Oleh Ustadz Maulana La Eda, Lc, M.A.
“Sungguh, saya tidak suka pada seseorang yang saya lihat hanya bersantai dan bermalas-malasan; tidak menggunakan waktu luangnya untuk amalan dunia dan tidak pula untuk amalan akhiratnya.”
(Ibnu Mas’ud dalam Hifdzh Al-‘Umur: hal. 35)
Waktu adalah umur manusia itu sendiri. Menyia-nyiakannya berarti menyia-nyiakan usia yang dianugrahkan Allah Ta’ala pada dirinya. Ia juga adalah modal utama yang secara gratis Allah Ta’ala sediakan bagi dirinya. Bila tidak menghiraukannya, maka ia akan menjadi manusia paling merugi. Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah menuturkan: “Wahai anak Adam! Kamu itu tidak lain kecuali hanya kumpulan hari-hari. Setiap kali hari berlalu, maka sebagian dirimu telah sirna.” (Tahdzhib As-Siyar: 2/563)
Para mutarabbi yang juga pengkaji ilmu dan iman harus lebih menjaga waktunya dibandingkan dengan selainnya. Karena bila ia menyia-nyiakannya, ia akan menyia-nyiakan berbagai ilmu dan nilai-nilai tarbiyah yang ia telah pelajari dalam hal yang tidak membawa manfaat apa pun bagi akhirat dan agamanya. Bahkan ia tidak akan bisa mendapatkan ilmu tersebut secara maksimal. Imam Yahya bin Abi Katsir rahimahullah menasihatkan:
لا يُستطاع العِلْمُ براحة الجسد
Artinya: “Ilmu itu tidak akan sanggup diraih hanya dengan bersantai-santai.” (Tahdzhib As-Siyar: 2/627)
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah mewasiatkan penggunaan waktu pada hal bermanfaat ini kepada salah seorang sahabatnya sebagaimana dalam hadis Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma:
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
Artinya: “Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara: masa mudamu sebelum datang masa tuamu, masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, masa luangmu sebelum datang masa sempitmu, masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrak: 7846, dinilai sahih oleh Al-Hakim dan Al-Albani)
Nikmat waktu ini merupakan salah satu nikmat yang pasti akan ditanyakan oleh Allah Ta’ala di akhirat kelak:
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
Artinya: “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS At-Takaatsur: 8)
Tentang ayat ini, Syaikh Muhammad bin Syami Al-Qurasyi hafidzhahullah menafsirkan: “Pada hari kiamat kelak kalian pasti akan ditanya tentang segala karunia yang kalian nikmati dan rasakan; apakah kalian bersyukur kepada Allah dengan adanya berbagai karunia tersebut dan menjadikannya sebagai media ketaatan kepada-Nya, atau tidak?” (At-Tafsir Al-Muujiz: 7/552)
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga telah memperingatkan nikmat waktu ini dalam sabdanya yang lain:
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
Artinya: “Dua nikmat, kebanyakan manusia tertipu dengan keduanya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari: 6412)
Dalam menjelaskan hadis ini, Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Makna hadis ini adalah bahwasanya mereka lalai dari menyukuri adanya dua nikmat ini, mereka tidak mengerjakan apa yang harus mereka kerjakan terkait keduanya, dan siapa yang tidak mengerjakan itu maka ia tertipu.” (Tafsir Ibni Katsir: 8/478)
Oleh karena itu, wahai para mutarabbi, berhati-hatilah dari orang-orang pengangguran yang kerjanya hanya melalaikan kita dari berbagai amalan bermanfaat di waktu luang. Imam Ibnul-Jauzi rahimahullah telah memperingatkan hal ini dalam beberapa bukunya, di antara nasehatnya: “Saya berlindung kepada Allah dari berteman dengan orang-orang pengangguran yang tidak punya kerjaan, saya telah menyaksikan mereka mengajakku mengikuti mereka dalam hal memperbanyak ziarah yang mereka sebut sebagai amalan “khidmah” (pelayanan), serta mengajak teman duduk mereka untuk ngerumpi berbagai kondisi manusia serta hal-hal yang sia-sia yang disertai gibah. Hal ini tentunya dilakukan banyak orang di zaman kita ini … Bila saya menolak ajakan tersebut, niscaya aka nada rasa tidak enak hati yang bisa memutuskan hubungan baik, dan bila saya mengikuti ajakan mereka, niscaya waktuku akan terbuang sia-sia.” (Shaidul-Khathir: 225)
Lantaran urgennya waktu ini, Nabi kita masih terus memotivasi kita mengisinya dengan kebaikan meskipun hari kiamat akan tiba:
إن قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا تَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا
Artinya: “Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya maka tanamlah.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad: 479, shahih)
Hadis ini merupakan peringatan akan urgennya waktu dan pengisiannya dengan berbagai hal yang bermanfaat, khususnya di zaman ini di mana hal-hal yang memalingkan para mutarabbi dan penuntut ilmu baik berupa medsos, atau berbagai hiburan lain yang tidak hanya melalaikan mereka dari aktifitas tarbiyah dan ta’lim saja, namun juga berbagai kewajiban lainnya semisal salat lima waktu.
Sungguh, waktu itu begitu mahal untuk hanya ditebus dengan browshing atau chating yang sia-sia, nonton sinetron tak bermanfaat, main game, majelis gibah atau bahkan amalan-amalan dosa. Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata: “Menyia-nyiakan waktu itu lebih berbahaya dari pada kematian. Karena menyia-nyiakan waktu memutuskan hubunganmu dengan Allah dan keselamatan akhirat, adapun kematian maka ia hanya memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.” (Al-Fawaid: hal. 31)
Kesungguhan mengisi waktu ini sama sekali tidak menafikan adanya istirahat atau aktifitas santai seorang muslim. Bagaimana pun juga sebagai seorang insan, ia memerlukan istrahat dan waktu santai, hanya saja tetap pada porsi secukupnya dan tidak diisi dalam maksiat dan dosa. Manfaat istrahat dan waktu santai bagi seorang muslim apalagi mutarabbi adalah agar ia kembali pada aktifitas ketaatan atau hariannya dengan semangat dan motivasi baru. Wassalaam.[]