Program Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio telah dilaksanakan serentak di seluruh penjuru tanah air kecuali wilayah Yogyakarta pada tanggal 8-15 Maret 2016. Kontroversi tentang status kehalalan vaksin, khususnya vaksin Polio, kembali mencuat. Melalui media sosisal dan lainnya, kontroversi ini terasa begitu hangat dengan tersebarnya sebuah gambar kemasan vaksin polio yang tertulis, ”Pada proses pembuatannya bersinggungan dengan bahan bersumber babi”, sehingga mengesankan bahwa vaksin polio tidak boleh (baca: haram) untuk digunakan. Akibatnya, banyak orang tua, terutama umat muslim, yang enggan untuk mengikuti program PIN secara khusus, dan juga program imunisasi rutin terjadwal secara umum. Padahal, dari sisi medis, program PIN sangat diperlukan untuk memberantas penyakit Polio.
Benarkah sikap demikian? Haramkah vaksin tersebut? Sebagai seorang muslim, tentu saja setiap perkara –apalagi perkara besar seperti ini- perlu untuk dilihat dari tinjauan syarait agar langkah dan tindakan tidak menabrak kehendak dan aturan Sang Pencipta. Olehnya, dirasa perlu untuk memberikan pencerahan terkait masalah ini. Berikut kami tuliskan sedikit pembahasan mengenai hukum vaksinasi dalam tinjauan syariat Islam. Selamat membaca.
Apa itu Vaksinasi?
Vaksinasi adalah pemberian vaksin dalam rangka imunisasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), imunisasi sendiri diartikan sebagai bentuk “pengebalan” (terhadap penyakit). Dalam istilah kesehatan, imunisasi diartikan pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu. Biasanya imunisasi bisa diberikan dengan cara suntikan atau tetesan pada mulut balita (anak di bawah lima tahun). Vaksin adalah bibit penyakit (seperti polio, cacar dan lainnya) yang sudah dilemahkan (dinonaktifkan) yang digunakan dalam vaksinasi. Vaksin membantu tubuh untuk menghasilkan antibodi. Antibodi inilah yang berfungsi melindungi tubuh terhadap penyakit.
Hukum Asal Vaksinasi
Melihat definisi dan kedudukan vaksin sebagaimana disebutkan di atas, maka hokum asal vaksinasi atau imunisasi adalah boleh dan tidak terlarang. Hal ini karena ia termasuk penjagaan diri dari penyakit sebelum terjadi, sebagaimana kaidah umum bahwa “mencegah lebih baik daripada mengobati”. Kaidah ini dilegitimasi oleh syariat Islam, di antaranya dengan hadits : “Barangsiapa yang memakan tujuh butir kurma ajwah, maka dia akan terhindar sehari itu dari racun dan sihir” (HR. Bukhari dan Muslim). Atau dengan hadits : “Apabila kalian mendengar penyakit tha’un di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya” (HR. Abu Dawud). Hadits-hadits ini menunjukkan secara jelas tentang disyari’atkannya mengambil sebab atau melakukan tindakan untuk membentengi diri dari penyakit sebelum terjadi.
Penggunaan Vaksin Polio
Sebelum kita masuk ke dalam pembahasan inti terkait hukum vaksin yang katanya “mengandung babi” sebagaimana yang terdapat dalam sebuah foto/gambar kemasan vaksin yang banyak tersebar di media-media sosial online, terdapat beberapa poin yang nampaknya perlu untuk dianalisa dan dipertanyakan.
Pertama, apakah foto/gambar tersebut asli? Bagi pembaca atau masyarakat yang pernah melihat foto/gambar kemasan tersebut, dalam kemasan tertera nama pabrik yang berasal dari Eropa dan menggunakan bahasa Inggris dengan tinta tulisan berwarna biru. Sementara, tulisan “mengandung babi” itu berbahasa Indonesia dengan tinta tulisan berwarna hitam. Apakah tulisan tambahan ini resmi dari pabriknya? Wallahu a’lam.
Kedua, jika kita mengecek ke website resmi dari pabrik/produsen vaksin sebagaimana yang tertera di kemasan (foto/gambar), kemudian kita telusuri istilah “pig” atau “porcine” (arti : babi) dalam deskripsi composition (komposisi) produk vaksin yang dipakai (Inactive Polio Vaccine) maka kita tidak mendapatkan istilah-istilah tersebut dalam komposisinya. Apakah memang benar bahwa produk vaksin tersebut mengandung babi? Wallahu a’lam. Biarlah para ahli yang menelusurinya lebih jauh. Akan tetapi, jika pun memang mengandung babi khususnya dalam proses awal pembuatannya, tentu hal ini perlu pula dilihat lebih jauh.
Perlu dipahami, pemerintah kita saat ini sedang terus berupaya melakukan pembasmian penyakit polio dari masyarakat secara serentak dengan cara pemberian dua tetes vaksin Polio Oral (mouth drop). Beradasarkan rilis resmi dari pemerintah melalui surat Menteri Kesehatan RI Nomor: 1192/MENKES/IX/2002, tanggal 24 September 2002, Penyakit (virus) Polio, jika tidak ditanggulangi akan menyebabkan cacat fisik (kaki pincang) pada mereka yang menderitanya dan dikhawatirkan mereka akan menjadi sumber penyebaran virus. Dalam rilis itu pula disebutkan bahwa sampai saat ini belum ada IPV (Inactive Polio Vaccine) jenis lain yang dapat menggantikan vaksin tersebut dan jika diproduksi sendiri maka diperlukan investasi (biaya/modal) sangat besar sementara kebutuhannya sangat terbatas.
Untuk sampai kepada status hukum vaksinasi, kami memandang penting untuk memberikan jembatan terlebih dahulu dengan memahami beberapa masalah dan kaidah berikut, setelah itu kita akan mengambil sebuah kesimpulan hukum.
1. Masalah Istihalah.
Istihalah adalah berubahnya suatu benda yang najis atau haram menjadi benda lain yang berbeda nama dan sifatnya. Seperti khamr berubah menjadi cuka, air menjadi garam, minyak menjadi sabun, dan sebagainya. Apakah benda najis yang telah berubah nama dan sifatnya tadi bisa menjadi suci? Masalah ini diperselisihkan ulama, hanya saja pendapat yang kuat –insyaaAllah- adalah bahwa perubahan tersebut bisa menjadikannya suci. Hal ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan) ulama bahwa khamr apabila berubah menjadi cuka maka menjadi suci. Juga pendapat mayoritas ulama bahwa kulit bangkai bisa suci dengan disamak, berdasarkan sabda Nabi , “Kulit bangkai jika disamak maka ia menjadi suci” (Lihat Shahihul-Jami’ : 2711).
2. Masalah Istihlak.
Istihlak adalah bercampurnya benda haram atau najis dengan benda lainnya yang suci dan halal yang kadarnya lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis dan keharamannya, baik rasa, warna dan baunya. Apakah benda najis yang terkalahkan oleh benda suci tersebut bisa menjadi suci? Pendapat yang benar adalah bisa menjadi suci. Hal ini berdasarkan sabda Nabi , “Air itu suci, tidak ada yang menajiskannya sesuatu pun” (Shahih. Lihat Irwa’ul-Ghalil:14). “Apabila air telah mencapai dua qullah maka tidak najis” (Lihat Irwa’ul-Ghalil:23). Dua hadits ini menunjukkan bahwa benda yang najis atau haram apabila bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak menyisakan warna atau baunya maka dia menjadi suci. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Barang siapa yang memperhatikan dalil-dalil yang disepakati dan memahami rahasia hukum syari’at, niscaya akan jelas baginya bahwa pendapat ini paling benar, sebab najisnya air dan cairan tanpa bisa berubah, sangat jauh dari logika” (Lihat Majmu’ Fatawa: 21/508, al-Fatawa al-Kubra: 1.256).
Oleh karenanya, seandainnya ada seseorang yang meminum khamr yang bercampur dengan air yang banyak sehingga sifat khamr-nya hilang maka dia tidak dihukumi minum khamr. Demikian juga, bila ada seorang bayi diberi minum ASI (Air Susu Ibu) yang telah bercampur dengan air yang banyak sehingga sifat susunya hilang maka dia tidak dihukumi sebagai anak persusuannya (karena ASI)” (Lihat Al-Fatawa al-Kubra: 1/143 oleh Ibnu Taimiyah, Taqrirul-Qawa’id oleh Ibnu Rajab: 1/173).
3. Dharurat Dalam Obat.
Darurat adalah suatu keadaan terdesak untuk menerjang keharaman, yaitu ketika seorang memilki keyakinan bahwa apabila dirinya tidak menerjang larangan tersebut niscaya akan binasa atau mendapatkan bahaya besar pada badanya, hartanya atau kehormatannya. Dalam suatu kaidah fiqhiyyah dikatakan, “Darurat itu membolehkan suatu yang dilarang”. Namun kaidah ini harus memenuhi dua persyaratan, yaitu (1) tidak ada pengganti lainya yang boleh (mubah/halal) dan (2) mencukupkan sekadar untuk kebutuhan saja.
Oleh karena itu, al-Izzu bin Abdus Salam rahimahullah mengatakan,“Seandainya seorang terdesak untuk makan barang najis maka dia harus memakannya, sebab kerusakan jiwa dan anggota badan lebih besar daripada kerusakan makan barang najis” (Lihat Qawa’idul-Ahkam, 141).
4. Kemudahan Saat Kesempitan.
Sesungguhnya syari’at Islam ini dibangun di atas kemudahan. Banyak dalil yang mendasari hal ini, bahkan Imam asy-Syathibi rahimahullah mengatakan, “Dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat ini telah mencapai derajat yang pasti” (Lihat Al-Muwafaqat: 1/231).
Semua syari’at itu mudah. Namun, apabila ada kesulitan maka akan ada tambahan kemudahan lagi. Alangkah bagusnya ucapan Imam asy-Syafi’i tatkala berkata, “Kaidah syari’at itu dibangun (di atas dasar) bahwa segala sesuatu apabila sempit maka menjadi luas” (Lihat Qawa’idul-Ahkam, 60).
5. Berobat Dengan Sesuatu yang Haram.
Masalah ini terbagi menjadi dua bagian.
Pertama, berobat dengan khamr adalah haram sebagaimana pendapat mayoritas ulama, berdasarkan dalil, “Sesungguhnya khomr itu bukanlah obat melainkan penyakit” (HR. Muslim). Hadits ini merupakan dalil yang jelas tentang haramnya khamr dijadikan sebagai obat (Syarh Shahih Muslim : 13/153).
Kedua, berobat dengan benda haram selain khamr. Masalah ini diperselisihkan ulama menjadi dua pendapat. Namun, di antara dua pendapat tersebut, pendapat yang kuat –insyaAllah- adalah bahwasanya pada asalnya tidak boleh berobat dengan benda-benda haram kecuali dalam kondisi darurat, yaitu apabila penyakit dan obatnya memenuhi kriteria sebagai berikut : (1) penyakit tersebut penyakit yang harus diobati; (2) benar-benar yakin bahwa obat ini sangat bermanfaat pada penyakit tersebut (3) tidak ada pengganti lainnya yang mubah (Lihat Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah, 187).
6. Fatwa Ulama.
Dalam masalah ini, kami mendapatkan fatwa ulama yang dipandang perlu kami nukil di sini.
Fatwa Majelis Eropa Lil-Ifta’ wal-Buhuts, dalam ketetapan mereka tentang masalah ini menyebutkan bahwa “penggunaan vaksin ini telah diakui manfaatnya oleh kedokteran yaitu melindungi anak-anak dari cacat fisik (kepincangan) dengan izin Allah. Sebagaimana belum ditemukan adanya pengganti lainnya hingga sekarang. Oleh karena itu, menggunakannya sebagai obat dan imunisasi hukumnya boleh, karena bila tidak maka akan terjadi bahaya yang cukup besar”.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam rapat pada tanggal 1 Sya’ban 1423H, setelah mendiskusikan masalah ini mereka menetapkan bahwa : (1) Pada dasarnya, penggunaan obat-obatan, termasuk vaksin, yang berasal dari – atau mengandung- benda najis ataupun benda terkena najis adalah haram; (2) Pemberian vaksin IPV kepada anak-anak yang menderita immunocompromise, pada saat ini, dibolehkan, sepanjang belum ada IPV jenis lain yang suci dan halal (Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, 370).
Kesimpulan
Setelah membaca pembahasan dan keterangan-keterangan di atas, maka kesimpulan hukum terkait vaksinasi ini adalah bahwa vakisinasi atau imunisasi hukumnya boleh dalam syariat, dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1. Imunisasi ini sangat dibutuhkan sebagaimana penelitian ilmu kedokteran.
2. Bahan haram yang ada telah lebur dengan bahan-bahan lainnya.
3. Belum ditemukan pengganti lainnya yang mubah.
4. Hal ini termasuk dalam kondisi darurat.
5. Sesuai dengan kemudahan syari’at di kala ada kesulitan.
Wallahu a’lam.
Murajaah :
Ust. DR. Rahmat Abdul Rahman, Lc. M.A.