Taqlid dan ta’ashshub, keduanya bisa dianggap sebagai penyebab terbesar dari timbulnya firqoh dan penyimpangan ummat dari jalan lurus, serta memiliki peran dalam penye-baran bid’ah dan hawa nafsu.

Definisi taqlid dan ta’ashshub
Menurut bahasa, taqlid berarti mengenakan kalung di leher. Sedangkan ta’ashshub berarti mengikat kuat-kuat, berasal dari kata “al-’ashobiyah” (lihat Ash-shihah 2: 527)
Sedangkan menurut Istilah, taqlid artinya merujuk kepada perkataan seseorang yang tidak ada hujjah atasnya (lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi 2:17) Sedangkan ta’ashshub berarti menjadi-kan suatu pendapat atau ijtihad sese-orang menjadi hujjah atas semua hamba (lihat Adabuth Tholab wa Muntaha’l Arab hal.7)

Ahli bid’ah berlaku taqlid kepada guru-guru dan imam-imam mereka secara membabi buta. Mereka juga mendahu-lukan perkataan guru dan imam mereka sekalipun bertentangan dengan perkata-an Allah dan Rasul-Nya. Bahkan sebagian besar dari mereka meyakini kema’shu-man guru-guru mereka dan menganggap mereka tidak akan melakukan sesuatu kecuali yang benar, tidak berkata kecuali yang shidq (jujur), karena guru itu terlindung dari kesalahan (ma’shum).

Karena taqlid dan ta’ashshub inilah bid’ah tersebar dan merajalela di kala-ngan ummat, sehingga menghalangi sampainya petunjuk dan kebenaran kepada mereka. Karena sebab itulah mereka meninggalkan manhaj Rabbani yang agung dan petunjuk Nabawi yang lurus. Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala
telah mencela orang-orang yang berpaling dari kebenaran lalu memilih taqlid dengan hujjah nenek moyang mereka. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيـْــنَا عَلَـــــيْهِ آبَـــاءَ نـــَـــا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَــيْئًا وَ لاَ يَــهْتَدُونَ . البقرة :170

“Dan apabila dikatakan kepada mereka; Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah. Mereka menjawab; (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami. (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apapun dan tidak mereka mendapat petunjuk?” (QS. Al-Baqarah : 170)

Adapun taqlid yang menyangkut Al-Haq, pada hakekatnya bukanlah suatu taqlid, namun lebih tepat disebut sebagai suatu ittiba’. Berkata Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullahu Ta’ala : “’Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para shahabatnya Radhiyallahu ‘Anhum”. Kemudian beliau mengatakan : “Janganlah kalian taqlid kepadaku, kepada Malik, Sufyan Ats-Tsauri dan Al- Auza’i, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Lihat I’lamul Muwaqqi’in 2:139).
Perkataan Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah Ta’ala diatas menunjukkan ungkapan ittiba’, bukanlah taqlid. Maka jelaslah, bahwa As Salafush Shalih, mereka itu tidak lain hanyalah mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah, dan orang yang mengikuti mereka dan manhajnya tidak lain hanyalah sebagai orang yang mengikuti petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah.
Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala telah memberitakan tentang keadaan orang-orang yang berpaling dari petunjuk-Nya dan tidak mengikuti apa-apa yang dibawa oleh para nabi mereka, mereka hanya mengikuti tokoh-tokoh dan pem-besar-pembesar mereka. Allah Subhanahu Wata’ala berfiman :

يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي الــنَّارِ يَقُولُونَ يَالَــيْتَنَا أَطَعْـنَا اللهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَ . وَقَالُوا رَبَّـــنَا إِنَّا أَطَعْــنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَ . الأحزاب:66-67

“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, “Alangkah baiknya andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul”. Mereka berkata, “Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin dan pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar” (QS. Al Ahzab : 66-67)

Ibnu Katsir berkata: “Diriwayatkan dari Ibnu Abi Hatim, artinya, “Kami mengi-kuti umara’ (para pemimpin) dan para pembesar dari guru dan syekh kami, dan kami menyalahi rosul-rosul dan meyakini mereka (pemimpin dan pembesar itu memiliki pengetahuan dan berdiri di atasnya, namun nyatanya mereka tidak memiliki sesuatu (penge-tahuan) apapun” (Tafsir Al-Qur’an Al Azhim)

Atsar Shahabat
Adapun atsar para sahabat tentang masalah ini banyak sekali, di antaranya Perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma
: “Hampir-hampir hujan batu turun menimpamu dari langit, ketika aku katakan, “Berkata Rasulullah .” kalian berkata, “Berkata Abu Bakar dan Umar” (Lihat Jami’ Bayanil ‘ilmi wa Fadhlihi 2: 196)
Ibnul Qoyyim Rahimahullah Ta’ala berkata dalam menanggapi perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma : “Semoga Rahmat Allah kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Bagaimana seandainya ada seseorang melihat suatu kaum yang menentang perkataan Rasulullah dengan mengatakan, “Telah berkata Aristoteles, Plato, Ibnu Sina, Al Farabi, Jahm bin Shofwan, Bisyr bin Ghiyats Al Marisy dan yang semisal dengan mereka” (Lihat Mukhtashar Ash Shawa’iq Al Mursalah, Ibnul Qoyyim, I: 224)
Coba kita perhatikan ujian yang menimpa ummat Islam dewasa ini, adanya taqlid dan ta’ashshub di antara firqoh-firqoh, madzhab-madzhab dan sekte-sekte. Setiap kelompok mendasar-kan seluruh permasalahannya kepada perkataan ulama tertentu. Bahkan lebih dari itu, mereka melecehkan seluruh ulama dan menganggap mereka sesat, bid’ah dan berpaling dari mereka, bahkan tuduhan kafir. Ini semua meru-pakan ulah ahli bid’ah dan pengabdi hawa nafsu, di mana mereka memecah belah ummat menjadi kelompok-kelompok dan golongan-golongan yang masing-masing bangga dengan golo-ngannya.

Perbedaan Ta’ashshub dan Tsabatul Haq
Asal mula ta’ashshub adalah lemah jiwa dan jahilnya akal. Jalan yang ditempuh orang yang ta’ashub adalah menghalangi seseorang untuk menge-tahui dalil yang menyalahinya, semen-tara jalan orang yang menetapi kebe-naran (Tsabatul Haq) adalah diskusi bebas, dan mendengarkan dalil yang bertentangan dengan dada terbuka dan wawasan yang luas dan menolak secara halus tanpa menjatuhkannya dengan berharap semoga dia diberi petunjuk.

Hasil dari ta’ashshub adalah ikhtilaf, terbentuknya firqoh, sedangkan hasil dari tsabatul haq adalah persatu-an dan kesatuan pada kebenaran, serta menegur orang yang menyalahi man-hajnya. Di antara hasil dari sikap ta’ashshub yang membahayakan dan amat jahat ialah enggan menerima kebenaran dan membantahnya mana-kala bertentangan dengan pendapat (hawa nafsu)-nya. Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk menjauhi thoriqoh (jalan) mereka dan menyeru-pai mereka.

Kaidah-kaidah Umum dalam Per-kara Taqlid
Pertama, bagi Muqollid (orang yang mengikuti) hendaklah ia tidak mengikuti orang yang ditaqlidkannya, kecuali terhadap sesuatu ilmu yang memang dia (orang yang diikuti) ‘alim dengannya. Jika diketahui orang yang diikuti itu salah, hendaklah tidak meneruskan taqlidnya, kecuali setelah perkara itu jelas. Karena kesalahan dan ketergelin-ciran mungkin terjadi bagi setiap manusia. (Lihat Al-I’tishom 2: 334)
Kedua, agar tidak membabi-buta dalam melakukan taqlid, terhadap orang yang jelas-jelas memiliki kesalahan secara syar’i dalam taqlidnya. (Lihat Majmu’ul Fatawa, 20:214)
Ketiga, orang awam tidak boleh memin-ta fatwa, kecuali terhadap orang yang memang ahli fatwa. Jika di dalam suatu negeri ada beberapa orang mujtahid, maka boleh bertanya kepada seorang dari mereka. (Lihat Mudzakkiroh Ushul Fiqh, Syinqithi, hal. 315)
Keempat, tidak wajib untuk beriltizam kepada satu madzhab tertentu. Pada hakikatnya ini adalah bentuk taqlidnya seseorang kepada seorang ‘alim dalam setiap permasalahan, dan ini adalah prinsip. Syaikhul Islam berkata, “Dan tidaklah wajib bagi seseorang dari kaum muslimin untuk bertaqlid kepada se-orang ulama manapun, dalam setiap hal yang dikatakannya”. (Lihat Majmu’ul Fatawa 20: 29)
Kelima, Pengecualian terhadap prinsip tersebut adalah : dibolehkannya ittiba’ kepada madzhab tertentu bagi orang yang tidak mampu mengetahui syari’at kecuali dengan cara tersebut. Syaikhul Islam mengatakan, bahwa dengan prinsip ini berarti tertolaknya menisbat-kan kepada syaikh tertentu. Namun jika orang itu tidak memungkinkan bisa beribadah kepada Allah, kecuali dengan cara itu (menisbatkan diri kepada satu madzhab atau syaikh tertentu), lalu akan menambah (pengetahuan) Dien dan ilmunya, maka dalam hal ini ia telah melakukan kebaikan bagi agamanya. Dan yang demikian itu biasanya tidaklah terjadi, kecuali disebabkan oleh kele-ngahannya dalam mencari petunjuk, jika memang ada. (Lihat Majmu’ Fatawa 11: 514)
Keenam, Tidak boleh bagi orang yang menisbatkan kepada seorang ulama tertentu, untuk menampakkan muwalah (loyalitas) dan mu’adah (permusuhan) nya di atas asas penisbatan tersebut. Bagi orang yang melakukan hal yang demikian, berarti ia termasuk ahli bid’ah. Syaikul Islam Rahimahullahu Ta’ala berkata : “Maka barang siapa yang lebih condong untuk bertaqlid kepada Syafi’i dari pada yang lain, hendaklah ia tidak menging-kari kecuali orang yang lebih condong kepada yang lain, dan seterusnya…” (Lihat Majmu’ul Fatawa 20: 292)
Adapun penisbatan yang menye-babkan terpecahnya kaum muslimin, dalam hal ini keluar dari jama’ah, ber-ikhtilaf, menuju firqoh-firqoh dan me-nempuh jalan ibtida’ (bid’ah), maka hal tersebut adalah terlarang, berdosa bagi pelakunya, dan berarti pula keluar dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Lihat Majmu’ul Fatawa 11: 514)
Ketujuh, Diperbolehkan bagi Muqollid untuk beralih madzhab yang lain dalam perkara Dien, dan bukan untuk mencari kemudahan atau yang serupa dengan itu, yang bukan dengan alasan Dien. Contoh dari kaidah ini adalah seorang muqollid berpindah madzhab dalam suatu perkara yang dibangun di atas hujjah yang kuat dan dalil yang jelas, maka yang demikian itu merupakan perbuatan yang terpuji dan berpahala bagi pelakunya. Bahkan hal ini wajib bagi setiap orang yang jelas baginya hukum Allah dan Rasul-Nya, dalam urusan yang tidak menyimpang dari-nya.” (Lihat Majmu’ul Fatawa 20: 223)
Jika kaum muslimim benar-benar memperhatikan kaidah ini, serta kaidah lain yang merupakan prinsip ulama-ulama ahlussunnah, tentulah mereka tidak terjerumus ke dalam ta’ashshub yang menyebabkan berfirqoh-firqoh dan bergolong-golongan. -Wallahu A’lam-.


-Abu Abdirrahman-

Al-Maraji’: Wujub Luzumil Jama’ah wa Tarkit Tafarruq, Syaikh Dr. Jamal bin Ahmad bin Basyir Badi.

(Edisi Tahun 3 Edisi 5)

Artikulli paraprakNASEHAT BAGI PARA DA’I
Artikulli tjetërKEUTAMAAN MEMBACA AL-QUR’AN

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini