TANGGAPAN TERHADAP MAKALAH “MENGAPA KAMI MEMILIH MAZHAB AHLUL BAIT AS”

Date:

TANGGAPAN TERHADAP MAKALAH 

“MENGAPA KAMI MEMILIH MAZHAB AHLUL BAIT AS”

Oleh: Rahmat A. Rahman

Ketua Lembaga Kajian dan Konsultasi Syariah Wahdah Islamiyah

 

Berkenaan dengan acara diskusi bertema MAZHAB SYIAH DALAM TIMBANGAN ALQURAN DAN SUNNAH, yang digelar oleh Lembaga Studi & Informasi Islam (LSII) Makassar-Indonesia, tanggal 1 Januari 2009 di Hotel Horison Makassar, Prof. Dr. H. Jalaluddin Rakhmat (selanjutnya ditulis JR) selaku Ketua Dewan Syura IJABI menjadi pemateri tunggal dengan makalah berjudul : MENGAPA KAMI MEMILIH MAZHAB AHLULBAIT AS.Undangan yang hadir pada forum diskusi tersebut adalah para dai dan muballigh serta tokoh-tokoh Islam di Kota Makassar.

Ada beberapa catatan kami dalam diskusi tersebut, pertama, sangat disayangkan, pada diskusi ini pembicaranya tunggal hingga perkembangan diskusi tidak imbang. Kedua, makalah dibagikan pada saat acara dimulai hingga tidak memberi kesempatan pada audience membaca dan mempelajari secara cermat dan seksama. Ketiga, waktu yang tersedia untuk diskusi sangat terbatas, hingga audience yang ingin mengemukakan pandangan dan sanggahan tidak mendapat porsi waktu memadai.

Pembaca, kalau dalam makalahnya, JR tidak sanggup menahan tawanya lantaran pendapat seorang kiai yang menurutnya keliru, maka kala membaca makalah "ilmiah" JR dalam diskusi tersebut, kami justru sangat terperanjat dan terhenyak tak dapat menahan rasa heran. Kami mohon maaf. Kami tidak percaya kalau orang seperti JR yang telah menyabet deretan gelar akademik, ternyata mengabaikan hal-hal yang bernilai amanah ilmiah.  
Karena itulah, maka melalui tulisan ini, kami menyampaikan sanggahan terhadap makalah "ilmiah" JR.

Tanggapan umum:
1.    Amat disayangkan, sebagai seorang ilmuan dan akademisi, seharusnya paham dan komitmen terhadap etika penulisan ilmiah. Kenyataannya, dalam makalah JR tersebut, sarat dengan referensi-referensi yang dimanipulasi. Sebab seluruh kitab klasik yang dituliskan sebagai rujukan, ternyata tidak memberi simpulan sebagaimana kehendak JR.

2.    JR sering memotong-motong teks pernyataan ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Hal itu agar pembaca mengira bahwa mereka rahimahumullah menyepakatinya dalam pilihan mazhabnya. Kenyataannya jauh panggang dari api. Padahal penyempurnaan teks kutipan merupakan tuntutan amanah ilmiah

3.    Inkonsistensi JR dalam memilih pendapat ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Caranya, dengan memilih dan/atau memenggal pendapat ulama tertentu atau memelintir bagian-bagian kalimat yang digunakan mendukung pendapatnya. Misalnya: JR tidak konsisten memegang metode Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam menshahih/hasankan suatu hadits. Pada hadits “at-Tsaqalain”, JR begitu gigih memuji Nashiruddin al-Albani dalam penshahihan terhadap hadits dan menjelaskan metode beliau yang sangat baik, dengan mengumpulkan semua riwayat hadits tersebut. Celakanya, pada hadits “Kitaballahi wa Sunnata Nabiyyihi” sedikitpun ia tidak menoleh pada penjelasan al-Albani tentang derajat hadits ini dengan metode yang sama. Selain sebagai bentuk inkonsistensi, cara demikian itu jelas tidak sesuai dengan etika ilmiah dan akhlak terpuji yang seharusnya dimiliki seorang ilmuwan apalagi bergelar professor.

Tanggapan Atas Dalil-dalil Yang Terdapat Dalam Makalah:
1.    Ayat Tathhir (Pernyataan Kesucian) yaitu dalam Qs. al-Ahzab:33 Allah berfirman:

(وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا)

JR menerjemah ayat ini: “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.

Dalam makalah "ilmiahnya", setelah memaparkan ayat di atas dan hadits-hadits yang ia klaim sebagai penguatnya, JR lalu berkata: "Hadits-hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa ahlulbait itu tidak termasuk ke dalamnya istri-istri Nabi saw". (hal. 2).
Tanggapan:
a.    Terjemahan lengkap ayat di atas adalah: “Dan hendaklah kamu (wahai istri-istri Nabi) tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta`atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”

Rangkaian ayat ini sangat jelas berkaitan dengan istri-istri Rasulullah saw. Namun sayang, JR menyunat terjemahannya dan hanya mengambil penggalan akhirnya, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. Pemenggalan dengan cara mengeluarkan Ummahatul Mukminin dari konteks ayat ini jelas merupakan sebuah kekeliruan yang disengaja.

Penggunaan kata ganti kedua (kum) yang biasanya dipakai untuk kaum lelaki jamak menunjukkan, bahwa Rasulullah saw-pun masuk dalam ayat ini seperti firman Allah dalam Qs. Hud:72-73. Ini sebagaimana penjelasan para mufassir, di antaranya Imam Ibnu Katsir. Masuknya keturunan beliau saw (Fatimah, Ali, al-Hasan dan al-Husain) tidaklah menunjukkan bahwa istri-istri beliau tidak ikut masuk, sebab kaidah “al-Ibratu bi Umumi al-Lafzhi La bi Khususi as-Sababi” pun mengharuskan masuknya Sababun Nuzul dalam konteks nash

b.    Hadits Ummu Salamah ra. dalam riwayat at-Tirmidzi yang dipahami oleh JR mengeluarkannya dari lingkaran Ahlul Bait, justru sebaliknya. Sebab perkataan Nabi saw. (أنت على مكانك أنت في خير) tidaklah menunjukkan indikasi ke arah sana sebagaimana penjelasan Syurrahul Hadits, di antaranya Syaikh al-Mubarakfuri dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzi yang juga dijadikan JR sebagai salah satu referensinya,

تحفة الأحوذي – (ج 8 / ص 48)

يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ مَعْنَاهُ أَنْتِ خَيْرٌ وَعَلَى مَكَانِك مِنْ كَوْنِك مِنْ أَهْلِ بَيْتِي وَلَا حَاجَةَ لَك فِي الدُّخُولِ تَحْتَ الْكِسَاءِ كَأَنَّهُ مَنَعَهَا عَنْ ذَلِكَ لِمَكَانٍ عَلِيٍّ وَأَنْ يَكُونَ الْمَعْنَى أَنْتِ عَلَى خَيْرٍ وَإِنْ لَمْ تَكُونِي مِنْ أَهْلِ بَيْتِي كَذَا فِي اللُّمَعَاتِ قُلْت الِاحْتِمَالُ الْأَوَّلُ هُوَ الرَّاجِحُ بَلْ هُوَ الْمُتَعَيَّنُ

“Kemungkinan maknanya: “Engkau sudah baik karena telah menjadi Ahli Bait-ku, olehnya tidak perlu ikut masuk dalam selimut ini”, seakan-akan beliau melarangnya ikut masuk karena kedudukan Ali ra. Atau, kemungkinan kedua adalah: “engkau sudah baik meskipun bukan termasuk Ahlu Bait-ku”, demikian disebut dalam al-Luma’at. Aku berkata: kemungkinan makna pertama itulah yang kuat, bahkan yang seharusnya”.

Perhatikan, JR sengaja menanggalkan pernyataan beliau di atas lantaran tidak sesuai dengan “ijtihad”nya. Anehnya, mengapa pula kemudian dicantumkan sebagai salah satu referensi ? apakah memang hanya sekedar pameran dan justifikasi secara tidak tepat bahwa pemikirannya didukung oleh para ulama Ahlus Sunnah ? Wallahu a’lam. Lalu bandingkan hasil “ijtihad” JR dengan riwayat Imam Ahmad yang tegas memasukkan Ummu Salamah ra. sebagai Ahlul Bait:

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَسْتُ مِنْ أَهْلِكَ قَالَ « بَلَى فَادْخُلِى فِى الْكِسَاءِ ».

 
Aku (Ummu Salamah) berkata: "Ya Rasulullah bukankah aku bagian dari keluargamu?" Beliau menjawab: “Tentu, masuklah ke dalam selimut ini”.

Riwayat ini disebut pula oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, yang juga menjadi referensi JR dalam menjelaskan ayat ini. Sayangnya, JR tidak menyinggungnya sedikitpun karena tidak sesuai dengan asumsinya. Maka di manakah akhlak ilmiahnya Kang ?

Lalu kalau-pun asumsi JR bahwa Ahlul Bait terbatas hanya pada Ali, Fathimah, al-Hasan dan al-Husain radhiyallahu anhum, lantaran merekalah yang masuk dalam selimut (al-Kisa’) ditambah adanya pembatasan dengan lafazh innama pada ayat, maka bagaimana dengan kesimpulan ia tentang 12 imam yang masuk dalam kategori Ahlul Bait dari keturunan al-Husain ??

Ini merupakan perkataan yang aneh. Sebab mereka belum ada pada saat itu. Apalagi ikut bergabung masuk dalam selimut. Atau, mungkin ada riwayat dalam kitab-kitab Syi’ah al-Itsna al-Asyariyah yang mengharuskan para imam untuk mengenakan selimut warisan Nabi saw. sebagai prosesi pembabtisan untuk menjadi Ahlul Bait ???

c.    Kalimat “yuthahhirukum” tidak khusus pada konteks Ahlul Bait. Allah swt. juga memakai kalimat ini pada konteks thaharah (Qs. al-Maidah:6), dan ada kesamaan antara kedua ayat tersebut, yaitu iradah dalam keduanya adalah iradah syar’iyah yang menuntut perbuatan mereka-mereka yang hendak disucikan sesuai persyaratan dalam ayat-ayat itu. Dan maksudnya bukan kesucian mereka secara kauniyah/qadariyah karena status mereka. Di dalam riwayat Imam Ahmad sendiri, Rasulullah saw. pernah berdoa:

مسند أحمد – (ج 57 / ص 422)

(( اللَّهُمَّ أَهْلِى أَذْهِبْ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيراً اللَّهُمَّ أَهْلُ بَيْتِى أَذْهِبْ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيراً ))

“Ya Allah keluargaku, singkirkanlah dari mereka segala kotoran dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya. Ya Allah Ahlu Bait ku, singkirkanlah dari mereka segala kotoran dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya”. (HR. Ahmad no: 1111)
Jika kesucian/kemaksuman Ahlul Bait adalah qadariyah, maka doa Nabi saw. ini tidak ada artinya atau sia-sia, padahal beliau terjaga dari segala kesia-siaan.

d.    Rentetan "pameran" referensi yang begitu banyak dicantumkan, ternyata hanya sekedar kamuflase dan pengelabuan bagi orang awam yang mungkin baru membaca nama kitab-kitab tersebut. Kenyataannya, kitab-kitab yang dipaparkan oleh JR itu justru membantah pengkhususan ayat ini hanya pada Ali, Fatimah, al-Hasan dan al-Husain. Para penulis kitab-kitab tersebut menegaskan, bahwa ayat ini turun atas istri-istri Nabi saw. Sebagai contoh, perkataan Imam  as-Suyuthi dalam ad-Durr al-Mantsur:

وأخرج ابن أبي حاتم وابن عساكر من طريق عكرمة رضي الله عنه عن ابن عباس رضي الله عنهما في قوله { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس ، أهل البيت } قال : نزلت في نساء النبي صلى الله عليه وسلم خاصة . وقال عكرمة رضي الله عنه : من شاء بأهلته أنها نزلت في أزواج النبي صلى الله عليه وسلم .
وأخرج ابن مردويه من طريق سعيد بن جبير رضي الله عنه عن ابن عباس رضي الله عنهما قال : نزلت في نساء النبي صلى الله عليه وسلم …

“Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Asakir meriwayatkan dari Ikrimah ra. dari Ibnu Abbas ra. tentang ayat ini, beliau berkata: ia turun berkenaan dengan istri-istri Nabi saw. secara khusus. Ikrimah berkata: aku siap bermubahalah, sungguh ayat ini turun berkenaan dengan istri-istri Nabi saw.
Ibnu Mardawaih juga meriwayatkan dari jalan Said ibn Jubair ra. dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Ayat ini turun berkenaan dengan istri-istri Nabi saw.”

e.    Perkataan JR: Nabi saw. terjaga dari dosa dan kesalahan. Kita harus mengikuti Rasulullah saw. karena ia selalu benar. Sepeninggal Rasulullah saw. kita harus mengikuti orang-orang yang dijamin kesuciannya dalam Al Qur’an

Pertanyaannya, Setelah imam Syi’ah al-Itsna al-Asyariyah (mazhab JR) yang ke 12 "ngumpet" di goa al-Sirdab, maka bagaimana dengan ”umat” yang ditinggalkannya ?? Akan mengikut orang suci yang mana? Apakah para pemimpin Syi’ah sekarang adalah ”orang-orang suci” tersebut? Kalo iya, mana ayat al-Qur’annya?
Atau, mungkinkah ada dalam al-Qur’an khusus orang Syi’ah ? Wallahu a’lam.

2.    Ayat Wilayah (Kepemimpinan)
Di dalam Qs. al-Maidah:55 Allah berfirman:

(إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ )

Terjemahan JR: “Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang beriman yang mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat dalam keadaan rukuk”

Tanggapan:
a.    Bandingkan terjemahan JR di atas dengan terjemahan Depag RI yang umum dipakai oleh masyarakat: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”

Imam Ibnu Katsir yang kitabnya dijadikan salah satu rujukan oleh JR dalam menjelaskan sabab nuzul (Sya’nu an-Nuzul) ayat ini menyatakan, ayat-ayat ini (dari ayat ke 50) turun berkaitan dengan Ubadah ibn as-Shamit ra. Adapun riwayat yang menyebutkan tentang Ali ibn Abi Thalib ra., tidak benar sedikitpun berdasarkan kelemahan sanad dan perawi-perawinya yang majhul (silahkan rujuk kembali penjelasan Ibnu Katsir tentang ayat ini).

Celakanya, sekali lagi JR memelintir perkataan ulama,  demi mendukung keyakinannya dengan dalih agar makalahnya tidak seperti skripsi. Sangat disayangkan jika sebuah karya "ilmiah" (makalah) dibuat dengan cara melanggar etika ilmiah secara sengaja untuk tujuan mengelabui. Apalagi, yang menyusunnya adalah seorang professor yang tentu tahu metodologi ilmiah, bahwa tidak boleh menyandarkan suatu perkataan kepada seseorang yang ia tidak ucapkan.

b.    Perkataan Imam at-Tsa’alibi (dan bukan as-Tsa’labi seperti pada makalah JR) pun tidak bisa mengelak dari sayatan "pisau sunat" sang Professor. Dimana dengan sengaja ia hanya menukil riwayat as-Suddi dan ulama lainnya, lalu mencampakkan tafsir beliau yang sangat jelas terhadap ayat ini:

ثم وصفهم سبحانه بتَكْثير الركُوعِ ، وخُصَّ بالذكْر؛ لكونه مِنْ أعظم أركان الصلاة ، وهي هيئَةُ تواضعٍ ، فعبَّر عن جميعِ الصلاَةِ؛ كما قال سبحانه : { والركع السجود } [ الحج : 26 ] هذا هو الصحيحُ . ، وهو تأويل الجمهورِ ، ولكن اتفق مع ذلك أنَّ عليَّ بْنَ أبي طالِبٍ ( رضي اللَّه عنه ) أعطى خاتَمَهُ ، وهو راكعٌ .

قال السُّدِّيُّ : وإن اتفَقَ ذلك لعليٍّ ، فالآية عامَّة في جميعِ المؤمنين .

“Lalu Allah Subhanahu mensifati mereka (orang-orang beriman) dengan banyak ruku’. Penyebutan ruku’ secara khusus, disebabkan karena ia merupakan rukun shalat yang paling utama dan ia bentuk tawadhu’, maka dijadikan ungkapan bagi seluruh amalan shalat sebagaimana firman Allah: "dan mereka yang banyak ruku’ dan sujud", inilah tafsir yang benar, dan ia merupakan penafsiran jumhur ulama, kendati bersamaan dengan ini Ali ibn Abi Thalib ra. menyerahkan cincinnya dalam keadaan ruku’. as-Suddi berkata: meskipun bersamaan dengan Ali ra. namun ayat ini berlaku umum bagi seluruh kaum mukminin”.

Maka jelaslah, tidak ada sedikitpun dalil dalam perkataan Imam at-Tsa’alibi atau as-Suddi di atas yang menunjukkan kekhususan kepemimpinan pada Ali ibn Abi Thalib ra. sepeninggal Rasulullah saw. seperti yang diklaim oleh JR. Dan patut dipahami, bahwa bersedekah dalam keadaan ruku’ tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw., alih-alih memerintahkan atau minimal menganjurkan. Bagaimana mungkin Allah swt. menjelaskan persoalan kepemimpinan sepeninggal Rasulullah saw dalam keadaan yang bukan merupakan syariatNya ??

Sungguh, merupakan satu persoalan besar dalam membangun dialog dan menanamkan kepercayaan pada seorang yang doyan munyunat dan memenggal perkataan ulama.

c.    Perkataan JR: Berkata Abu Ja’far al-Iskafi …(al-Mi’yar wal Muwazanah 228). Tentang Abu Ja’far al-Iskafi, al-Dzahabi berkata: Dia alim besar Abu Ja’far Muhammad ibn Abdullah al-Samarqandi al-Iskafi ..

Pembaca, kami menelusuri buku al-Mi’yar wal Muwazanah yang disebut JR di sini, lalu meneliti siapa Abu Ja’far al-Iskafi yang dimaksud. Ternyata, hasilnya sangat mencengangkan. Buku al-Mi’yar wal Muwazanah itu ditulis oleh Abul Qasim Ja’far ibn Muhammad al-Iskafi seorang bermazhab Syi’ah (bukan Abu Ja’far al-Iskafi yang disebut oleh Imam ad-Dzahabi di atas). Namun oleh seorang ulama Syiah Muhammad Baqir al-Mahmudi kala mentahqiq buku tersebut, sengaja mengganti nama penulisnya dengan Abu Ja’far al-Iskafi Muhammad bin Abdillah al-Mu’tazili.  

Allahul Musta’an, beginilah keadaan orang Syi’ah dari dulu hingga sekarang, doyan bohong dan menipu orang. Lucunya, hingga temannya sendiri, JR-pun ikut dikibuli. Makanya sang professor pun harus bersusah-susah mencari riwayat hidup Abu Ja’far al-Iskafi dan tidak mengutip kecuali dari Imam ad-Dzahabi. Alasannya,  kalau ad-Dzahabi maka semua dari kalangan Ahlus Sunnah pasti menerimanya.

