Kata kafir, murtad dan yang semisal dengannya terkadang begitu mudahnya diucapkan oleh orang-orang awam ketika saling bertengkar, atau meluncur dari lisan orang-orang yang “paham agama” ketika memvonis saudaranya yang melakukan kemaksiatan, atau mengafirkan pemerintah yang tidak berhukum dengan hukum Allah tanpa merinci sebabnya terlebih dahulu.

Padahal Rasulullah
telah bersabda,yang artinya:

“Siapa saja yang berkata kepada saudaranya, “Hai Kafir!” Maka (kekafiran) itu pasti kembali kepada salah seorang dari mereka.” (HR. Bukhârî dan Muslim).

“Tidaklah seseorang menggelari orang lain dengan gelar fasik atau kafir, melainkan hal itu akan kembali kepadanya kalau lawannya itu tidak demikian adanya.” (HR. Bukhârî).

Vonis Kafir Ada Dua Macam:
1. At-Takfir al-Muthlaq, yaitu memvonis kafir terhadap perkataan atau perbuatan atau keyakinan yang bertentangan dengan prinsip dasar Islam.
2. At-Takfir al-Mu’ayyan, yaitu memvonis kafir terhadap individu tertentu karena dia melakukan suatu perkara yang bertentangan dengan Islam setelah syarat-syarat vonis kafir terhadapnya terpenuhi dan tidak ada mawani’ (penghalang) untuk vonis tersebut.

Syarat-syarat Menjatuhkan Vonis Kafir:

1). Individu tertentu (orang yang divonis kafir) tersebut mengucapkan suatu ucapan yang dapat memvonisnya kafir dan dia memang bermaksud demikian dengan ucapannya itu.
Syarat ini perlu, sebab terkadang sebagian lafazh mengandung banyak arti dan barangkali saja orang tersebut tidak memaksudkan arti yang memvonisnya kafir itu, atau dia mengucapkan suatu ucapan yang memvonis kafir kecuali bila orang yang divonis kafir tersebut (al-Mu’ayyan) komitmen dengan ucapan itu.”

2). Tegaknya Hujjah
Di antara dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
1. Firman Allah subhaanahu wa ta’ala, artinya: “Dan tidaklah Kami mengazab (suatu kaum) hingga Kami utus (kepada mereka) seorang Rasul.” (QS. Al-Isrâ’: 15), dan firman Allah dalam surah Al-Mulk: 11.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak seorang pun yang berhak memvonis kafir terhadap siapa pun dari kaum Muslimin meskipun dia bersalah dan keliru hingga dijelaskan kepadanya dengan hujjah yang kuat dan jelas. Orang yang telah mantap keislamannya secara yakin, maka hal itu tidak bisa dihapus oleh keraguan terhadapnya bahkan tidak akan hapus kecuali telah dijelaskan kepadanya hujjah yang memuaskan dan tidak ada lagi syubhat yang berkaitan dengannya.” (Majmu’ Al-Fatâwâ, XII/466).

2. Firman Allah subhaanahu wa ta’ala, artinya : “Maka berilah peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang beriman”. (QS. Adz-Dzâriyât: 55).
Al-Hasan al-Bashri berkata (berkaitan dengan makna ayat tersebut), ”Sebagai peringatan bagi seorang Mukmin dan hujjah atas orang kafir.” (Tafsîr al-Qurthubî, XX/20). Dalam ayat tersebut kata “an-naf’u” (manfaat) dipaparkan secara mutlak, yakni tanpa ada kaitan dengan sesuatu.

3. Firman Allah subhaanahu wa ta’ala, artinya : “Orang yang takut (kepada Allah) akan mengambil pelajaran,dan  orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya “.  (QS. Al A’laa : 10-11)

4. Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak tersisa satu pun dari kelompok  manusia yang masuk neraka kecuali mereka dahulunya telah didatangi oleh seorang nadzîr (nabi/rasul yang memberikan peringatan kepada mereka); jadi, orang yang tidak didatangi oleh nadzîr tersebut maka dia tidak masuk neraka.”

Mawâni’ (Hal-hal yang Mencegah dan Menghalangi) dalam Memvonis Kafir terhadap Individu Tertentu

1. Faktor Kesalahan
Kesalahan dalam masalah-masalah ‘ilmiyyah (teoritis) atau masalah ‘amaliyah (praktis) yang terjadi merupakan kesalahan yang terampuni selama belum dijelaskan hujjah (yang jelas dan kuat) kepada pelakunya. Hal ini dapat terjadi terhadap dua kelompok manusia:

Kelompok Pertama:

Seorang mujtahid yang salah dalam memberikan vonis hukum terhadap suatu masalah.
Syaikhul Islam berkata, “Seorang mujtahid yang salah mendapatkan satu pahala sebab maksudnya adalah untuk mencari kebenaran sesuai dengan kemampuannya. Jadi, dia tidak memberikan suatu vonis hukum kecuali berdasarkan dalil…” (Al-Fatâwâ, XX/30-31).
Lihat firman Allah dalam QS. Al Baqarah: 286.

Kelompok kedua:

Seorang yang tidak memberikan komentar hukum apa pun terhadap suatu masalah (abstain).
Maksudnya adalah orang yang tidak mampu untuk menemukan hukum yang berkaitan dengan masalah tersebut sehingga membuat dia tidak memberikan vonis hukum, baik menafikan atau menetapkan. Jadi, tidak boleh memvonis kafir terhadap orang seperti ini sebagaimana tidak bolehnya memvonis kafir terhadap seorang mujtahid yang salah.

Di antara dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:

1. Firman Allah subhaanahu wa ta’ala, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (QS. Al Baqarah: 286).

2. Firman Allah subhaanahu wa ta’ala, “Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu…”. Al-Ahzâb: 5).

3.Hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah telah meletakkan (tidak menjatuhkan hukuman) dari umatku kesalahan yang dilakukan karena tidak disengaja, kelupaan dan hal yang dilakukan karena dipaksa.”  (HR. Ibnu Majah)

4. Bahwa Allah memerintahkan agar bertakwa kepada-Nya sesuai dengan kemampuan, “Maka bertakwalah kalian sesuai dengan kemampuan kalian.” (QS. At-Taghâbun: 16).

5. Al-Ijma’ (kesepakatan para ulama): Syaikhul Islam berkata,  “Para shahabat dan seluruh imam kaum Muslimin telah bersepakat secara ijma’ bahwa tidak semua orang yang mengemukakan suatu pendapat yang salah, lalu orang tersebut kemudian divonis kafir karenanya, meskipun dia menyelisihi as-Sunnah. Jadi, memvonis kafir terhadap setiap orang yang bersalah bertentangan dengan ijma’ .” (Majmu’ al-Fatâwâ: VII/685).

6. Qiyâs al-Awlâ (analogi prioritas): Hal ini lantaran seorang mujtahid yang bersalah lebih utama untuk diterima alasannya ketimbang seorang jahil (bodoh) yang tidak mencari ilmu (syar’i). Syaikhul Islam berkata,”Tidak diragukan lagi bahwa kesalahan dalam ilmu yang diperlukan kajian secara mendetail di dalamnya adalah dimaafkan bagi umat ini, sebab bila tidak demikian, niscaya mayoritas orang-orang utama di kalangan umat ini akan binasa.” (Majmu’ al-Fatâwâ, 20/165-166).

Syaikhul Islam berkata lagi, “Meskipun ulama salaf berbeda pendapat dalam banyak masalah namun tak seorang pun dari mereka yang bersaksi atas kekufuran, kefasikan bahkan kemaksiatan yang diperbuat oleh sebagian yang lainnya.”

2. Faktor Kebodohan/Ketidaktahuan
Kebodohan/ketidaktahuan merupakan salah satu penghalang dalam memvonis kafir terhadap individu, sebab keimanan seseorang erat hubungannya dengan pengetahuan (ilmu) sedangkan mengetahui sesuatu yang diimani merupakan syarat dari keimanan kepadanya (sesuatu tersebut). Firman Allah subhaanahu wa ta’ala, artinya: “Dan tidaklah Kami mengazab (suatu kaum) hingga Kami mengutus kepada mereka seorang Rasul.”  (QS. Al-Isrâ’: 15).

Bahwa ketidaktahuan tentang sebagian masalah akidah terjadi juga terhadap sebagian sahabat, meskipun demikian Nabi  tidak memvonis kafir mereka bahkan tidak memvonis mereka berdosa atas perbuatan tersebut.

Dalam beralasan dengan kebodohan/ ketidaktahuan tersebut perlu diperhatikan perbedaan kondisi, tempat dan waktu mereka dilihat dari sisi signifikasi tersebar atau tidaknya pengetahuan tentang hal tersebut. Begitu juga, perlu diperhatikan jenis sunnah Rasul yang diingkari oleh si jahil; apakah termasuk jenis yang sudah diketahui oleh umum secara luas atau tidak.

3.  Faktor Kelemahan/Ketidakmampuan
Seseorang tidak akan dibebani syara’ bila tidak mampu, Allah berfirman,
“Allah tidak akan membebani suatu jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya.” (QS. Al Baqarah: 286).

Syaikhul Islam berkata, “Barangsiapa yang meninggalkan sebagian keimanan yang wajib (diketahui olehnya) disebabkan ketidak- mampuannya; baik hal itu karena dia tidak mendapatkan pengetahuan/ilmu tentang hal tersebut, seperti risalah tersebut belum sampai kepadanya atau ketidakmampuannya untuk melakukan hal itu maka dia tidak diperintahkan untuk melakukan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya dan hal itu bagi dirinya bukan merupakan keimanan dan ajaran agama yang wajib atasnya meskipun pada prinsipnya hal itu adalah bagian dari keimanan dan ajaran agama. Kedudukan mereka dalam hal ini seperti kedudukan orang yang sakit, orang yang dalam keadaan takut, orang yang sedang haid dan seluruh ahlul a’dzâr (orang-orang yang memiliki udzur yang dapat diterima oleh syariat) yang tidak mampu menyempurnakan shalat di mana shalat yang mereka lakukan adalah sah.

Contohnya: Kisah tentang kondisi salah seorang yang beriman dari keluarga Fir’aun yang hidup di tengah-tengah kaum Fir’aun dan isteri Fir’aun sendiri. Demikian pula dengan kisah nabi Yusuf ash-Shiddiq alaihissalam dengan penduduk Mesir yang masih kafir se-hingga beliau tidak dapat menjalankan seluruh apa yang diketahuinya dari Dienul Islam.

4. Faktor Pemaksaan

1.  Adanya pemaksaan merupakan salah satu penghalang vonis kafir terhadap orang tertentu; hal ini didukung oleh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah  serta perkataan ulama Salaf.
2. Maksud pemaksaan tersebut adalah sesuatu yang dapat mengakibatkan terjadinya pembunuhan, pemukulan, penahanan atau perampasan terhadap harta yang amat diperlukan oleh korban (orang yang dipaksa).

Di antaranya adalah firman Allah subhaanahu wa ta’ala: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa).” (QS. An-Nahl: 106).

Ini merupakan penghalang yang  dijadikan acuan oleh ulama Salaf, sebagaimana diriwayatkan dari al-Hasan bahwa dia berkata, “Berlindung di balik kekufuran sedangkan hati tetap tenang beriman (pada saat dipaksa) dibolehkan dan berlaku hingga Hari Kiamat.”

Sedangkan melakukan perbuatan-perbuatan kekufuran atau mengucapkan perkataan kufur demi untuk mendapatkan kedudukan atau harta tidak dianggap sebagai suatu pemaksaan.
Wallâhu A’lamu bishshawâb.

Artikulli paraprakInilah Cita-Cita Kita !
Artikulli tjetërPelatihan Zakat LAZIS

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini