Seorang murabbi dan mutarabbi hendaknya memiliki keterikatan, keterlibatan, dan hubungan yang positif dengan berbagai program lembaga yang menaungi aktiftas tarbiyahnya; karena tidak mungkin kesuksesan akan diraih bila satu lembaga tidak bisa mengendalikan keterikatan dan keterlibatan seluruh individu yang bekerja di bawah naungannya, atau tanpa mengontrol adanya interaksi sesama mereka.
Para sahabat Nabi shallallahu’alaihi wasallam dahulu sangat peduli dengan afiliasi (baca: keterikatan dan keterlibatan) mereka, sampai pada tingkat yang menjadikan Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhuma mengurungkan niatnya -pada perang Khandaq- untuk membunuh Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu yang saat itu masih kafir dan menjadi komandan koalisi pasukan kuffar, padahal kesempatan itu sudah ada di depan matanya. Ini ia lakukan demi mengimplementasikan perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam untuk tidak melakukan gerak gerik apa pun meskipun secara lahir memberikan manfaat.
Kecakapan seorang murabbi atau mutarabbi akan sempurna dengan adanya kemampuan dirinya dalam berinteraksi, terlibat dan terikat secara positif dengan lembaga tarbiyah yang ia rasakan ketenangan dalam bernaung di bawahnya, apalagi ia adalah salah satu person yang harus konsisten menerapkan aturan lembaga tersebut, serta menjadi tonggak kesuksesan lembaga dalam mewujudkan misi-misinya.
Seorang murabbi atau mutarabbi yang berkwalitas senantiasa memiliki insiatif dan kepekaan yang membangun terhadap manajemen atau lembaga tarbiyahnya, dengan itu ia akan terlibat sebagai orang yang ikut serta memberikan keputusan. Adapun para murabbi atau mutarabbi yang tidak mau tahu menahu tentang berbagai problem dalam aktiftas tarbiyah mereka atau yang tidak bosan-bosannya duduk menanti orang lain yang menyelesaikan problemnya; maka mereka ini hanya akan menjadi beban bagi lembaga tarbiyah yang menaungi mereka. (Lihat: At-Tarbiyah min Jadiid: hal. 232)
Dalam banyak kesempatan, penulis seringkali ditanya seputar hukum keterikatan dan keterlibatan seorang muslim dalam sebuah lembaga atau organisasi tarbiyah atau dakwah tertentu di mana hal ini tampaknya diharamkan secara mutlak oleh beberapa ustadz atau dai tertentu.
Jawaban dari pertanyaan ini adalah: bahwa pembentukan kelompok atau organisasi atau yayasan atau lembaga sosial, dakwah atau tarbiyah tertentu merupakan hal yang lumrah di berbagai negeri islam lantaran adanya berbagai maslahat besar yang tercapai dengan keberadaan lembaga-lembaga tersebut sebagaimana yang kita selalu rasakan. Oleh sebab itu, para ulama rahimahumullah memfatwakan bolehnya bagi kita semua untuk bergabung pada lembaga yang berasaskan Al-Quran dan Sunah berdasarkan pemahaman para sahabat radhiyallahu’anhum dengan syarat kita tidak boleh menjadikan lembaga tersebut tolok ukur wala’ dan bara’ atau cinta dan benci kita terhadap umat islam.
Di antara fatwa tersebut adalah:
Pertama: Fatwa Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah.
Beliau berkata: “Jika lembaga atau organisasi semakin banyak dalam suatu negeri islam yang semuanya dibentuk dengan tujuan kebaikan, pemberian bantuan, dan saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa antara sesama kaum muslimin tanpa adanya perselisihan hawa nafsu antara pemilik-pemiliknya, maka ia merupakan hal yang baik lagi berkah,dan manfaatnya pun sangatlah besar. Adapun jika suatu organisasi menyesatkan organisasi lainnya serta suka mengkritik kegiatan-kegiatannya (yang baik), maka bahaya yang akan muncul darinya sangatlah besar dan akibatnya sangat merugikan.” (Majmu’ Fatawa Ibni Baaz: 5/202-204)
Kedua: Fatwa Syaikh Al-Albani rahimahullah.
Beliau ditanya tentang Jam’iyah Al-Hikmah Al-Yamaniyah (Organisasi Al-Hikmah dari Yaman).
Beliau menjawab: “Setiap jam’iyyah/organisasi yang dibentuk di atas dasar islam yang benar yang mana hukum-hukumnya disimpulkan dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah serta berada di atas manhaj para salafushshalih, maka tidak ada alasan untuk diingkari dan dituduh sebagai hizbiyah, karena hal tersebut termasuk dalam firman Allah Ta’ala: “Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan takwa”. Saling tolong menolong merupakan perkara yang syar’i dan wasilahnya/sarananya kadang berbeda antara satu zaman dengan zaman lainnya dan antara satu tempat dengan tempat lainnya dan juga antara satu negara dengan negara lainnya. Oleh karena itu menebarkan tuduhan terhadap oraganisasi yang berdiri di atas dasar ini (Al-Quran dan Sunnah) dengan label “Hizbiyyah” atau “Bid’iyyah”, maka ini adalah klaim yang tidak boleh seorang pun berpendapat dengannya sebab hal ini menyelisihi apa yang telah ditetapkan oleh para ulama berupa pembedaan antara bid’ah yang disifati dengan kesesatan secara umum dan sunnah hasanah. Sunnah hasanah merupakan suatu metode yang dibuat dan diadakan sebagai wasilah/sarana yang bisa mengantarkan kaum muslimin pada suatu maksud/tujuan dan masyru’ berdasarkan dalil. Jadi, organisasi-organisasi yang ada di zaman ini tidaklah berbeda dengan semua jenis sarana yang ada pada zaman ini yang bertujuan untuk mengantarkan kaum muslimin pada tujuan-tujuan syar’i.”( Silsilah Al Huda wa An Nur, kaset no. 590 )
Lalu poin selanjutnya adalah tentang keterlibatan dan keterikatan dengan kerja atau aturan-aturan yang ditetapkan oleh lembaga atau organisasi ini. Apakah kita wajib mengikuti setiap aturan atau AD/ART-nya, atau tidak?
Jawabannya adalah aturan atau AD/ART suatu lembaga biasanya dibuat untuk menggambarkan mekanisme kerja suatu lembaga dan sebagai sumber peraturan dalam konteks tertentu. Bila asas utama suatu organisasi atau lembaga adalah Al-Quran dan Sunah, maka lembaga akan berusaha menetapkan AD/ART yang tidak melanggar keduanya. Artinya, AD/ART dibuat agar para anggota yang bergabung di dalamnya bisa bekerja secara maksimal lewat rambu-rambu yang ada, dan tidak bekerja setengah-setengah atau bekerja tapi tanpa mengetahui rambu-rambu dan aturan lembaga yang ada.
Bila demikian, maka secara hukum AD/ART suatu organisasi dakwah atau tarbiyah adalah sama halnya dengan aturan-aturan lembaga lain seperti pesantren, yayasan,sekolah, madrasah, universitas, PT atau lembaga lainnya. Aturan-aturan wajib ini bukanlah syariat baru yang diada-adakan dalam islam, karena ia adalah aturan-aturan mekanisme atau teknis tertentu yang bertumpu pada sarana, sehingga ia tetap dibolehkan dibuat, diikuti dan ditaati selama tidak melanggar batasan-batasan syar’i yang menjadi asas utama organisasi tersebut.
Aturan atau ketentuan atau syarat-syarat seperti ini telah disetujui oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dalam hadis:
المسلمون على شروطهم إلا شرطا حرّم حلالا أو أحل حراما
Artinya: “Kaum muslimin itu harus menaati syarat-syarat (aturan/ketentuan) yang mereka sepakati (komitmenkan bersama); kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Abu Daud: 3594, hasan)
Dalil lainnya juga adalah adanya kaedah fikih yang populer, yaitu:
المسلمون عند شروطهم
Artinya: “Kaum muslimin itu mesti melaksanakan syarat (aturan/ketentuan) yang sudah mereka komitmenkan bersama.”
Makna dari kaedah fikih ini adalah bahwa seorang muslim wajib memenuhi syarat atau aturan yang ia telah wajibkan atas dirinya atau komitmenkan dengan orang lain, karena memenuhi syarat atau aturan tersebut adalah sifat keimanan, dan melanggarnya adalah sifat kemunafikan. Karena syarat atau aturan yang ditetapkan dan dikomitmenkan oleh seorang muslim atas dirinya sendiri adalah bagian dari janji, dan janji mesti harus dipenuhi, dan melanggarnya merupakan sifat kemunafikan. Akan tetapi, bila syarat atau aturan tersebut menyelisihi syariat seperti mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, maka tidak boleh memenuhi syarat tersebut. (Lihat: Mausu’ah Al-Qawaa’id Al-Fiqhiyyah: 9/9)
Tentang ketaatan terhadap aturan organisasi atau lembaga ini, Syaikh Ibnul-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: “Dakwah di negeri kami secara khusus diatur oleh sebuah tandzhim/organisasi, dengannya kami membagi-bagi (tugas) berdasarkan daerah. Ini secara khusus dilakukan oleh Jam’iyyah/Organisasi Ihya Turots, yang mana kami terbagi-bagi dalam beberapa cabang, dan setiap cabang memiliki satu pimpinan, dan pemimpin ini selalu merujuk pada pimpinan yang lebih tinggi kedudukannya darinya seperti dalam hal pengaturan dakwah dari segi kajian-kajian dan sebagainya. Apakah pemimpin kami ini, wajib untuk ditaati ?
Beliau menjawab: “Jika tandzhim/organisasi ini dibuat oleh pemerintah maka wajib untuk mentaati apa yang diperintahkan olehnya karena ia adalah wakilnya pemerintah yang wajib untuk ditaati (perintahnya) kecuali kalau berkaitan dengan maksiat kepada Allah. Adapun kalau hal itu hanyalah tandzhim/organisasi dalam negeri (dengan pimpinan) yang tidak ada hubungannya dengan pemerintah, maka apabila mereka (para anggotanya) meridhainya sebagai pemimpin mereka, maka taat kepadanya adalah suatu kewajiban, dan jika tidak meridhainya sebagai pemimpin,maka ia tidak wajib mentaatinya.” (Liqa’ Al-Bab Al-Maftuh: no. 104/14)
Dari penjelasan singkat beliau ini kita bisa menyimpulkan bahwa siapa saja yang bergabung dalam lembaga tertentu baik lembaga dakwah atau tarbiyah atau sosial atau lembaga apa saja yang terbangun di atas manhaj Ahli Sunah wal Jama’ah maka ia mesti terikat, terlibat dan menaati aturan dan ketentuan yang berlaku di dalamnya. Bila ia tidak ingin direpotkan dengan keterikatan, keterlibatan dan ketaatan tersebut, ia bisa memilih untuk tidak masuk dalam lembaga tersebut. Karena ketidak terikatannya atau ketidak terlibatannya dirinya dalam lembaga tersebut padahal ia menjadi anggotanya secara resmi biasanya akan berakibat negatif bagi aktifitas lembaga tersebut, karena ia selalu diharapkan untuk mengambil peran tertentu tapi ternyata enggan untuk terlibat di dalamnya tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Wallaahu a’lam.
[Diringkas dari “Di Mihrab Tarbiyah: Hal. 151-156”]
Oleh Ustadz Maulana La Eda, Lc