Tadarus Sirah [02]: Di Senja Peradaban (2)
Oleh: Ustadz Murtadha Ibawi
Pada tulisan sebelumnya telah dijelaskan tentang kemajuan imperium Romawi sebagai salah satu super power yang pernah eksis selama berabad-abad lamanya.
Namun kemajuan tersebut hanya nampak dalam wujud bangunan fisik, namun merosot pada aspek adab merupakan hakikat dan inti dari peradaban itu sendiri.
Bagaimana dengan Persia?
Persia tidak jauh berbeda. Di balik nama besarnya, tersimpan coreng hitam peradaban yang teramat busuk.
Incest alias perkawinan sedarah adalah perbuatan nista yang ditolak oleh semua agama. Fitrah manusia yang masih lurus, pasti menolak hal ini. Namun tidak dengan Persia. Bahkan hal ini terjadi pada raja mereka. Manusia biasa yang mereka yakini setengah dewa.
Jika kejahiliyahan semacam ini terjadi di lingkup istana, apatah lagi masyarakat bawahnya? Belum lagi soal ketidak adilan dan kesewenang-wenangan raja terhadap rakyatnya sendiri.
Maka dunia pun kelak menyaksikan, Islam benar-benar datang untuk menyelamatkan mereka. Menempatkan mereka sebagai hamba dari Rabbul ‘Alamin. Bukan penghambaan kepada sesama hamba yang hina.
Dunia pun menyaksikan, Islam betul-betul menarik mereka keluar dari gelapnya kezhaliman. Mereka diajak untuk menikmati indahnya keadilan yang terang benderang.
Dunia juga menyaksikan, mereka benar-benar ditempatkan sesuai fitrahnya sebagai manusia. Hingga menjadi semulia-mulia makhluk, jika bertaqwa. Manusia diajak untuk benar-benar menjadi ahsani taqwiim, sebaik-baik ciptaan.
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
Artinya: “..sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya..” (QS At Tin: 4)
***
Kisah pengembaraan Salman al Farisi juga menggambarkan gelapnya masa fatrah itu. Masa ketika wahyu dari langit terputus. Sejak diutusnya Nabi Isa ‘alaihis salam hingga diutusnya Khatamul Anbiya’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Termasuk keadaan Ahlul Kitab. Saking sulitnya mendapatkan sisa-sisa ulama rabbani yang masih berpegang pada ajaran yang lurus, Sayyidina Salman radhiyallahu ‘anhu terpaksa harus melanglang buana, dari satu negara ke negara lainnya.
Habrul Ummah Ibnu Abbas menuturkan kisah sang abid Salman Al Farisi, sebagaimana beliau tuturkan sendiri. Kisah mulia ini kemudian diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya.
Bermula dari Iran (Ashbahan), beliau melanglang ke Syam yang saat itu merupakan pusat agama Nasrani. Setelah sang guru wafat, mengembara lagi ke Mosul, Irak. Wafat pula sang guru, mengembara lah ia ke Amuria, wilayah Turki.
Bayangkan, lintas negara! Terbayang berapa tenaga, waktu, dan harta yang dikeluarkan? Semua itu hanya demi mengejar secercah cahaya kebenaran, yang mulai temaram dan hampir padam.
Mengapa sedemikian beratnya Salman harus mengembara? Apakah di sekitar Syam tidak banyak ulama Nasrani yang bisa dijadikan rujukan? Sebegitu langka kah? Bukan kah di Syam dan wilayah kekuasaan Romawi lainnya, Nasrani adalah mayoritas? Nasrani adalah agama resmi negara saat itu.
Betul, Nasrani bisa disebut mayoritas di wilayah Romawi. Baik Romawi Timur maupun Romawi Barat yang berpusat di Italia. Termasuk wilayah-wilayah “proxy” Romawi seperti Habasyah (Ethiopia) dan Mesir di Afrika, Yaman, dan wilayah Arab lainnya.
Namun, itulah realitanya. Penganut Nasrani yang berpegang teguh dengan Kitab Injil yang masih murni tidaklah banyak. Bukan rahasia lagi bahwa di dalam agama nasrani terdapat banyak versi Injil.
***
Dalam skala negara, meskipun Nasrani adalah agama mayoritas di wilayah kekuasaan Romawi, namun Romawi tidak menjadikan ajaran Nasrani sebagai pijakan dalam mengatur negara. Bangsa Romawi justru hidup dalam tatanan masyarakat yang jauh dari tuntunan ajaran nabi Isa yang lurus.
Sebagai contoh, Salman Al Farisi menceritakan bejatnya perilaku uskup di Syam yang pertama kali beliau anggap guru. Sang guru adalah pemuka agama yang sangat dihormati, namun justru menyalahgunakan otoritasnya. Uskup korup itu hanya memanfaatkan kedermawanan jemaatnya untuk memperkaya diri.
Kisah ini semakin menegaskan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang masa fatrah itu,
إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ فَمَقَتَهُمْ عَرَبَهُمْ وَعَجَمَهُمْ إِلَّا بَقَايَا مِنْ أَهْلِ الْكِتَاب
Artinya: “Allah subhanahu wata’ala memandang kepada seluruh penduduk bumi lalu Allah murka kepada mereka, baik bangsa Arabnya maupun orang ajamnya (non Arab) seluruhnya. Kecuali yang sisa-sisa Ahli Kitab.”
Ya.. sisa-sisa..
Dan sisa-sisa itu bukan sekumpulan kelompok, komunitas, perkampungan tertentu, atau yang semisalnya.
Sisa-sisa yang berjalan di atas minhaj nubuwwah itu benar-benar sisa yangg sangat amat langka. []
Penulis : Murtadha Ibawi (Pendiri Majelis Tadarus Sirah)
Editor : SyamsuddinAl-Munawiy (Pengajar Sekolah Sirah Jakarta)