Hanya sekitar 20an kosa kata, namun kandungan dan maknanya sangatlah luas dan mempesona. Bila kita benar-benar menyelaminya sembari menelaah ucapan para ulama dan ahli tafsir tentang maknanya, satu kitabpun tak akan cukup tuk mengupas tuntas keindahan dan pesona tadabburnya. Bukan syarah atau penjelasan hukum dan faedah ilmiyah yang luas tentang puasa yang saya maksud, namun ia hanyalah tadabbur dan renungan makna yang disarikan dari 20an kosa kata tersebut. Andai ada teman-teman yang bisa sungguh-sungguh mentadabburi ayat pendek ini, seraya membandingkannya dengan ucapan para ulama, niscaya akan muncul karya tulis tadabbur yang tebal, hanya dari sekitar 20 kosa kata. Itulah mukjizat Al-Quran dan bahasa arab yang merangkai tiap kata dan kalimatnya.

Allah ta’ala berfirman:

يَآ اَيُّهَا الَّذِ يْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى اَّلذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

(البقرة : ١٨۳)

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana yang telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa. (QS.Al Baqarah : 183)

Para ulama telah bersungguh-sungguh menelaah dan mentadabburi ayat ini dalam berbagai kitab mereka baik tafsir, hadis maupun yang lainnya. Dibawah ini adalah sedikit hasil dari telaah dan tadabbur mereka dalam menjelaskan makna dan faedah dari ayat ini, bukan syarah hukum dan penjelasan puasa, namun faedah tadabbur yang hanya disarikan dari 20 kosa kata yang merangkai keagungan ayat kewajiban berpuasa tersebut. Sebelum menyelami tadabbur para ulama dalam ayat ini, perlu diketahui bahwa ayat puasa ini turun di Madinah, sehingga kewajiban puasa ini juga awal mulanya ada di Madinah. Ini memiliki hikmah tersendiri, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Biqaa’i rahimahullah dalam kitabnya “Nadzhm Al-Durar (2/14)”: “Alasan diwajibkannya puasa ini di Madinah adalah bahwa tatkala mereka (para sahabat) merasa aman dari permusuhan orang-orang musyrik, dan zaman fitnah (kembali dari perang Badr dengan kemenangan), maka fitnah tersebut kembali khususnya pada diri-diri mereka dengan adanya kelapangan dalam perkara syahwat/hawa nafsu, yang mana hal ini tidak layak bagi orang-orang beriman yang lebih memprioritaskan amalan akhirat daripada dunia”.

Selamat menyelami.

# Puasa merupakan ibadah yang agak sulit dan melelahkan, sebab itu dalam mewajibkannya Allah ta’ala menyeru kita dengan seruan yang indah dan penuh kelembutan dan motivasi, agar kita bisa mendengar dan melaksanakannya dengan ikhlas dan senang hati. Ada tiga poin motivasi dalam seruan-Nya yaitu:

1.Panggilan cinta dan kemuliaan yang menunjukkan tingginya derajat kita sebagai manusia yang tunduk dalam aturan dan perintah-Nya, tatkala ia menyeru kita dengan seruan “Wahai orang-orang yang beriman”.

2.Agar kita tidak merasa terzalimi oleh-Nya atau merasa tidak diistimewakan dari umat-umat sebelumnya, Dia pun menyatakan: “Sebagaimana (puasa ini) diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”. Ini juga berfungsi agar kita termotivasi untuk melaksanakannya dengan puasa yang lebih baik dan afdhol dari umat-umat sebelumnya.

Dalam penyerupaan kewajiban ini dengan kewajiban umat sebelumnya terdapat hikmah yang besar, dan cara pembinaan yang baik yaitu menyemangati dan menghibur orang-orang yang diembankan kewajiban dengan mengisahkan atau menyebutkan bahwa kewajiban tersebut telah diemban oleh orang lain dan mampu menjalankannya.

3.Untuk lebih memotivasi kita dalam menjalankannya, Dia menyebutkan hikmah dibalik puasa ini, yaitu “Agar kalian bertakwa”.

# Panggilan ” Hai orang-orang beriman” Menunjukkan bahwa orang yang menjawab seruan ini dengan berpuasa maka ia adalah benar-benar mukmin sejati, sebaliknya yang tidak menjawabnya dengan puasa keimanannya sangatlah kurang, dan bisa saja ia menjadi kafir kalau berkeyakinan bahwa puasa ini bukanlah suatu kewajiban.

# Lafadz “Kutiba” atau “Kitaaban” yang berarti penetapan dan kewajiban dalam Al-Quran bermakna sesuatu yang wajib dan mesti dilakukan dan terjadi, baik dari segi perkara syariat seperti dalam ayat puasa ini, ataupun sesuatu yang berkaitan dengan takdir seperti ayat ” Rabbmu telah menetapkan (mewajibkan/ kataba) atas Diri-Nya rahmat. …” (QS Al-An’am: 54).

Ibadah puasa ini wajib dan harus dilaksanakan, dan rahmat Allah ini mesti ada dan tercurahkan atas mereka yang beriman. Keduanya menggunakan kata “kutiba (kitaabah)”.

# Karena puasa ini adalah ibadah yang agak susah dan melelahkan, maka ketika menyatakan kewajibannya dalam ayat ini, Allah tidak menyebutkan/menisbatkan nama-Nya secara langsung sebagai Dzat yang memberikan kewajiban ini sebab ia tidak layak untuk dinisbatkan pada yang sulit dan menyusahkan. Hal ini senada dengan firman-Nya : “Diwajibkan atas kamu untuk berperang…” (QS Al-Baqarah: 216), juga : ” Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kalian menerapkan qishash dalam pembunuhan.”..” (QS Al-Baqarah: 178).

Namun ketika dalam kewajiban yang mengandung rahmat dan kabar gembira Dia secara langsung menyebut nama-Nya atau menyandarkan perbuatan tersebut pada Dzat yang mewajibkannya, contohnya dalam firman-Nya: ” Rabbmu telah menetapkan (mewajibkan) atas Diri-Nya rahmat …” (QS Al-An’am: 54).

# Satu ketaatan akan mendatangkan ketaatan yang lainnya. Dalam ayat ini Allah ta’ala menyatakan bahwa puasa dapat membuahkan sifat taqwa. Dan taqwa ini adalah semua amalan shalih menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ini menunjukkan bahwa puasa bisa mendatangkan ketaatan-ketaatan lainnya yang lebih banyak, baik berupa menjauhi maksiat, tilawah al-quran, sedekah (karena merasakan penderitaan fakir miskin),, ataupun ibadah-ibadah lainnya.

Sebaliknya kalau tidak puasa tanpa udzur, maka akan mendatangkan adanya maksiat-maksiat lain yang lebih banyak karena kemaksiatan –sebagaimana halnya kebaikan- juga menyebabkan adanya maksiat-maksiat lainnya.

# Makna “agar kalian bertaqwa”:

1.Dengan ibadah puasa diharapkan agar kalian meraih sifat taqwa. Karena ia berfungsi sebagai tazkiyatunnafs (penyuci jiwa), dan pembersihnya dari akhlak dan sifat yang buruk.

2.Dengan ibadah puasa engkau akan dimasukkan dalam golongan orang-orang bertaqwa karena puasa merupakan syiar mereka.

3.Taqwa bisa bermakna tameng dan penghalang. Sehingga ibadah puasa yang konsekuensinya adalah meninggalkan maksiat, karena bisa mengekang hawa nafsu dan mempersempit pintu masuk syaithan dalam tubuh manusia, pasti menjadi tameng dari api neraka, karena ia membuat lemah hawa nafsu dan menundukkannya.

4.Taqwa sebagai penghalang dari maksiat. Artinya dengan puasa ini, seseorang bisa mengekang hawa nafsunya dari berbuat dosa dan maksiat baik dalam bulan puasa atau diluarnya.

# Tujuan suatu kewajiban atau amal ibadah yang disebutkan oleh Allah ta’ala merupakan bagian dari suatu kewajiban juga, artinya melakukan kewajiban agar bisa melakukan kewajiban yang lain. Sama halnya dengan puasa yaitu kita melakukan puasa yang merupakan suatu kewajiban agar kita semua bisa mewujudkan kewajiban yang lain yaitu sifat taqwa. Ini juga sama halnya dengan ibadah shalat, sebagaimana dalam firman-Nya: “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS Al-Ankabut: 45). Artinya shalat merupakan suatu kewajiban, dengan melaksanakannya maka akan bisa mewujudkan kewajiban lain yaitu mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar.

# Dalam perintah suatu ibadah, Allah hanya menyebutkan tujuan dan hikmah ibadah tertentu seperti yang disebutkan diatas, dan Dia sama sekali tidak menyebutkan tentang nikmatnya suatu ibadah tersebut, atau tidak menjadikan nikmat dan lezatnya suatu ibadah sebagai bagian dari tujuan ibadah secara langsung. Hikmah dari hal ini adalah karena rasa nikmat dan kelezatan ibadah merupakan inti dari derajat ihsan, yang mana bila dijadikan sebagai bagian dari tujuan ibadah maka akan mempersulit kebanyakan orang yang melakukannya lantaran sulitnya untuk benar-benar mewujudkannya dalam hati.

# “Diwajibkan atas kamu berpuasa …. Agar kamu Bertaqwa”, Taqwa merupakan derajat iman yang paling tinggi, tidak semua mukmin bisa mencapai derajat ini kecuali orang-orang yang benar-benar bisa bersabar dalam menjalani ibadah dan ujian Allah ta’ala. Artinya: untuk mencapai suatu derajat yang tinggi, baik dalam urusan dunia apalagi akhirat, seseorang harus menjalani tes, ujian bahkan rintangan, bila bersabar dan berhasil melaluinya maka derajatnya akan terangkat, dan akan dimuliakan, Ini sama halnya dengan ibadah puasa ini yang membutuhkan kesabaran dalam menjalaninya, sebab ia adalah ujian dan cobaan agar kita bisa meraih derajat taqwa disisi-Nya.

# Salah satu tanda orang yang sungguh-sungguh ingin bertakwa adalah yang sungguh-sungguh menjalankan puasa “Agar kalian bertaqwa”.

Sumber:

Zaad Al-Masiir –Ibnul-Jauzi

Bustan Al-Waa’idzhiin –Ibnul-Jauzi

Shoyid Al-Khothir –Ibnul-Jauzi

Al-Bahr Al-Muhith – Abu Hayyaan Al-Andalusi

Jami’ Al-‘Ulum Wal-Hikam –Ibnu Rajab Al-Hanbali

Tafsir Al-Qur-an Al’Adzhim – Ibnu Katsir Al-Dimasyqi

Nadzhm Al-Durar – Abu Bakr Al-Biqaa’iy

‘Umdah Al-Qaari – Badruddin Al-‘Ainy

Irsyaad Al-Saari – Abul’Abbaas Al-Qasthalani

Taisir Al-Kariim Ar-Rahman – AbduRahman As-Sa’di

Tafsir Ibnul-‘Utsaimin – Muhammad Al-‘Utsaimin

Syarah Riyadh Ash-Sholihin – Muhammad Al-‘Utsaimin

Nidaa-aat Ar-Rahman Li Ahli Al-Iman – Abu Bakr Al-Jazaairi

Al-Qawaa-‘id Al-Hisaan Fi Asraar Al-Tho’ah – Abu Muhammad Shomdi Al-Mishri

Nidaa’ Ar-Rayaan Fi Fiqh Ash-Shiyam –Sayid Husein Al-‘Affaani

Artikulli paraprakJANGAN ADA PENYESALAN DI BULAN AMPUNAN
Artikulli tjetërMulianya Orang yang Berpuasa

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini