Wanita adalah saudara kandung laki-laki,” demikian sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam.1 Apa yang menjadi kewajiban bagi laki-laki, wajib pula bagi wanita, kecuali jika ada dalil (yang mengecualikan). Maka wajib bagi kaum wanita untuk berpuasa Ramadhan, dianjurkan pula memperbanyak bacaan al-Quran, berinfaq di jalan Allah, shalat malam, bersungguh-sungguh dalam berdoa, serta berbagai pendekatan dan ketaatan lainnya kepada Allah.

Berhubung ada beberapa perkara khusus bagi wanita di bulan Ramadhan, maka di sini, kami akan menjelaskan beberapa hal penting yang menjadi kekhususan bagi mereka, diantaranya:

1. Wanita haidh dan nifas tidak berpuasa dan tidak shalat. Tetapi ia mengganti puasa dan tidak mengganti shalat. Sebagaimna diterangkan dalam hadits Aisyah Radhiyallaahu ‘anha, “Kami mengalami hal haidh dan nifas, maka kami diperintahkan untuk mengqadha (mengganti) puasa, dan tidak diperintahkan mengganti shalat.”2

Diantara masalah yang tidak diketahui oleh sebagian wanita dalam persoalan haidh adalah mengenai penggunaan pil pencegah haidh pada bulan Ramadhan. Pil-pil ini meskipun saya tidak menganjurkan untuk mengkonsumsinya, karena dalam banyak keadaan cukup berbahaya dikonsumsi oleh sebagian wanita. Ini dikarenakan sangat bersemangat untuk (tetap) shalat dan puasa bersama kaum Muslimin, atau ia ingin berumrah pada bulan Ramadhan sementara haidhnya tidak teratur pada bulan Ramadhan. Kadang datang sehari, hari berikutnya tidak haidh, maka ia mengonsumsi pil-pil tersebut untuk mengatur masa haidnya dan selamat dari kebingungan.

Terkadang sebagian wanita menyangka, wajib untuk mengganti hari-hari yang terhenti haidhnya karena pil tesebut. Dan kebanyakan mereka bertanya-tanya tentang hal ini. Yang benar adalah, dalam kondisi seperti ini tidak wajib mengganti .

2. Kebanyakan wanita datang ke Masjid untuk shalat tarawih. Hal ini tidak mengapa, meskipun shalat seorang wanita di kamar rumahnya lebih afdhal. Tetapi jika ia datang ke masjid karena tidak mahir membaca al-Quran, atau agar bersemangat shalat berjama’ah, maka hal ini tidak apa-apa. Akan tetapi tetapi perlu diperhatikan jika ia pergi ke masjid, maka hendaknya ia keluar dengan tetap memperhatikan rambu-rambu syariat, seperti tidak memakai wewangian atau bersolek. Kecuali jika berada di rumah. Tidak boleh pula merendahkan (melemahlembutkan suara). Hal ini demi menghindarkan fitnah. Hendaknya tidak pula mengeraskan/mengangkat suaranya dii masjid karena hal itu termasuk perbuatan tercela dan mengganggu orang-orang yang sedang shalat.

Termasuk kesahan seorang ibu sibuk mengerjakan yang sunnah tetapi meninggalkan perkara wajib. Karena menjaga anak-anak, dan memerhatikan akhak mereka merupakan kewajiban bagi orang tua.

3. Kesahalan lain yang harus selalu diingatkan pula kepada para wanita untuk dihindari agar tidak terjadi khususnya pada bulan Ramadhan adalah ghibah. Karena ghibah termasuk dosa besar. Bahkan Imam Qurthubi menyebutkan adanya kesepakatan ulama bahwa ghibah termasuk dosa besar. Allah Ta’ala berfirman (artinya),

وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ

Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya“ (QS Al Hujurat[49]:12).

4. Keberadaan para wanita di masjid pada bulan Ramadhan merupakan kesempatan bagi para da’i untuk menyampaikan topik khusus bagi para wanita, baik perupa persoalan hukum, adab, arahan maupun nasihat. Sebab para wanita jarang mendengarkan nasihat (ceramah), sementara kedatangan mereka ke masjid adalah sesuatu yang baik. Maka sebaiknya kesempatan ini dimanfaatkan dengan mengarahkan pembicaraan khusus kepada mereka, meski tidak setiap hari. (Sumber: Diterjemahkan oleh Syamsuddin Al-Munawiy dari Risalah Durus Ramadhan; Waqafat Lish Shaim, Karya Syekh. DR. Salman bin Fahd al-‘Audah hafidzahullah)


 

1 HR. Ahmad (25663), Abu Daud (237), At-Tirmidziy (113), Ibnu Majah (612), dan Abu Ya’la (4694) dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Asli hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim (311), namun tanpa tambahan; “Wanita adalah saudara kandung laki-laki”. Lafal tambahan ini dishahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ (1983).

2 HR. Bukhari (321), dan Muslim (335)

Artikulli paraprakPeduli Gaza – Salurkan Bantuan Anda Untuk Korban di Palestina
Artikulli tjetërIkuti Tabligh Akbar dan Penggalangan Dana untukmu Pelastina

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini