Tadarus Sirah (01): Di Senja Peradaban

Oleh: Ustadz Murtadha Ibawi

Romawi dan Persia di zaman itu, adalah negara super power, adidaya adi kuasa. Dua negara digdaya yang usianya tidak sebentar, berabad-abad lamanya.

Romawi telah lama eksis, bahkan sejak sebelum zaman Nabi Isa ‘alaihis salam. Dari yang awalnya Romawi Barat di Italia, kemudian bergeser pusat kekuatannya di Romawi Timur di Konstantinopel, Turki sekarang.

Romawi dan Persia adalah simbol kemajuan dan kedigdayaan di era itu. Sebagian negara bahkan terpolarisasi menjadi dua kubu besar, pro Romawi ataukah pro Persia.

Dua negara ini memang besar, kuat, disegani, dan menjadi trendsetter di eranya. Dunia berkiblat kesana. Namun jika kita lihat lebih dekat, kita akan saksikan banyak persoalan mendasar yang jauh dari sebutan “beradab”.

***

Di Romawi, bangunan-bangunan fisiknya begitu megah. Tengoklah arsitekturnya. Tinggi, kokoh, megah, dan indah. Bahkan masih banyak ditiru hingga sekarang.

Istananya, tata kota beserta jalan-jalan dan sanitasinya, gedung-gedungnya, mengundang decak kagum hingga jengkal-jengkal sudutnya. Namun, ada persoalan besar di balik dinding-dinding itu.

Lihatlah Coloseum.

Keindahan justru bertolak belakang dengan polah tingkah manusia di dalamnya.

Di balik kemegahannya, disana dipertontonkan kesadisan, kekejaman, kezhaliman. Manusia diadu dengan binatang buas. Sorak sorai penontonnya, tua muda, pria dan wanita.

Peradaban macam apa ini? Apanya yang beradab?

Bukankah seharusnya semakin maju sebuah peradaban, justru semakin memanusiakan manusia?

Peradaban yang baik pastilah peradaban yang sejalan dengan fitrah penciptaan manusia. Bukan sebaliknya, justru mengangkat binatang kepada derajat manusia, atau merendahkan manusia kepada derajat binatang.

..أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ…

Artinya: “..mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi…” (QS Al A’raf: 179)

Bagaimana dengan Persia?

Baca kelanjutannnya pada serial berikutnya []

Penulis : Murtadha Ibawi (Pendiri Majelis Tadarus Sirah)

Editor    : Syamsuddin Al-Munawiy (Pengajar Sekolah Sirah Jakarta)

Artikulli paraprakMenyesal Karena Salah Mencintai
Artikulli tjetërMengapa Nama Asli Abu Lahab Tidak Disebutkan dalam Al-Qur’an?

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini