Skenario

Semua orang sudah duduk dengan baik di kursinya masing-masing. Barang bawaan mereka sudah tersusun dengan rapi di dalam kabin pesawat, di atas tempat duduk penumpang. Mereka yang berangkat bersama dengan teman atau keluarga, dan duduk berdekatan, sebagian saling mengobrol kecil. Yang baru bertemu pun, saling melempar senyum dan salam. Bersikap ramah. Tiba-tiba, pengeras suara dalam pesawat berbunyi,

“Penumpang yang terhormat, perkenalkan, dengan saya, Mr. X yang akan menerbangkan  pesawat ini. Saya baru belajar selama 12 jam untuk menerbangkan pesawat. Sebagian pengetahuan & wawasan saya tentang penerbangan saya peroleh melalui artikel internet. Saya tidak pernah diuji untuk pengetahuan maupun kemampuan saya dalam menerbangkan pesawat. Saya tidak memiliki ijazah resmi pengakuan kompetensi sebagai pilot. Juga tidak memiliki lisensi dan izin untuk menerbangkan pesawat. Tapi, sayalah yang akan mengemudikan pesawat yang akan menerbangkan Anda semua, dari pulau A ke pulau B.”

Dapat pembaca bayangkan bagaimana reaksi para penumpang? Akankah mereka melanjutkan perjalanan mereka? Bagaimana jika seandainya mereka mendapatkan tiket perjalanan gratis? Atau bahkan mendapatkan bonus uang untuk melanjutkan penerbangan bersama sang pilot?

Petunjuk Nabawi

Ibnu Qayyim menulis dalam Kitabnya, Thibbun Nabawi, ‘Petunjuk Nabi sallallahu alaihi wasallam dalam Memberi Bimbingan Terapi pada yang Lebih Mahir antara Dua Ahli Pengobatan.’ Dalam keterangan pasal tersebut, Beliau mengutip Ucapan Nabi sallallahu alaihi wasallam kepada dua orang tabib dari Bani Ammar, “Siapa di antara kalian berdua yang lebih ahli dalam bidang medis? […]”  (HR. Imam Malik). Di bagian lain dalam Kitab yang sama, Beliau juga menukil Hadis Nabi  sallallahu alaihi wasallam, “Hanya saja ada orang yang mengetahuinya (obatnya), dan ada yang tidak mengetahuinya” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi)

Petunjuk dalam pesan hadis tersebut gamblang:

Pertama, setiap ilmu dan keterampilan memiliki pakarnya masing-masing. Setiap bidang ilmu, apalagi saat ini, telah mengalami perkembangan yang luar biasa pesat. Untuk mempelajari satu bidang ilmu saja, perguruan tinggi membaginya ke dalam kelompok program studi yang berbeda. Dalam bidang kesehatan misalnya: kedokteran, keperawatan, kebidanan, farmasi dan kesehatan masyarakat —di banyak perguruan tinggi— masing-masing telah berdiri sendiri sebagai satu fakultas, yang membawahi lagi program studi subbidang pecahan.  Selain menyelenggarakan proses pengajaran, setiap bidang dalam program tersebut mengharuskan penelitian berkesinambungan; yang dikontrol dan dipertanggungjawabkan  keberlangsungannya melalui penilaian berkala (akreditasi). Setiap penelitian harus melaui validasi etika, menghindarkan konflik kepentingan, review kolega, disertai sitasi referensi yang terukur. Sharing ilmu, pengujian hipotesis, metode dan hasil temuan, diskusi kolega; tersistem dan difasilitasi melalui forum berkala yang terjadwal; berlangsung melalui diskusi bermartabat; tanpa debat kusir.

