Aku dan Wahdah Islamiyah
(Wahdah islamiyah menjadi wasilah hidayah menyapa hatiku)
Cuplikan naskah peserta lomba menulis Wahdah Islamiyah 2016
Oleh Ayu
Kehidupan ini selalu menyimpan cerita bagi setiap insan. Terlahir sebagai anak perempuan satu-satunya dari 5 bersaudara ternyata punya pengaruh besar dalam hidupku. Mungkin banyak yang beranggapan aku manja tapi kehidupan membuatku harus tegar. Keluargaku cukup kaya kalah itu,rumah luas,mobil,motor,bengkel yang ramai pengunjung dan semua hal yang berlebih. Setiap tahun bahkan ulang tahunku dirayakan. Sungguh kejahilan itu menggerogoti keluargaku. Hingga akhirnya ayahku jatuh sakit,menurut “orang pintar” ayah diguna-guna dan akhirnya kesyirikanpun banyak dilakukan. Memakai jimat,minum air yang katanya obat, menyiapkan sesajen dan dialirkan ke sungai. Sungguh sangat menyedihkan kala itu apalagi ayah jatuh bagkrut,usahanya meninggalkan banyak hutang hingga akhirnya rumah kami dijual dan kami jadi kontraktor, menyewa satu rumah ke rumah yang lain.
Sampai suatu malam ayah dan ibu bertengkar hebat dan itulah awal dimana kami menjadi anak broken home. Ibuku memilih merantau ke wilayah paling timur Indonesia. Ayahku kembali bekerja sebagai PNS biasa dan aku dititipkan di kerabat diusia yang masih belum mengerti apa-apa. Pindah dari satu kerabat ke kerabat yang lain sampai pernah tinggal di rumah kepala SMA karena tidak tahu harus kemana dan Bapak kepsek berbaik hati menampungku di rumahnya. Dan terakhir tinggal di rumah salah seorang sahabat baikku. Roda terus berputar, ayah mulai sakit-sakitan akibat penyakit komplikasi yang dimilikinya. Ayah sosok yang keras dan sedikit kasar tapi beliau lelaki hebat dalam hidupku. Beliau sosok paling penyayang pada anak-anaknya.
Hal yang tak bisa kulupakan adalah saat dia sudah mulai kesulitan berjalan, dia datang ke sekolah mencariku. Saat dipanggil melalui pengeras suara ke ruang Guru sontak aku terkejut hingga kudapati ayah membawa kotak sepatu yang dia belikan khusus untukku. Sepatu itu sangat cantik meski sedikit kebesaran tapi aku sangat bahagia. Kuantar ayah menuju gerbang sekolah, kupandangi ia naik becak dengan sedikit kesulitan mengangkat kakinya. Saat itu, tangisku pecah di sekolah. Ayahku luar biasa, dia istimewa, dia penuh kasih dan cinta dan aku bangga memilikinya.
Memasuki kelas 2 SMA, aku mulai ikut organisasi islam yang menaungi pelajar. Mulai aktif dan menghabiskan waktu disana selain osis. Selain organisasi itu kami diikutkan liqo’ di sekolah tiap jumat yang dinaungi sebuah partai politik saat itu. Mulai belajar,mulai mengetahui banyak hal,mulai keluar dari kejahilan. Alhamdulillah, aku mulai paham islam perlahan-lahan. Qadarullah, ayahku meninggal dunia saat kelas 3 SMA. Aku sangat terpukul waktu itu, saudaraku sangat kehilangan, namun aku dihadapkan pada kondisi keluarga yang ingin mengadakan malam ke-3, ke-7 dan ke-40. Jelas sebagai anak yang mulai paham aku menentang keras. Setelah menangis hebat menolak kejahilan itu akhirnya saudaraku mau menerima. “apa kalian rela ayah semakin menderita di kuburnya atas kurangnya ilmu agama anak-anaknya?sudah cukup kesyirikan yang dulu menggerogoti keluarga kita,aku tidak rela ayahku disiksa dikubur atas kebiasaan yang tidak ada contohnya dari Allah dan RasulNya.” Mereka terdiam dan akhirnya tak satupun diadakan.
Ibuku akhirnya pulang ke kampung kami. Sungguh diluar dugaan ibu memiliki seorang anak lelaki yang saat itu usianya baru 2 tahun hasil pernikahan keduanya. Kami serasa ketiban tangga waktu itu,tidak ada satupun yang bisa menerima. Sampai akhirnya Allah memberi hidayah bahwa anak itu tak punya salah. Kamipun mulai menerima dan saat ini adikku itu paling kami sayang di rumah. Ujian belum berakhir. Lulus SMA, kakakku melarang untuk kuliah di makassar karena alasan tidak adanya biaya. Pupus sudah harapanku kuliah di makassar,mengubur sejuta mimpi dan harapan. Masya Allah, ternyata ada rencana lain dari Allah. Kami menerima kekurangan gaji ayah dari kantor. Aku kembali membujuk ibu dan saudara-saudaraku. “aku janji, keluarga kita tidak akan repot memikirkanku disana karena aku akan berusaha untuk mendapatkan beasiswa dan akan bekerja untiuk memenuhi kebutuhanku” kataku meyakinkan. Alhamdulillah mereka setuju.
Berangkatlah raga ini dengan segenap mimpi di kota daeng. Impian yang sudah sejak lama kuidam-idamkan. Mimpi yang selalu membuat hidupku terasa berbeda. Yah,kuliah di makassar dan pulang membawa gelar dan kebanggan bagi orang tua. Bersama dengan sahabatku, kami menumpang di pondokan salah satu kakak tempat kami ikut liqo. Aku ingat kala itu, ada jalur PMB untuk perguruan tinggi tertentu. Aku dan teman-teman sudah mendaftar bersama,namun qadarullah keluargaku kembali mempengaruhi agar tidak kuliah di makassar. Akhirnya akupun tidak ikut tes kala itu dan semua teman-temanku dinyatakan lulus di unhas. Sungguh penuh sesal dan kesedihan menimpaku berkepanjangan. Aku mulai bangkit kembali menyusun langkah dan meyakinkan keluarga kalau aku layak berjuang. Kembali berjuang di SNMPTN dan hasilnya gagal. Saat pengumuman kala itu, seorang senior laki-laki yang cukup akrab denganku berkata “jangan khawatir dek,tidak lulus di unhas tapi masih ada tetangganya yang juga selokasi dengan unhas terbuka lebar untukmu”. Semangat itu kembali berkobar. Kuyakinkan ibuku bahwa ini yang terakhir, setelah ini aku akan kembali ke kotaku dan melanjutkan hidup disana. Maha Suci Allah dengan berbagai rencana indahNya buatku. Aku lulus di politeknik negeri ujung pandang dengan usaha dan perjuangan belajar keras dan tentunya atas izin Allah Sebaik-baik penulis skenario.
Alhamdulillah, aku jadi mahasiswa juga akhirnya dan karena tidak punya biaya bayar pondokan sahabatku berbaik hati memberi tumpangan gratis dipondokannya. Teringat kala pulang kuliah perdana waktu itu, berpapasan dengan seorang kakak yang ternyata sekampung denganku. Dia sangat ramah, baik dan murah senyum. Jilbabnya menutup seluruh tubuhnya semakin menambah kecantikannya. Diajaknya aku ngobrol dan akhirnya kamipun janjian ikut kajian yang diisi oleh syaikhah di graha pena. Inilah awal pertemuanku dengan akhawaat banyak. Ruangan itu dipenuhi oleh banyak wanita berjilbab besar dan bercadar. Awalnya agak malu-malu namun perlakuan mereka kepadaku membuatku tak merasa asing. Setelah itu kamipun selalu bercengkrama di masjid ulil al baab.
Hari demi hari berlalu, aku selalu diajak oleh kakak ikut kajian. Namun aku punya organisasi lain yang cukup menyibukkanku. Akupun mulai jarang ikut tarbiyah. Setiap murabbiyahku menelpon atau sms, aku tidak akan merespon. Salut dengan murabbiyah pertamaku, beliau begitu sabar menghadapi sosok sepertiku. Apalagi memiliki tempat lain diluar sana atau lebih tepatnya dualisme selalu membuatku membanding-bandingkan apa yang kutemukan. Aku lebih memilih bolos kuliah untuk memenuhi kewajibanku di tempat lain.
