihat prilaku anak di dunia digital, kita melihat bersama anak begitu banyak memiliki akun jejaring sosial, suka narsis, selfie, share info dan picture. Dalam era digital ini sinegitas ayah dan ibu tidak boleh pincang dalam pembinaan anak di rumah, menjaga ketahanan tumbuh kembang anak tidak boleh hanya dilakukan oleh seorang Ibu saja. Bahkan ketika melihat hasil riset S2 Sarah Binti Halil Al-Muthairi (Universitas Ummul Quro Mekah) tulisan ilmiah tentang dialog antara orang tua dengan anak dalam al-Qur’an dan aplikasi pendidikannya, menyatakan bahwa terdapat dialog (berdasarkan tema) antara orang tua dengan anak dalam al-Qur’an yang tersebar dalam 9 surat, dengan rincian: dialog ayah dan anaknya 14 kali, dialog antara Ibu dan anaknya 2 kali, dan dialog antara kedua orang tuanya tanpa nama dengan anaknya 1 kali.
Dari pemaparan diatas, tidak ada solusi lain untuk menjaga anak-anak kita dari prilaku menyimpang diera digital ini, kecuali dekatkan mereka dengan belajar dan mengenal Islam sejak dini, ajari mereka menjadikan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai idola, bimbing mereka memiliki impian dan cita-cita masa depan untuk ummat dan bangsa, agar kita semua tidak menjadi penikmat kata penyesalan terhadap masa depan dunia dan akhirat anak-anak kita.
Oleh: Ust. Muh. Ilyas, S.Pd.,Gr.
(Guru SMA IT Wahdah Islamiyah Makassar dan Koordinator Unit Pembinaan Remaja LPPAR DPP Wahdah Islamiyah)