Namun sayangnya, JR tidak membaca riwayat tokoh yang ia sebut itu di dalam kitab al-A’lam karya az-Zarkly yang menyebutnya sebagai tokoh bahkan imam kelompok Mu’tazilah. Atau, perkataan as-Shafadi dalam kitabnya al-Wafi bil Wafiyat yang menyebutnya sebagai pemimpin kelompok al-Iskafiyah, satu sekte dari kelompok Mu’tazilah yang mengingkari adanya takdir orang berakal berbuat kezhaliman dan mengimani takdir kezhaliman anak-anak dan orang gila.

Ala kulli hal, terlepas dari semua itu, JR telah terkelabui, dan penulis buku tersebut bukanlah yang dimaksud oleh JR.

3.    Ayat Mawaddah
Di dalam Qs. as-Syura:23 Allah berfirman:

(ذَلِكَ الَّذِي يُبَشِّرُ اللَّهُ عِبَادَهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى وَمَنْ يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْنًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ )

Terjemahan JR: “Demikianlah Allah menggembirakan hamba-hambanya yang beriman dan beramal saleh. Katakanlah: Aku tidak meminta upah dari kalian atasnya kecuali kecintaan kepada keluargaku. Barangsiapa berbuat baik, Kami tambah kebaikannya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Berterimakasih”

Tanggapan:
a.    Sekali lagi, bandingkan terjemahan JR di atas dengan terjemahan mushaf Depag RI: “Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan". Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu.

Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri”. Kata al-qurba diartikan dengan kekeluargaan sebagaimana makna yang tekandung pada ayat lain dari kata ini, seperti Qs. al-Anfal : 61, al-Hasyr:  9, ar-Rum : 38. Sedangkan makna ayat ini sendiri jika merujuk pada Tafsir Ibnu Katsir (di antara referensi JR dalam menjelaskan ayat ini) adalah:

تفسير ابن كثير – (ج 7 / ص 199)

قل يا محمد لهؤلاء المشركين من كفار قريش: لا أسألكم على هذا البلاغ والنصح لكم ما لا تعطونيه، وإنما أطلب منكم أن تكفوا شركم عني وتذروني أبلغ رسالات ربي، إن لم تنصروني فلا تؤذوني بما بيني وبينكم من القرابة

“Katakanlah wahai Muhammad kepada kaum musyrikin dari kalangan kafir Quraisy: Aku tidak mengharap atas dakwah dan nasehatku ini kepada kalian apa yang kamu tidak bisa berikan. Aku hanya meminta untuk menahan kejahatanmu dariku dan membiarkanku menyampaikan risalah Tuhanku. Jika kamu tidak mampu menolongku maka jangan menyakitiku karena dasar kekeluargaan antara aku dengan kamu sekalian”
Atau Tafsir Fathul Qadir oleh Imam as-Syaukani (juga referensi JR):

فتح القدير – (ج 6 / ص 377)

قل يا محمد : لا أطلب منكم على تبليغ الرسالة جعلا ، ولا نفعاً { إِلاَّ المودة فِى القربى } هذا الاستثناء يجوز أن يكون متصلاً ، أي : إلاّ أن تودّوني لقرابتي بينكم ، أو تودّوا أهل قرابتي . ويجوز أن يكون منقطعاً . قال الزجاج : { إلاّ المودّة } استثناء ليس من الأوّل ، أي : إلاّ أن تودّوني لقرابتي ، فتحفظوني ، والخطاب لقريش

“Katakanlah wahai Muhammad: Aku tidak mengharap dari kamu sekalian atas penyampaian risalah ini upah atau manfaat (kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan). istitsna’ (pengecualian) ini bisa bersambung, jadi maknanya: kecuali kamu menyayangiku karena kekerabatan/kekeluargaanku dengan kamu atau menyayangi keluarga/kerabatku. Atau, bisa juga terputus, seperti kata az-Zajjaj, maka maknanya: Tapi karena kekerabatanku dengan kamu sekalian, kamu mencintaiku maka kamu menjagaku, ayat ini ditujukan kepada kaum Quraisy”.

b.    Hadits yang diketengahkan oleh JR sebagai tafsir atas (al-Qurba) pada ayat, derajatnya lemah (dhaif) seperti ditegaskan oleh Imam Ibnu Katsir dan as-Syaukani. Di dalamnya terdapat rawi mubham tidak dikenal dari seorang Syi’ah fanatik bernama Husain al-Asyqar. Tapi sekali lagi, JR tidak melirik sedikitpun atau memang tidak tahu terhadap komentar para imam ini, padahal pernyataan mereka tersebut langsung setelah menyebutkan riwayat di atas. Atau, barangkali JR memang tidak membaca kitab tersebut ? Lalu, kalo demikian mengapa dicantumkan sebagai referensi ?

Tentang Husain al-Asyqar, Ibnu Katsir menyebutnya sebagai Syi’ah mutakharriq (fanatik, berlebih-lebihan) maka riwayatnya dalam hal ini tertolak. Ibnu Hajar menyebutnya shaduq yahim (jujur namun suka salah) dan berlebih-lebihan dalam tasyayyu’. Imam al-Bukhari, ad-Dzahabi, abu Zur’ah, Abu Hatim pun menganggapnya lemah, bahkan Ibrahim bin Ya’qub al-Jauzajani menyebutnya fanatis dan suka mencerca orang-orang baik. Lihat biografinya dalam Kitab Taqrib at-Tahdzib dan Tahdzibut Tahdzib karya Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzibul Kamal oleh Imam al-Mizzi dan ad-Dhu’afa oleh al-Uqaily.

c.    Kami juga sempat tersenyum, mengapa JR tidak mengomentari hadits ini dari sisi matan (isi)nya seperti yang biasa kita dapatkan dalam beberapa bukunya yang "katanya" mengembangkan studi kritik matan hadits. Padahal, riwayat yang ia sebut ini dari sisi matan jelas lemah. Sebab ayat yang dijelaskan adalah Makkiyah sedangkan pernikahan Ali dan Fatimah ra. terjadi pada tahun kedua Hijriyah setelah perang Badar.

Bagaimana mungkin Rasulullah saw. menyebut al-Hasan dan al-Husain padahal mereka belum lahir pada saat itu ? Hal ini disebutkan secara tegas oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Tapi JR kembali tidak memperhatikannya, atau sengaja meninggalkan karena akan menjadi bumerang bagi pendapatnya. Ini jika seandainya benar ia membaca sendiri Tafsir Ibnu Katsir yang ia cantumkan sebagai referensinya, wallahu a’lam.

4.    Hadits Tsaqalain (Kitaballahi wa Itrati)

Tanggapan:
a.    Derajat hadits ini Shahih Li Ghairihi menurut Syaikh al-Albani dan dikutip dengan baik oleh JR. Sayangnya, ia memotong perkataan beliau ketika menyinggung tentang Syiah yang berbunyi:
“Ketahuilah pembaca budiman, hadits ini digunakan kaum Syi’ah  sebagai hujjah yang sering diulang-ulang, hingga sebagian Ahlus Sunnah menyangka bahwa mereka benar dalam hal ini. Padahal kenyataannya tidaklah seperti itu dari dua sisi:

Pertama: Maksud dari kalimat itrah itu lebih luas dari apa yang dimaksud oleh Syi’ah. Ahlus Sunnah tidak menolak hadist ini, bahkan mereka berpegang teguh dengan hadist. Sebab yang dimaksud dengan itrah adalah keluarga Rasulullah saw. sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah pada sebagian redaksi hadits, "Itrati Ahli Baiti". Dan maksud Ahlul Bait disini adalah istri-istri Rasulullah saw., diantaranya Aisyah ra. sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah al-Ahzab : 33, dengan petunjuk konteks ayat sebelum dan sesudahnya. Pembatasan kaum Syi’ah terhadap makna Ahlul Bait hanya pada Ali, Fathimah, Hasan dan Husain tanpa memasukkan istri-istri Rasulullah, merupakan penyelewengan terhadap ayat demi menuruti hawa nafsu mereka. Adapun yang dimaksud dengan hadist Kisa’, adalah perluasan terhadap makna yang terkandung dalam ayat di atas, yaitu bahwa Ali ra. dan keluarganya masuk dalam jajaran Ahlul Bait Rasulullah saw. sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Katsir dan selainnya. Sedangkan hadist al-Itrah juga telah diterangkan oleh Rasulullah saw. sebagai Ahlul Bait yang mencakup istri-istri beliau, Ali, Fatimah dan keluarganya radhiyallahu anhum.

Kedua: Bahwa yang dimaksud Ahlul Bait adalah para ulama shalihun dari kalangan mereka (ahlu bait) yang konsisten terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah. Olehnya, Imam at-Thahawi berkata: al-Itra adalah ahlu bait Rasulullah saw yang berada di atas agamanya dan konsisten terhadap segala urusannya (al-Qur’an dan sunnah).

Sebagai kesimpulan, beliau berkata: Penyebutan Ahlul Bait bersama al-Qur’an dalam hadits ini serupa dengan penyebutan kata Sunnah Khulafa’ur Rasyidin bersama sunnah beliau dalam sabdanya “Ikutilah Sunnahku dan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin sepeninggalku”. Dan jika hal ini sudah dipahami, maka patut diketahui pula bahwa hadits ini (Itrati) merupakan penguat terhadap hadits al-Muwattha’ yang lafadznya:  "Kitaballahi wa Sunnati", yang juga terdapat dalam al-Misykah (186), kendati sebagian orang yang baru tumbuh dalam ilmu ini kurang menangkap dengan jelas sisi tersebut, sehingga mereka melemahkannya.

b.    Syaikh al-Albani juga menjelaskan dalam syarah hadits yang sama:

السلسلة الصحيحة – (ج 4 / ص 260)

فتبين أن المراد بـ ( أهل البيت ) المتمسكين منهم بسنته صلى الله عليه وسلم ، فتكون هي المقصود بالذات في الحديث ، و لذلك جعلها أحد ( الثقلين ) في حديث زيد بن أرقم المقابل للثقل الأول و هو القرآن ، و هو ما يشير إليه قول ابن الأثير في " النهاية " : " سماهما ( ثقلين ) لأن الآخذ بهما ( يعني الكتاب و السنة ) و العمل بهما ثقيل ، و يقال لكل خطير نفيس ( ثقل ) ، فسماهما ( ثقلين ) إعظاما لقدرهما و تفخيما لشأنهما " .

Maka jelaslah, bahwa yang dimaksud Ahlul Bait adalah yang konsisten dari kalangan mereka terhadap sunnah Rasulullah saw. maka yang dimaksud secara langsung adalah sunnah itu sendiri. Olehnya, Nabi saw. menjadikannya satu dari at-Tsaqalain pada riwayat Zaid ibn Arqam sebagai sisi kedua dari al-Qur’an, dan itulah yang disampaikan oleh Imam Ibnul Atsir dalam an-Nihayah: dinamakan at-Tsaqalain karena siapa yang berpegang teguh dengan keduanya (al-Kitab dan as-Sunnah) dan beramal dengannya maka ia akan merasakan beratnya, semua yang berbahaya dan berharga dinamakan Tsaqal, maka keduanya dinamai sebagai at-Tsaqalain untuk tujuan mengagungkan kedudukannya serta menonjolkan perannya.

Pertanyaannya, mengapa JR tidak mengutipkan makna ini kepada kita semua, minimal sebagai pembanding terhadap paham Syiah jika memang ingin merujuk kepada ulama Ahlus Sunnah ?

5.    Hadits Dua Belas Khalifah

Tanggapan:
a.    Perkataan JR: Dari Masruq: Kami sedang duduk bersama Abdullah…
Sanad hadits ini dhaif karena di dalamnya ada seorang yang bernama Mujalid bin Said al-Hamdani, dan dia seorang perawi yang lemah sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dan ini merupakan perkataan Jumhur Ulama menurut Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid. Jika JR jujur dalam mengutip, mengapa tidak ada perbandingan terhadap sanad hadits ini ?

Celakanya, JR lantas menghukumnya sebagai riwayat yang kuat hanya lantaran pendapat satu atau dua orang ulama. Bukankah teori ilmiah mengajarkan, dalam menghukum suatu masalah terlebih dahulu harus melihatnya dengan teliti dari mengumpulkan pandangan seluruh yang pernah berbicara tentangnya ?

b.    Perkataan JR: Hadits tentang 12 khalifah yang melanjutkan Nabi saw hanya dapat dijelaskan dalam keyakinan madzhab Syi’ah. Rasulullah saw menunjuk pengganti atau pelanjut sebanyak 12 orang.
Syi’ah berani menentukan 12 orang tersebut, karena bagi mereka persoalan aqidah tidak harus didasari dengan dalil yang shahih. Kenyataannya, tidak ada satu dalil pun yang menjelaskan siapa-siapa mereka itu
 
c.    Perkataan JR: Ulama Ahlussunnah kebingungan untuk menjelaskan 12 khalifah itu…
Lucu sekali jika dikatakan ulama Ahlus Sunnah kebingungan untuk menjelaskan 12 khalifah itu. Ulama Ahlus Sunnah meyakini keberadaan 12 khalifah tersebut sesuai keterangan yang disebutkan dalam hadits. Adapun tidak adanya keterangan dari mereka tentang nama-namanya, karena tidak ada dalil shahih yang menyebutkannya. Dan hal ini menunjukkan akan keutamaan ulama Ahlu Sunnah yang teguh dan konsisten terhadap dalil dan tidak berani berbicara tanpa landasan dalil, apalagi jika berkaitan dengan permasalahan aqidah.

d.    Perkataan JR: Aneh juga kalau ahli hadis sebesar Ibn Hajar tidak memahami arti hadis ini, padahal nama-nama dua belas imam diriwayatkan banyak sekali dalam khazanah Ahlussunnah.

Lebih aneh lagi, jika seorang yang tidak tahu lantas berlaku sok tahu. Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab-nya Fath al-Bari, telah memberi penjelasan dengan baik akan hadits ini, bahkan menukil beberapa pendapat Ulama yang menyebutkan kemungkinan nama-nama ke-12 khalifah tersebut. Akan tetapi, beliau tidak mengklaim salah satu pendapat yang paling benar, lantaran tidak ada hadits yang shahih dan sharih yang menentukannya. Dan sekali lagi, ini menunjukkan akan keutamaan ulama Ahlus Sunnah, dan jauhnya mereka dari sikap fanatik dan ta’asshub yang membutakan mata hati dari melihat kebenaran.

e.    Perkataan JR: Al-Qanduzi al-Hanafi-‘wafat tahun 1294 H, ulama mazhab Hanafi dari Balkh”…mengumpulkan hadis-hadis itu dalam kitabnya Yanabi’ al-Mawaddah…
Ada beberapa point yang perlu ditulis untuk menanggapi perkataan di atas:
1)    Jika ini yang dimaksud oleh JR sebagai khazanah Ahlus Sunnah yang kemudian tidak diketahui oleh Ibn Hajar, maka tentu saja mustahil Ibn Hajar mengetahuinya, karena beliau wafat tahun 852 H, tepatnya lebih 400 tahun sebelum wafatnya Al-Qanduzi al-Hanafi
2)    Pembaca, kembali kami menelusuri siapa sebenarnya Al Qanduzi al Hanafi yang diangkat oleh JR dalam makalahnya. Hasilnya, nama lengkapnya Sulaiman bin Khaujah Ibrahim Qablan Al Husaini An Naqsyabandi Al Qanduzi; yang benar, dia bukan ulama Ahlus Sunnah namun ia seorang Syi’ah Itsna Asyariyah, dan terbukti dengan apa yang ia tulis dalam kitab Yanabi’ Al Mawaddah. Olehnya, yang menyebarkan dan mencetak bukunya adalah kaum Syi’ah, bukan Ahlus Sunnah. Buku tersebut dicetak di percetakan milik Syi’ah yaitu Darul Uswah-Iran dan ditahqiq oleh Sayyid Ali Jamal Asyraf Al Husaini.

Ketika muhaqqiq mengutip  biografi penulis, dia pun hanya menukil dari penulis Syi’ah yang bernama Muhammad Mahdi Al Khurasani. Dan ini membuktikan, bahwa Al Qanduzi Al Hanafi tidak dikenal di kalangan Ahlus Sunnah, kecuali hanya lantaran intisabnya kepada madzhab Hanafi
3)    Buku Yanabi’ Al Mawaddah bukan merupakan referensi Ahlussunnah. Sebab di dalamnya banyak terdapat kekeliruan dan penyimpangan aqidah Ahlus Sunnah, di antaranya, Al Qanduzi banyak memuji Ibnu Arabi dan menggelarinya sebagai Syaikh Akbar.

Padahal Ibn Arabi dikenal sebagai tokoh sufi ekstrim yang beraqidah Wihdatul Wujud (lihat Yanabi’ Al Mawaddah juz 1, hal 36). Dia juga meyakini bahwa seluruh alam diciptakan dari Nur Muhammad (Juz 1, hal 23), dan ini termasuk diantara aqidah Tasawwuf yang keliru. Al Qanduzi juga meyakini apa yang dikatakan oleh Syi’ah tentang kelahiran Mahdi -menurut versi mereka- pada malam nishfu Sya’ban tahun 255 H di Samurra’i (Yanabi’ Al Mawaddah juz 3, hal 306). Buku ini juga tidak selektif dalam menyebutkan riwayat-riwayat, hingga begitu banyak riwayat dusta dan tanpa sanad, lalu dinisbatkan kenapa Nabi Muhammad saw.

Lalu bagaimana memahami hadits ini ? :
Hadits ini merupakan kabar gembira akan keberadaan 12 khalifah  shaleh yang adil dan menegakkan al haq di tengah-tengah umat. Keberadaan dan periode mereka tidak mesti harus berurut, kecuali empat khalifah pertama yang dinamakan Khulafa Rasyidun yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Termasuk dalam 12 khalifah ini, Umar bin Abdul Aziz dan tentu saja di antaranya adalah Imam Mahdi yang disebutkan dalam hadits-hadits mutawatir, bahwa ia akan datang di akhir zaman, namanya sama dengan nama Nabi, demikian pula nama ayahnya sama dengan ayah Nabi saw. Ia akan menyebarkan keadilan dan rahmat bagi sekalian alam, dan bukan Imam Mahdi yang dipahami kaum Syi’ah yang mereka klaim masih bersembunyi di Sirdab.

Dengan demikian, Ahlus Sunnah wal Jamaah sepakat dalam menetapkan 6 dari 12 khalifah yang disebutkan dalam hadits tersebut. Adapun sisanya, Ahlu Sunnah yakin akan keberadaannya kendati tidak menetapkannya secara pasti, karena tidak ada dalil yang menegaskannya. Sangat naif kalau kemudian mempersoalkan hal ini, apalagi menuduh bahwa Ahlus Sunnah tidak mengetahui akan perkara tersebut. Disamping itu, dalam beberapa hadits shahih, Nabi Muhammad menyebutkan jumlah tertentu namun tidak merinci siapa dan apa yang beliau maksud, lalu kita cukup meyakininya secara global. Contohnya: Hadits perpecahan umat menjadi 73 golongan. Kita meyakini kebenaran hadits ini, namun kita tidak memiliki dasar yang kuat untuk merinci siapa saja firqah yang dimaksudkan dalam hadits ini.

Karena itu, tidak adanya pengetahuan lantaran tidak adanya dalil yang rinci menyebutkan nama-nama Imam tersebut, bukanlah suatu aib yang perlu dipermasalahkan. Bahkan yang merupakan aib bagi agama seseorang itu, jika ia berani berkata-kata dalam agama ini tanpa landasan dalil dan ilmu yang jelas. Bukankah jumlah Rasul yang lebih 300 dan jumlah Nabi lebih 1000 orang, nama-nama mereka tidak diketahui secara rinci, padahal kita sepakat, bahwa Nabi dan Rasul lebih afdhal dari para khalifah dan imam yang disebut dalam hadits tersebut ?.

Bahkan lebih dari itu, kita meyakini bahwa Allah memiliki 99 nama-nama yang baik (Asmaul Husna), namun tidak ada hadits yang shahih secara sharih menyebutkan ke 99 nama tersebut. Karenanya, para Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan beberapa nama bagi Allah.
Anehnya, sebenarnya kaum Syi’ah-pun tidak memiliki dalil dengan sanad shahih yang merinci nama-nama mereka. Olehnya mereka berikhtilaf dalam menentukan nama-nama tersebut. Salah seorang ulama mereka Al-Khu’iy mengatakan, “Riwayat-riwayat mutawatir yang sampai kepada kami dari jalur umum dan khusus telah menentukan jumlah imam yang 12, namun tidak menentukan namanya satu per satu”. (Shirath An-Najah 2/453 oleh Al Khu’iy dan ditahqiq oleh At Tibridzi).

Selain itu, sifat-sifat yang disebutkan dalam hadits itu tidak sesuai dengan realita yang ada pada imam-imam yang diklaim oleh Syiah. Sebab jika kita melihat ke-12 imam yang mereka sebutkan, hanya Ali dan Hasan radhiyallahu anhuma yang benar-benar pernah menjadi khalifah. Lalu dalam hadits juga disebutkan, bahwa ad-Dien senantiasa tegak dan jaya selama keberadaan kedua belas khalifah itu. Maka jika Syiah mengklaim bahwa Imam kedua belas mereka saat sekarang ini sudah ada, bagaimana dengan realita umat sekarang yang masih berada dalam keadaan hina dan terbelakang ?

6.    Hadits al-Safinah

Tanggapan:
a.    Hadits ini diriwayatkan dari banyak sahabat, namun semua jalannya lemah seperti ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Minhajus Sunnah an-Nabawiyah VII/280 dan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam banyak bukunya, seperti Silsilah al-Ahadits ad-Dhaifah dan Dhaif al-Jami’us Shagir. Pertanyaannya adalah, mengapa JR tidak lagi mengambil pendapat al-Albani dalam menjelaskan hukum hadits ini ?

Berikut ini beberapa keterangan tentang sanad hadits tersebut : 
1)    al-Hakim meriwayatkan hadits ini dari sahabat Abu Dzar al-Ghifari ra. di dalamnya terdapat  Mifdhal bin Shalih. Berkata al-Bukhari dan Abu Hatim tentangnya: Munkarul Hadits
2)    al-Bazzar dan at-Thabrani meriwayatkan hadits ini dari sahabat Abu Dzar al-Ghifari ra. Pada sanad al-Bazzar terdapat Al Hasan bin Abi Ja’far al-Ja’fary dan pada sanad Ath Thabrani terdapat Abdullah bin Dahir, keduanya Matruk. Berkata Imam Ahmad tentang Abdullah bin Dahir: “Orang yang baik tidak akan menulis hadits darinya”
3)    Al Bazzar dan Ath Thabrani juga meriwayatkan hadits ini dari jalan sahabat Ali bin Abi Thalib ra. dan pada sanadnya juga terdapat Al Hasan bin Abi Ja’far Al Ja’fary
4)    Al Bazzar meriwayatkan juga hadits ini dari jalan sahabat Abdullah bin Zubair r.a dan di dalamnya terdapat Ibnu Lahi’ah seorang yang layyin
5)    At Thabrani dalam dua Mu’jamnya As Shagir dan Al Ausath meriwayatkan hadits ini dari jalan sahabat Abu Sa’id Al Khudri ra., lalu beliau berkata: “Di dalam (sanad)nya terdapat sekelompok orang yang tidak saya kenal”
6)    Ahmad bin Hanbal meriwayatkannya dari jalan sahabat Abu Dzar ra dan di dha’ifkan oleh Al Albani dalam Misykatul Mashabih (3/348).

b.    Perkataan JR: Walhasil, berdasarkan hadits ini … Syi’ah memilih Ahlul Bait sebagai rujukan mereka. Ahlussunnah memilih untuk mengikuti Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali mungkin dengan alasan-alasan tertentu …

Akhirnya ketahuan juga. Nampaknya inilah tujuan dan cara JR untuk menggiring orang awam kepada aliran Syi’ah melalui perbandingan tersebut. Empat madzhab Ahlus Sunnah yang masyhur itu adalah madzhab-madzhab fiqh, sementara madzhab Syi’ah (saya sengaja menyebut madzhab Syi’ah, bukan madzhab Ahlul Bait, karena Ahlul Bait sendiri berlepas dari Syi’ah juga lantaran Syi’ah banyak melakukan kedustaan atas nama Ahlul Bait), kebanyakan kesesatannya dalam perkara aqidah.

Di sini terlihat ketidakjujuran ilmiah JR, bahkan dapat dikatakan bahwa ini adalah bentuk pembodohan terhadap umat. Seharusnya ia membandingkan madzhab Syi’ah dengan madzhab sahabat-sahabat Rasulullah saw. dalam perkara-perkara aqidah yang diyakini oleh syi’ah, ini baru adil.

7.    Hadits Kitaballahi wa Sunnata Nabiyyihi
Redaksi lengkap hadits ini adalah:

عَنْ مَالِك أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ

“Dari Malik bahwa sampai kepadanya, dari Rasulullah saw., beliau bersabda: "Aku meninggalkan pada kamu dua perkara, kalian tidak akan sesat selamanya jika berpegang teguh pada keduanya, yakni Kitabullah (al-Qur’an) dan sunnah NabiNya”
    JR dalam makalahnya menyatakan bahwa hadits ini lemah (dha’if).
   
Tanggapan:
a.    Hadits ini meskipun dalam riwayat Imam Malik seperti di atas, dipaparkan tanpa sanad, namun dalam riwayat al-Hakim disebutkan dengan sanad bersambung hingga Abdullah bin Abbas ra., dengan lafazh:

((… فاحذروا يا أيها الناس إني قد تركت فيكم ما إن اعتصمتم به فلن تضلوا أبدا كتاب الله وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم …))

“… berhati-hatilah kamu wahai sekalian manusia, sungguh aku tinggalkan pada kamu perkara yang dengan berpegang teguh kepadanya kamu semua tidak akan tersesat untuk selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya saw.”

Sanad riwayat ini adalah:

حدثنا أبو بكر أحمد بن إسحاق الفقيه ، أنبأ العباس بن الفضل الأسفاطي ، ثنا إسماعيل بن أبي أويس ، وأخبرني إسماعيل بن محمد بن الفضل الشعراني ، ثنا جدي ، ثنا ابن أبي أويس ، حدثني أبي ، عن ثور بن زيد الديلي ، عن عكرمة ، عن ابن عباس

Imam al-Hakim – Abu Bakar ibn Ishaq al-Faqih – al-Abbas ibn al-Fadhl al-Asfathi – Ismail ibn Abi Uwais – Ismail ibn Muhammad ibn al-Fadhl as-Sya’rani – al-Fadhl as-Sya’rani – Ibn Abi Uwais – Abu Uwais – Tsaur ibn Zaid ad-Diyli – Ikrimah – Ibn Abbas ra.

Tentang sanad ini Imam al-Hakim berkata: “Imam al-Bukhari menganggap hadits-hadits Ikrimah sebagai hujjah (pegangan), Imam Muslim-pun memakai Abu Uwais sebagai hujjah dan perawi lainnya adalah muttafaq alaiha … dan penyebutan iltizam kepada as-Sunnah dalam hadits ini adalah gharib namun dibutuhkan, dan aku pun telah mendapatkan jalan lain yang menjadi syahid (penguat) yakni, dari hadits Abu Hurairah ra.”. Lalu beliau menyebut riwayatnya setelah itu dan tidak mengomentari sanadnya lagi.

Syaikh Nashiruddin al-Albani -yang dipuji metodenya oleh JR dalam hadits at-Tsaqalain- juga menshahihkan hadits ini dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib (no: 40). Pertanyaannya, mengapa JR tidak merujuk perkataan al-Albani tentang hadits ini ? Bukankah konsistensi dalam rujukan penshahihan/pendha’ifan suatu hadits merupakan metodologi ilmiyah yang diajarkan kepada kita semua ? kecuali jika ternyata dalam perkataan seorang alim yang menjadi rujukan jelas kesalahannya, maka pencomotan perkataan al-Albani dalam hadits at-Tsaqalain dan tidak menoleh kepada perkataan beliau tentang hadits ini, bagi kami perbuatan ini adalah jauh dari nilai-nilai obyektifitas sebagai seorang ilmuwan.

b.    Jikapun dari seluruh jalan periwayatan yang ada (dengan tidak mengambil hukum yang disampaikan oleh Syaikh al-Albani) adalah lemah, tidakkah kita bisa menangkap dari al-Qur’an satu kaidah yang jelas, yakni mengembalikan segala urusan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah ? Lihatlah sebagai contoh: Qs. an-Nisa:59, al-Ahzab:36, an-Nisa:65.

Kami yakin umat ini pasti tahu dan paham bahwa sumber ajaran agama mereka adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka kita patut menanyakan kepada JR dan seluruh yang merasa “mujtahid” Syi’ah/IJABI kok mereka getol melemahkan hadits ini, yang pada hakikatnya hanyalah ta’kid atau penguat terhadap dasar-dasar yang begitu jelas tentang sumber ajaran Islam.

c.    Yang kami tangkap dari makalah "ilmiah" JR tentang tadh’if terhadap hadits ini adalah upaya mengkonfrontasikan antara as-Sunnah dengan Ahlul Bait (semoga pemahaman kami tidak benar), dan hal tersebut sangat keliru sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama Islam (lihat kembali perkataan Syaikh al-Albani tentang hadits al-Itrah di atas).

Demikian pula, tidak ada seorang-pun yang masih menggunakan akal sehat berkata, bahwa Ahlul Bait merupakan sumber ajaran Islam dan bukan as-Sunnah. Sebab kaum muslimin sangat yakin, wahyu itu turun kepada Rasulullah saw. dan bukan kepada Ahlul Bait. Kecuali, jika Syi’ah meyakini bahwa Ahlul Bait juga mendapat wahyu sepeninggal Rasulullah saw. Dan yang sangat menggelikan, JR di saat melemahkan hadits ini justru tidak sadar sudah memakai kandungannya, bukankah hadits al-Itrah juga merupakan sunnah Rasulullah saw. ?

d.    Bagi kami, hadits al-Itrah sangat sejalan dengan hadits ini, sebab tidak mungkin Ahlul Bait menyelisihi sunnah Rasulullah saw. yang merupakan intisab mereka. Jadi pada hakikatnya, jaminan keselamatan memang ada pada as-Sunnah itu sendiri, kecuali jika ada orang yang mau mendikotomikan antara kedua hal ini. Dan disini kami ingatkan, sumber utama perpecahan umat ini adalah penyakit dikotomistik (gemar mendikotomikan antara dua hal yang sama dan sejalan), maka selamatkanlah diri anda sekalian dari upaya dan makar pemecah belah umat tersebut. Wallahul Muwaffiq.

Selesai ditulis pada tanggal 29 Muharram 1430 H.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_img

Popular

More like this
Related

Menghadapi Tantangan Dakwah, Wahdah Sulbar Adakan Lokakarya Tuk Tingkatkan Kapasitas dan Komitmen Kader

MAMUJU, wahdah.or.id – Dalam upaya memperkokoh dakwah yang berbasis...

Programkan Gerakan 5T, Mukerwil VII DPW Wahdah Banten Siap Wujudkan Banten yang Maju dan Berkah

BANTEN, wahdah.or.id – Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Wahdah Islamiyah...

Capai Skor IIWCP Kategori “BAIK”, Nazhir Wahdah Islamiyah Raih Piagam Apresiasi Dari Badan Wakaf Indonesia

MAKASSAR, wahdah.or.id - Ketua Badan Wakaf Wahdah Islamiyah, Ustaz...

Susun Visi Misi Kota Wakaf, Musyawarah BWI Kab. Wajo dan Kemenag Libatkan Wahdah Wajo

WAJO, wahdah.or.id – Perwakilan Dewan Pengurus Daerah Wahdah Islamiyah...