Banyak ilmu yang aku lewatkan di tarbiyah. Kulihat teman-teman yang sama-sama tarbiyah dari awal mulai beberapa langkah lebih maju dariku. Hapalan mereka, ilmu mereka, penampilan mereka dan akhlak mereka membuatku semakin jauh dari mereka. Rasa malaspun makin menggrogotiku. Apalagi saat itu aku selalu ingin jadi yang terdepan dan itu tidak kupingkiri. Di kampus aku diberi amanah yang menurutku tidak cocok dengan diriku. Sedang diluar sana aku mendapat peran hebat dalam putaran organisasi. Akhinya aku menjadi anak yang pembangkang dan malas bertemu akhawaat.
Atas izin Allah, aku kembali akrab dengan sahabatku semasa SMP dulu setelah sekitar setengah tahun dia menghilang dan ternyata mengalami hal yang sama denganku. Mencari wasilah yang tepat untuk menimba ilmu. Kamipun bercerita pengalaman masing-masing. Kala itu aku lebih dulu memanjangkan jilbab dan setelah lama menghasutnya diapun mau berubah. Namun jangan fikir kami jilbab besar tapi kelakuan kami selapang hijab kami. Kadang jika diingat malu sendiri rasanya. Kami sering pulang malam, berikhtilat dengan laki-laki dan memudah-mudahkan syariat meskipun tak dipungkiri bahwa hati kami kadang berkecamuk jika dihadapkan pada kondisi begitu.
Akhirnya sahabatku lebih dahulu memilih wahdah sebagai wasilah yang tepat baginya dan aku masih disibukkan dengan aktifitasku bahkan sudah ke jakarta tanpa mahrom untuk mengikuti kegiatan organisasiku.Hingga murabbiyahku berubah – rubah karena murabbiyah pertamaku harus kembali mengabdikan dirinya di kampung. Ini semakin membuatku malas tarbiyah. Sepertinya kakak akhawaat tidak berhenti sampai disitu. Mereka memberikanku amanah yang cukup penting dalam kepanitiaan. Akupun sangat bersemangat mengerjakan setiap amanah itu. Aku bisa merasakan betapa senangnya kakak akhawaat melihatku aktif di kepengurusan.
Terhanyut dalam amanah di kampus dan kembali memulai semangat belajar bersama akhawaat. “dek, insya Allah tarbiyah barunya tiap sabtu pagi di sungai saddang yah” kata kakak penanggung jawab tarbiyah waktu itu. Murabbiyah baru, semangat baru. Kutanyakan alamat itu kepada sahabatku dan betapa kagetnya kami, ternyata rencana Allah luar biasa, kami disatukan dalam halaqoh yang sama, masyaa Allah makin akrab dan dekatlah kami. Kamipun selalu berangkat dan pulang bersama jika tarbiyah. Mulai kembali tarbiyah dengan baik bukan berarti saya telah meninggalkan organisasiku yah. Aku masih sering kesana meski sudah mulai jarang.
Hal yang cukup unik dalam pemilihan manhaj yang haq ini adalah aku terserang sindrom ingin menikah padahal saat itu kuliahku belum selesai. Hal ini dilatarbelakangi bukan karena nafsu atau hal-hal negatif lainnya. Tapi saat itu memang kondisiku menjadikan nikah adalah solusi. Kuceritakanlah keinginanku pada sahabatku dan dia menyarankan agar hal itu dikonsultasikan kepada salah seorang akhawaat yang kami anggap sudah seperti kakak sendiri selain itu beliau juga sudah menikah jadi kami fikir dia orang yang tepat. Dengan mengesampingkan rasa malu , kuceritakan kondisi perasaanku.
“ dek, seorang lelaki yang baik pasti mengharapkan akhawaat yang baik. Akhawaat yang mampu menjaga dirinya, tidak suka safar tanpa mahrom,tidak suka berada pada tempat ikhtilat, tidak juga suka pulang malam atau hal-hal yang melanggar syariat, belajarlah dahulu, perbaiki diri agar jodoh yang datangpun menjadi solusi terbaik”.
Kalimat-kalimat itu sangat menampar diriku, menusuk ke relung hati. Subhanallah, berhari-hari kata-kata itu membuatku tidak bisa tidur. Berhari-hari aku menangis seduh sedan karena kejahilan yang telah kulalui. Tapi kata-kata kakak benar adanya, aku sudah terlalu lama larut dalam kondisi fasik, tahu ilmu tapi tidak diaplikasikan. Tiba waktu tarbiyah, dan murabbiyah kami mengangkat materi manhaj ahlussunah wal jama’ah. Para salaf yang sangat bersemangat menuntul ilmu, tidak berpartai, tidak menegur pemimpin dengan demonstrasi, namun mendidik manusia dengan penanaman aqidah yang benar dan tetap taat kepada pemimpin, dengan tidak memecah ummat Serta melakukan amalan sesuai yang diajarkan Quran dan sunnah Rasulullah. Kepalaku mulai terbuka lebar, otakku mulai berfikir cerdas dan hatiku berkata, yah..inilah jalanku, jalan dimana para generasi terdahulu menapakinya dengan ilmu. Jalan dimana akan ditemui kebahagiaan. Yah..jalan yang haq, jalan dakwah dan tarbiyah. Malam itu kuperbaiki niatku, kubuang semua kejahilan dalam diriku dan kuputuskan untuk keluar dari organisasi yang telah banyak memberikan pengalaman hidup bagiku. Disana saya bertemu dengan owner bakso Qolbu hingga saat ini aku pandai membuat bakso atas izin Allah. Alhamdulillah akupun mulai fokus memperbaiki diri. Fokus menyelesaikan kuliah dan mengerjakan amanah yang tepat.
Hingga ujian meja usai, akupun minta izin kepada ibu untuk menyempurnakan hijabku dengan memakai niqob. Meski ibu selalu menentang dan berdalih nanti dipakai setelah nikah,akhirnya ibu luluh juga. Oiya,mengenai keluargaku, mereka satu persatu mulai menerima dakwahku. Kakak yang sulung dikena batuk darah akut dan membuatnya hampir meninggal, atas izin Allah dia mendapat hidayah dan menjadi lelaki yang menjaga shalat berjamaah di masjid,memanjangkan jenggot dan pakaian tidak menutupi mata kaki. Lalu disusul kakak ketiga yang tenyata mengalami gangguan jin namun baru terdeteksi saat aku mendakwahkan bekam di rumahku dan alhamdulillah dia yang dulu selalu menghabiskan beberapa bungkus rokok dalam sehari kini tidak lagi merokok sebatang pun dan sudah tarbiyah. Disusul oleh kakak kedua yang akhirnya sadar akan pentingnya peran suami dalam rumah tangga diapun kini berpenampilan lelaki shalih seperti kakak-kakakku sebelumnya. Lalu ibuku ikut berubah, mulai berjilbab menutup dada. Dan aku, tak lagi menyukai kekuasaan atau amanah strategis karena setiap amalan tergantung niatnya maka meluruskan niat menjadi penentu setiap amalan.
Segala puji hanya Bagi Allah, sebaik-baik sutradara, sebaik-baik pencipta. Ternyata setelah melalui getirnya kehidupan Allah mempertemukan kami dengan hidayah melalui wahdah islamiyah. Setelah merenungi semuanya sekiranya hidupku adem saja bisa jadi aku sudah menjadi manusia jahil yang juga ikut audisi pencarian bakat di TV. Keluarga kami mulai berhijrah, hijrah dari kejahilan menuju ilmu yang haq. Sampai Allah mempertemukanku dengan lelaki yang sudah tertera dalam lauhful mahfudz akan datang ke rumahku saat usiaku baru 23 tahun. Usia yang masih terbilang muda, alhamdulillah keluargaku tidak menolaknya meski lelaki itu tidak memiliki materi yang banyak. Dakwah dan tarbiyah membuat keluargaku tidak lagi materialistis bahkan mereka tidak mempermasalahkan keputusanku tidak bekerja kantoran melainkan memaksimalkan peranku di rumah. Kami tetap tarbiyah, menuntut ilmu sebagai bekal melaksanakan amalan. Bagi kami tarbiyah bukan satu-satunya namun tarbiyah menjadi carger keimanan terbaik. Sungguh gersang hati ini jika sepekan tanpa siraman ilmu. Hingga saat tulisan ini dibuat, kami telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang menjadi penyejuk mata dan hati kami. Semoga Allah senantiasa mengistiqomahkan kami dalam jalan yang haq hingga cita kami tercapai yaitu surga.