Akhir-akhir ini masalah poligami mendapat sorotan yang tajam dari segenap lapisan masyarakat baik dari yang pro maupun kontra, dari yang awam sampai kepada para ulama dan kaum cerdik cendekia.
Benarkah poligami berdampak buruk bagi kaum wanita? Ataukah sebaliknya? Hal ini menarik untuk didiskusikan.
Pensyariatan poligami termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadits sehingga tak seorangpun dari ummat Islam yang bisa membantahnya. Walaupun demikian Islam memberi syarat yang sangat ketat dan berat bagi laki-laki untuk dapat berpoligami sampai-sampai sebahagian diantara mereka (penentang poligami) menganggap syarat tersebut mustahil untuk dipenuhi. Akan tetapi pendapat tersebut lemah dengan beberapa hujjah :
- Tidak masuk akal jika Allah Subhanahu wa Ta’ala membolehkan poligami kemudian mempersyaratkannya dengan syarat yang mustahil yang tidak sanggup direalisasikan oleh manusia.
- Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam nash Al-Qur’an melarang mengawini dua wanita saudara kandung (QS. Al-Baqarah: 23) Apakah makna dari pengharaman ini jika poligami itu –pada dasarnya– mustahil atau haram?
- Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpoligami dan juga para sahabatnya serta kaum muslimin sejak 1400 tahun yang lalu.
Pandangan yang dilontarkan oleh orang-orang yang menentang poligami khususnya kaum wanita mayoritasnya menganggap poligami hanya menguntungkan laki-laki dan merugikan wanita.
Sebenarnya jika kita mengetahui kondisi wanita secara umum dalam pengertian kita berpandangan objektif, maka kita tidak mungkin berkata poligami adalah sebuah masalah yang harus dihapuskan bahkan sebaliknya dia adalah solusi dari berbagai permasalahan yang dihadapi kaum wanita.
Berbagai bentuk penelitian yang telah dan sementara dilakukan pada berbagai Negara di dunia menunjukkan sebuah hasil yang jelas bahwasanya jumlah wanita lebih banyak dari jumlah laki-laki sebagai konsekwensi dari lebih banyaknya anak wanita yang lahir. Dan atas kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan takdir-Nya jumlah laki-laki yang meninggal dunia jauh lebih banyak dari jumlah wanita, karena laki-laki banyak yang ikut serta dalam barisan ketentaraan dan dalam berbagai pertempuran dan sebahagian besar diantara mereka meninggalkan istri-istri mereka menjanda. Ini jika ditinjau dari banyaknya musibah yang menimpa laki-laki daripada wanita.
Lalu apa solusi yang efektif dalam menghadapi masalah perbedaan jumlah laki-laki dan wanita seperti ini? (Muhammad Bin Musfir, Poligami Dalam Islam) pada sisi yang lain para wanita memiliki fitrah yang sama untuk ingin segera menikah dan bersuami. Dalam hal ini kita melihat ada tiga solusi ini, yaitu:
- Hendaknya bagi setiap laki-laki yang telah layak nikah menikah dengan seorang wanita yang juga telah layak nikah, kemudian sisa wanita yang lain tinggal tanpa suami dan dalam menghadapi gejolak biologisnya dia harus bersabar atau menjadi pelacur.
- Hendaknya setiap laki-laki yang telah layak nikah menikah dengan seorang wanita saja secara syar’i, kemudian menggauli yang lain secara haram satu atau lebih dari wanita-wanita yang belum memiliki pasangan dalam masyarakat.
- Hendaknya laki-laki yang telah layak nikah –seluruhnya atau sebahagian– menikahi lebih dari satu wanita secara syar’i dengan terang-terangan sebagai ganti dari wanita pezina yang digaulinya secara haram dan sembunyi-sembunyi.
Untuk memperdebatkan ketiga hal ini dan memilih satu yang terbaik kita melihat bahwasanya pendapat pertama yaitu seorang wanita tinggal tanpa suami adalah perkara yang tidak lazim dan menyalahi fitrah yang telah difitrahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia, maka seorang wanita tidak mungkin merasa cukup tanpa kehadiran laki-laki di sisinya, dan pekerjaan mencari nafkah tidak mungkin dapat membuat wanita melupakan kebutuhan fitrahnya untuk hidup sesuai dengan tabiatnya, sama saja dalam hal tersebut apakah kebutuhan jasad dan insting atau kebutuhan ruh dan akal kepada ketenangan dan keluarga.
Adapun pendapat kedua maka sangat bertentangan dengan syari’at Islam dan tidak sesuai dengan akhlak masyarakat Islam yang suci, sebagaimana pendapat ini juga melawan kemuliaan wanita dan kemanusiaannya, selanjutkan akan membawa kepada tumbuhnya kekejian dalam masyarakat.
Dengan demikian pendapat ketiga – tanpa ada keraguan – adalah pendapat terbaik yang dipilih oleh Islam karena kesesuaiannya dengan realita dimana manusia hidup.
Poligami adalah solusi bagi wanita-wanita yang hidup sendiri – perawan tua dan para janda – yang tidak sedikit jumlahnya, karena mereka adalah manusia biasa yang juga butuh kepada laki-laki sebagai pendamping hidupnya dan termasuk hak asasi mereka.
Manfaat poligami jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan mudharatnya. Jika para istri yang telah dimadu merasa terusik dengan kehadiran wanita lain di samping suaminya, maka ketahuilah bahwa istri kedua tersebut telah merasa terselamatkan dengan kesediaan suaminya untuk berpoligami.
Para wanita yang secara terpaksa harus hidup menjual diri selain karena alasan ekonomi juga karena ketiadaan laki-laki yang mau dengan ikhlas menikahinya walaupun hanya sekedar menjadikan mereka istri kedua.
Kepada mereka yang belum mampu menerima legalitas poligami hendaknya tidak menimbang keabsahan suatu hukum hanya dengan pertimbangan akal dan hawa nafsu karena akal manusia memiliki kemampuan yang sangat terbatas.
Akan tetapi sekali lagi kami katakan bahwa legalitas poligami dalam Islam janganlah disalahartikan dengan mengatakan bahwa Islam menyuruh seluruh kaum muslimin untuk berpoligami tanpa memperhatikan syarat-syarat yang mesti terpenuhi sebelum melakukannya. Yang perlu kita lakukan adalah menyebarkan informasi yang tepat tentang poligami agar masyarakat kita tidak memudah-mudahkannya.[]
Oleh : Muhammad S. Darwis·,S.Ag