Bidang kepakaran berkembang sedemikian rupa, bahkan dalam satu bidang ilmu tertentu. Di bidang kedokteran, spesialisasi sedemikian rupa terbagi hingga ke subspesialis. Yang dulunya hanya spesialis penyakit dalam, hari ini telah terbagi ke dalam keahlian endokrinologi (hormon), gastroenterologi-hepatologi (hati dan pencernaan), pulmonologi (paru-paru), hematologi-onkologi (darah dan kanker), rematologi (gangguan sendi, otot, dan tulang), infeksi tropik, geriatri (lansia), nefrologi (ginjal), kardiologi (jantung), psikosomatik (gangguan psikis-fisik), alergi dan imunologi, dst. Contoh lain dalam bidang teknik, terbagi ke dalam: teknik sipil, teknik lingkungan, teknik mesin, teknik elektro, teknik metalurgi dan material, teknik arsitektur, teknik kimia, teknik industri, teknik perkapalan, teknik komputer, teknik arsitektur interior, teknologi bioproses, teknik penerbangan, teknik nuklir, teknik peminyakan, dst.

Kedua, ikutilah mereka yang ahli di bidangnya. Jangan bersandar ke dinding yang tidak memiliki pondasi. Jangan bergantung di tali yang terikat di dahan yang rapuh. Setiap bidang keilmuan memiliki kompetensi. Jangan sampai bersandar kepada mereka yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang tertentu. Alquran memerintahkan bertanya kepada ahli dzikir/berilmu, “[…] maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. An-Nahl: 43); dan bukan kepada sembarang orang. Jangan mengembalikan suatu urusan kepada mereka yang bukan ahlinya. Apalagi untuk topik yang krusial: menyangkut kesehatan dan keselamatan nyawa. Rujuklah masalah jantung yang pelik kepada dokter ahli jantung; bukan kepada dokter ahli pencernaan; apalagi kepada ahli teknik sipil.

Seperti telah diketahui, untuk kompeten dalam salah satu keahlian di atas, seseorang harus melewati jenjang pendidikan tertentu; ujian terstruktur di setiap fase; yang diakhiri dengan pengakuan sesama ilmuwan (baca: dosen) melalui pemberian ijazah. Para pilot memiliki lisensi (pengakuan) jumlah jam terbang. Para dokter melalui pendidikan dan ujian, sebelum mendapatkan pengakuan (tanda registrasi) dan disumpah (untuk jabatannya).   Sistem pendidikan informal dan nonformal bukannya tidak memiliki tempat. Dunia modern, bagaimanapun, mensistematisasi institusi pendidikan dengan alasan efisiensi dan akuntabilitas.

Makalah ini tidak bermaksud untuk bersikap closed minded, dan meninggalkan paradigma holistik, integrasi keilmuan, dan pendekatan interdisiplin. Penemuan dan kemajuan IPTEK justru bertumpu pada pokok-pokok pikiran tersebut. Banyak penemuan, kemajuan dan perubahan yang justru dipelopori oleh individu; atau berawal dari kegelisahan minoritas. Institusi non formal bahkan informal tetap mendapat tempat dan pengakuan. Kebebasan berpendapat merupakan bagian inhern dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Post medernitas dan disrupsi justru merupakan anak kandung realitas modern. Namun sikap adil, proporsional dan dialog kritis-konstruktif-bermartabat   hendaknya tetap dikedepankan. Tidakkah kebenaran dan manfaat harusnya siap diuji dan direview? Bukankah emas dan berlian akan semakin murni setelah seluruh residu sampahnya disingkirkan?

Ketiga, karena alasan terakhir sebelumnya, selain kompetensi, suatu keahlian memerlukan validasi dan pengakuan. Bukan sembarang pengakuan, atau sekadar mengaku-ngaku. Apalagi sekadar klaim sepihak, atau dari pihak yang tidak kompeten, atau justru pengakuan dari pihak yang tidak jelas. Setiap keahlian mempersyaratkan pengakuan keilmuan dari sesama ilmuwan (kolega dan sejawat dalam bidang ilmu yang sama). Tidak setiap orang bisa mengaku ahli dalam bidang tertentu, tanpa pengakuan dari mereka yang telah diakui keahliannya dalam bidang tersebut sebelumnya. Karena sebuah pengakuan menuntut tanggung-jawab. Untuk itulah ada mekanisme ujian sebelum penyerahan ijazah, dan ada uji kompetensi sebelum penyerahan kualifikasi gelar. Nabi sallallahu alaihi wasallam menegaskan, “Barangsiapa yang melakukan tindakan pengobatan, sementara ia tidak dikenal (diakui) mememiliki kompetensi tersebut, maka ia bertanggungjawab atas dampak tindakannya” (HR. Abu Dawud dan Nasai)

Mereka yang bukan ilmuwan, belum teruji melalui sistem yang ilmiah, dan tidak dikenal oleh ilmuwan lain sebagai ilmuwan; hanya akan mengajukan hipotesis yang dangkal, menyampaikan informasi yang tidak tervalidasi, tak dapat membedakan antara asumsi dan data, antara rumor dan fakta, serta berargumentasi dengan logika yang cacat. Lebih buruk lagi, tidak diharapkan mampu membedakan antara pendapat dan harkat orang lain. Imam Syafii pernah mengingatkan, ‘Mereka yang bodoh hanya akan menyakiti hatimu dengan mendebatnya.’ Dalam bidang ilmiah, tidak setiap yang mengaum serta merta adalah harimau, dan tidak semua yang  mengeong dapat diakui sebagai kucing.

Keempat, dalam kelompok keahlian manapun, anggota memiliki tingkat kompetensi yang berbeda. Bahkan dalam kelompok sosial apapun, strata sosial merupakan sunnatullah. Tidak saja memiliki kalangan khusus yang dianggap spesialis, bahkan dalam kelompok spesialis tersebut, ada hirarki dan tingkatan dalam kapasitas dan kompetensi. Perbedaan yang lumrah, dan sekali lagi merupakan bagian dari sunnatullah. Perbedaan yang muncul akibat ragam variabel: bakat individu, minat personal, pengalaman masa lalu, tingkat pendidikan, akses terhadap informasi dan sumber daya pendukung, sarana dan prasarana, dukungan ekonomi, usia, stabilitas politik, akses terhadap institusi pendidikan, dst.

Dalam kedokteran, kita mengenal istilah dokter umum (general practitioner), dokter spesialis, dan dokter spesialis konsultan. Sebagiannya melanjutkan karir di bidang akademik dan pengembangan  IPTEK Kedokteran. Seperti juga dalam contoh yang telah diberikan sebelumnya; spesialisasi dalam subbidang kedokteran membuat kedalaman keahlian masing-masing subspesialis menjadi berbeda. Dua orang dokter ahli penyakit dalam, dapat memiliki subkeahlian yang berbeda. Hirarki dan distribusi yang tidak dimaksudkan untuk menyulitkan dan mempersempit; justru untuk memudahkan, mengefisienkan, dan mensistematisasikan. Keragaman tersebut selanjutnya menjadi landasan bagi sistem rujukan dan konsultasi. Satu kepala akan sangat sulit untuk menguasai dan mengembangkan secara mendalam ragam bidang keahlian. Masing-masing memiliki wilayah kompetensi; di tengah kompleksitas masalah kesehatan.

Para Tabib dalam Lintasan Sejarah Khilafah

Sejarah khilafah negara-negara Muslim masa lalu mencatat dengan rapi keharusan para tabib untuk memiliki lisensi khusus sebelum berpraktik.  Izin praktik tersebut dikeluarkan registrasinya oleh pemerintah, berdasarkan rekomendasi dan pengakuan kompetensi dari tabib senior. Untuk mendapatkannya, para pelajar kedokteran diharuskan melewati serangkaian kurikulum dalam  pendidikan berjenjang dan praktik koasisten, yang dimentori langsung oleh tabib senior. Kebijakan yang diambil dalam rangka mempraktikkan pesan dalam Hadis Nabi, untuk melindungi masyarakat, menghindarkan malpraktik, dan menutup jalan bagi para penipu dan gadungan. Jika ustadz setengah-setengah akan merusak praktik keagamaan dalam masyarakat, maka tabib setengah-setengah akan mengacaukan sistem normal (fisiologi) tubuh pasien-pasiennya.

Wallahu ta’ala a’lam bisshawab.

Oleh: dr. Ihsan Jaya
(Dosen FKIK Unismuh Makassar dan Pegiat Thibbun Nabawi)

Artikulli paraprakMendukung Kemudi Perjuangan
Artikulli tjetërMeminta Pundak Yang Kuat

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini