11 September 2001 (dikenal dengan peristiwa 9/11 –nine eleven-), dua pesawat yang katanya dibajak menabrakkan diri ke menara kembar World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat. American Airlines menabrak menara bagian utara pada 08.45 pagi dan United Airlines 175 menabrak menara selata sekitar 15 menit berikutnya.
Dalam hitungan jam pasca peristiwa tersebut, pemerintah Amerika Serikat (AS) langsung menyatakan bahwa ia didalangi oleh kelompok Islam. Osama bin Laden (Usamah bin Ladin) beserta Al-Qaeda-nya adalah “otak” dari penyerangan tersebut. Media-media tak hentinya memberitakan bahwa serangan tersebut merupakan ulah teroris dan teroris itu beragama Islam.
Beberapa hari kemudian FBI melaporkan 19 nama pembajak pesawat. Disebutkan bahwa 19 pembajak dengan wajah Arab Saudi mengambil alih dua pesawat yang menabrak menara kembar WTC. Sampai seorang Karen Armstrong menyebutkan bahwa orang-orang Saudi yang ambil bagian dalam operasi 9/11 telah mendapatkan pendidikan wahhabi (Armstrong, 2017: 500). Dalam sekejap banyak orang ditahan hanya karena dia beragama Islam. Di bandara orang-orang berwajah Arab diinterogasi atau ditahan. Kata Gray dalam bukunya, setelah peristiwa 9/11 ribuan Muslim Amerika “hilang” dan ditahan tanpa bukti kejahatan. (Gray, 2011: 103)
Pada akhirnya, Amerika Serikat melalui Presiden George W. Bush melegalkan serangan ke Afganistan pada Oktober 2001 karena meyakini bahwa di sanalah Osama bin Laden bersembunyi. FBI pun menghargai kepala Bin Laden 25 juta dolar AS. Anehnya, sekalipun telah mencari dan melancarkan serangan bertahun-tahun, Bin Laden tak kunjung ditemukan. Sementara warga sipil telah banyak menjadi korban. Kita tahu bahwa Osama bin Laden baru ditemukan di tempat persembunyiannya pada 2011 (ditembak mati), dan itu bukan di Afganistan, melainkan di Pakistan.
Akan tetapi, sekalipun para pembenci Islam ingin memadamkan agama Allah, Allah tetap menunjukkan kuasa-Nya. Pasca 9/11, Islam menjadi sorotan orang-orang Amerika. Mereka mencari tahu apakah benar Islam melegalkan tindakan terorisme dan boleh membunuh penganut agama lain selain Islam. Maka mereka memborong Al-Qur’an yang dijual di toko-toko sehingga Al-Qur’an menjadi satu buku laris di Amerika. Setelah membaca dan mempelajari Al-Qur’an mereka jadi tahu bahwa Islam tidaklah mengajarkan tindakan terorisme. Tidak sedikit dari mereka, setelah mempelajari Al-Qur’an dan Islam, masuk Islam. Bahkan jumlah masjid di AS juga mengalami peningkatan pesat, yakni bertambah menjadi 250 mesjid dalam kurun waktu 13 tahun setelah peristiwa 9/11. (Republika.co.id)
Peran Media
Dalam pertemuan di Braga tahun 1869, Rashoron, seorang Rabi Yahudi, berkhutbah di depan peserta, “Jika emas merupakan kekuatan pertama kita untuk mendominasi dunia, maka dunia jurnalistik merupakan kekuatan kedua bagi kita.” Delapan tahun berselang (1897), dalam Konferensi Zionis pertama di Basel, Swiss, komunitas Yahudi internasional menyimpulkan bahwa cita-cita mendirikan negara Israel Raya tidak akan terwujud tanpa menguasai media masa. (Wakito, 2013: 113).
Sejak Tragedi 9/11, media-media Barat terus membuat opini bahwa Islam adalah agama yang identik dengan terorisme dan muslim adalah teroris. Terlebih mereka yang memiliki wajah Arab serta berpenampilan Islami: berjenggot, bersorban, mengenakan jubah, peci, atau berhijab, akan mendapatkan perlakuan tidak baik serta pelecehan. Sebab media pula, sebagian orang Islam mencurigai saudara mereka sesama muslim sebagai teroris atau berpaham radikal karena memiliki ciri-ciri seperti teroris yang disebut oleh media Barat.
Di Indonesia tak terkecuali, apalagi pasca peristiwa Bom Bali 2002, orang-orang dengan mudahnya menaruh curiga kepada saudara muslimnya yang berpenampilan islami. Bahkan mereka yang rajin shalat berjamaah lima waktu di masjid juga tidak lepas dari sebutan teroris. Naudzu billahi min dzalik.
Semua itu tidak lepas dari propaganda dan invasi media-media yang anti Islam yang pro Amerika serta Zionis Israel. Perlu diketahui bahwa tiga jaringan televisi terbesar di dunia dimiliki oleh konglomerat Yahudi: ABC (Leonard Goldenson), CBS (William Pale dan Lawrence Tisch), dan NBC (David Sarnoff). Lalu tiga surat kabar terbesar dunia juga kepunyaan Yahudi: The New York Times, The Wall Street Journal, dan The Washington Post. (Waskito, 2013: xviii). Media-media Indonesia juga menjadi bagian dari media global yang menginduk kepada media-media Yahudi Internasional. Tujuan media-media itu ialah mengontrol pikiran, persepsi, hati, perasaan dan keyakinan masyarakat.
Berita-berita merusak citra Islam yang disajikan oleh media-media tersebut dikonsumsi mentah-mentah oleh masyarakat kita sehingga mereka juga meyakini bahwa yang diberitakan media adalah benar. Mereka tak sadar bahwa otak mereka telah dicuci. Mereka ibarat robot yang digerakkan semaunya oleh media-media anti Islam tersebut.
Hasilnya, semangat Islam mereka melemah, terus curiga kepada sesama Muslim, bahkan aqidahnya ikut tergerus akibat tayangan yang ditampilkan di media-media tersebut. Padahal berita yang disiarkan oleh media-media anti Islam tentang Islam tidak luput dari kebohongan. Benarlah teori Propaganda Goebbels yang menyebutkan “Kebohongan yang terus diulang-ulang, lama-lama akan diterima sebagai kebenaran; bahkan orang yang menyebarkan kebohongan itu pun ikut meyakini bahwa ia adalah kebenaran.” Masyarakat kita telah meyakini kebohongan terhadap Islam sebagai kebenaran.
Bacaan:
AM Waskito, Invasi Media Melanda Kehidupan Umat
Karen Armstrong, Field of Bloods
Jerry D. Gray, Art of Deception Mereka Menipu Dunia
Republika.co.id
Penulis: Mahardy Purnama