TAQWA DAN PERBAIKAN DIRI
Salah satu ciri dan sifat utama orang bertakwa adalah selalu melakukan perbaikan diri secara berkesinambungan. Mereka adalah orang yang sejak awal berusaha menghindari dosa dan maksiat. Sejak awal mereka berhati-hati terhadap dosa dan maksiat. Sikap mereka terhadap dosa seperti orang yang melintasi jalan licin yang penuh dengan onak dan duri. Yakni selalu melihat dan mengamati, dimana harus meletakkan kakinya agar tidak terpeleset serta tidak menginjak duri. Begitulan orang bertakwa dalam menjalani hidup.
Namun sebagai manusia tentu tidak luput dari salah dan dosa. Karena asalnya manusia tak pernah luput dari salah dan dosa. Sebagaimana dikabarkan oleh Nabi, “Semua anak cucu Adam banyak salah, namun sebaik-baik yang bersalah adalah yang bertaubat”. Demikianlah sifat orang bertakwa. Dalam surat Ali Imran ayat 133-135 Allah menyebutkan beberapa ciri dan sifat orang bertakwa, Allah Ta’ala berfirman;
وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ ﴿١٣٣﴾ الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ ﴿١٣٤﴾ وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ ﴿١٣٥﴾
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. “.
Salah satu ciri orang bertakwa dalam ayat tersebut adalah segera ingat Allah ketika berbuat dosa, lalu memohon ampun kepada-Nya dan meninggalkan dosa serta tidak mengulanginya lagi. Hal itu dilandasi oleh pengetahuan mereka bahwa tidak ada yang mengampuni dosa selain Allah Ta’ala. Menurut Imam Ibn Katsir bahwa makna ayat tersebut adalah, “Jika mereka melakukan dosa, maka mereka segera menyusulnya dengan taubat dan istighfar”. Semakna dengan Ibn Katsir Syekh As Sa’di mengatakan tentang makna ayat tersebut, “(Orang bertakwa itu) jika melakukan keburukan berupa dosa besar atau [dosa] yang di bawahnya (dosa kecil), maka mereka bersegera melaukan taubat dan istighfar serta ingat kepada Allah dan ancaman-Nya kepada para pelaku maksiat serta janji-Nya kepada orang bertakwa, lalu mereka meminta ampun atas dosa-dosa mereka dan ditutupi aib-aib mereka, hal itu mereka sertai dan iringi dengan meninggalkan dan menyesali dosa tersebut.
Hal ini menunjukan bahwa yang membuat orang-orang bertakwa lebih istimewa bukan karena tidak pernah berbuat salah dan dosa sama sekali. Tapi yang menyebabkan mereka istimewa adalah sikap dan cara pandang mereka terhadap dosa dan kesalahan. Sejak awal mereka berusaha dengan sungguh-sungguh meninggalakan serta menghindari dosa dan maksiat. Dan ketika terjatuh mereka segera menyadari dan mengakui kesalahan tersebut, lalu meninggalkannya kemudian memohon ampun kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah pada lanjutan ayat tersebut, “. . . dan mereka tidak melanjutkan dosa tersebut, dan mereka tahu”. Artinya tatkala terjatuh dalam dosa dan sadar bahwa mereka berdosa, mereka segera ingat Allah, kemudian beristighfar kepadaNya. Sebab mereka tahu bahwa, “tidak ada yang mengampuni dosa melainkan Allah”.
Menjadi manusia taqwa bukan menjadi manusia tanpa noda dan dosa sama sekali. Tapi upaya menjadi orang bertakwa artinya menapaki jalan perbaikan diri secara terus-menerus dengan menghindari dosa, selalu mengiringi perbuatan buruk dengan taubat, istighfar dan kebaikan lainnya. Sebagaimana wasiat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, “Bertakwalah kepada Allah kapan dan dimanapun engkau berada, ikutilah keburukan dengan perbuatan baik niscaya kebaikan tersebut akan menghapuskan keburukan, dan bersikaplah kepada manusia dengan akhlaq yang baik”. (terj. HR. Tirmidzi).
Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa kebaikan dapat menghapus keburukan atau dosa. Hal ini sejalan pula dengan beberapa ayat al-Qur’an diantaranya firman Allah dalam surah Hud ayat 114, “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan menghapuskan keburukan”. Dan tak dapat dipungkiri bahwa kebaikan nomor urut pertama sebagai penghapus dosa dan keburukan adalah taubat dan istighfar sebagaimana dikatakan oleh para Ulama, diantaranya Imam An-Nawai, Syekh Al-Utsaimin, dam Syekh Abdul Muhsin Al-Abbad. Imam An-Nawawi mengatakan bahwa makna “Wa atbi’iss ayyiah al hasanah tamhuha” adalah, “jika kamu berbuat keburukan maka beristigfar (mohon ampun) lah kepada Allah Ta’ala atas dosa tersebut lalu kerjakan kebaikan setelahnya, niscaya istighfar dan taubat tersebut akan menghapuskan keburukan itu”. Senada dengan Imam An-Nawawi Syekh Al-Utsaimin mengatakan bahwa makna mengikuti keburukan dengan kebaikan adalah, “engkau bertaubat kepada Allah dari keburukan tersebut, karena taubat merupakan kebaikan”. Syekh Al-Abbad juga mengatakan bahwa makna, “Wa atbi’issayyiah al hasanah tamhuha”, adalah, “Ketika seseorang melakukan keburukan hendaknya bertaubat dari keburukan tersebut, karena taubat merupakan kebaikan yang menghapuskan perbuatan (buruk) sebelumnya”.
Oleh karena itu mari selalu tingkatkan ketakwaan kepada Allah dengan selalu memperbaiki diri secara berkesinambungan melalui taubat dan istighfar. Jangan bosan memperbaharui taubat dan istighfar kita, meskipun kadang kita terjatuh ke dalam keburukan dan dosa yang sama. Sebab boleh jadi nyawa kita dicabut oleh Allah disaat setelah memperbaharui taubat dan istighfar kita.
Penutup
Pada awal tulisan ini telah disebutkan bahwa diantara sifat utama orang-orang bertakwa adalah selalu melakukan perbaikan diri secara berkesinambungan melalui taubat dan istighfar. Namun perlu diperhatikan bahwa taubat yang diterima adalah yang memenuhi syara sebagai taubat yang tulus (nasuha). Taubat[an] nasuha adalah yang memenuhi syarat (1) penyesalan, (2) meninggalkan dosa, dan (3) berazam untuk tidak mengulangi dosa tersebut.
Selain itu, aspek lain yang perlu diperhatikan berkenaan denga taubat dan istighfar ini adalah (1) Mempersering istighfar dan taubat, dan (2) istiqamah dalam melakukannya. Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam yang merupakan pemimpin orang-orang bertakwa dikenal banyak bertaubat dan beristighfar kepada Allah. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, aku mendengar Rasullah shallallhu ‘alahi wa sallam bersabda, “Demi Allah, aku beristighfar kepada Allah dan benar-benar bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali”. (terj. HR. Bukhari). Bahkan dalam riwayat Muslim dari Aghar bin Yasar al Muzani, beliau bertaubat dalam sehari seratus kali. [sym, tulisan ini pernah dimuat pada rubrik Materi Khutbah Majalah Tabligh, No/10/XIV November 2016/Shafar 1438).