TA’AWUN DENGAN BERBAGAI ORMAS DAN KELOMPOK KAUM MUSLIMIN (AHLUL QIBLAH)

Date:

Wahdah Islamiyah dalam platform dakwahnya senantiasa mengedepankan at-Ta’aawun dan at-Tanaashuh, maknanya adalah saling menolong dalam menegakkan kebenaran, mengutamakan sikap asah asih dan asuh dalam ketaqwaan, dan tidak lupa untuk saling menasehati apabila terjadi penyimpangan dan kesalahan terutama kesalahan-kesalahan yang tidak bisa ditolerir dalam syariat agama yang mulia ini.

menasehati

Berangkat dari prinsip tersebut di atas maka Wahdah Islamiyah senantiasa membuka pintu ta’awun dengan seluruh kaum muslimin demi terealisasinya kebaikan dan kemaslahatan, dan demi meminimalisir keburukan dan kerusakan atau bahkan menganulirnya dengan tetap menjadikan syariat sebagai takaran. Dan menjadikan ormas bukanlah belenggu yang memasung simpul al-wala wal bara’ dengan kaum muslimin yang lain, ormas adalah bagian dari umat namun bukan satu-satunya umat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:
‎وأما رأس الحزب فإنه رأس الطائفة التى تتحزب أى تصير حزبا فإن كانوا مجتمعين على ماأمر الله به ورسوله من غير زيادة ولا نقصان فهم مؤمنون لهم ما لهم وعليهم ما عليهم وإن كانوا قد زادوا فى ذلك ونقصوا مثل التعصب لمن دخل فى حزبهم بالحق والباطل والأعراض عمن لم يدخل فى حزبهم سواء كان على الحق والباطل فهذا من التفرق الذى ذمه الله تعالى ورسوله فإن الله ورسوله أمرا بالجماعة والائتلاف ونهيا عن التفرقة والاختلاف وأمرا بالتعاون على البر والتقوى ونهيا عن التعاون على الإثم والعدوان
Artinya: Adapun pemimpin hizb [golongan] maka dia adalah tokoh suatu kelompok yang dihimpun [maksudnya menjadi golongan independent], jika mereka berkumpul di atas perintah Allah dan Rasulnya tanpa menambah ataupun mengurangi maka mereka termasuk golongan orang mukmin, bagi mereka hak mereka dan atas mereka kewajiban mereka, dan jika mereka telah menambah [dari yang diperintahkan Allah dan RasulNya] dan mengurangi [yang diperintahkan Allah dan RasulNya] contohnya seperti ta’as-shub [fanatik buta] dengan yang bergabung kepada golongannya meskipun mereka memiliki kebenaran dan kebatilan, dan menjauhi orang yang tidak bergabung dengan kelompoknya baik dalam kebenaran ataupun dalam kebatilan, maka ini adalah bagian dari tafarruq [pecah belah] yang dicela oleh Allah dan RasulNya, sesungguhnya Allah dan Rasulnya memerintahkan untuk hidup berjamaah dan menegakkan persatuan, dan juga memerintahkan untuk berta’awun dalam kebaikan dan ketaqwaan dan melarang untuk berta’awun dalam dosa dan permusuhan.[1]

Prinsip at-Ta’awun dan at-Tanaashuh merupakan dua pilar pokok dalam berinteraksi dengan sesama kaum muslimin, saling bekerjasama dalam kebaikan dan ketaqwaaan sehingga tegaklah maslahat di tengah kaum muslimin, dan saling menasehati dalam kebenaran ketika diantara kita terjatuh ke dalam lembah penyimpangan sehingga tersebarlah al-haq dan terangkatlah keburukan dan kerusakan, berikut beberapa dalil dan fatwa seputar hal tersebut:

I. Dalil Dari al-Qur-an

1. Firman Allah: Dan tolong menolonglah kalian dalam mengerjakan kebaikan dan ketaqwaan, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.[2]

2. Firman Allah: dan berpegang teguhlah kalian dengan tali agama Allah dan janganlah kalian bercerai berai.[3]
Kaum muslimin terbagi menjadi tiga kelompok berdasarkan ayat ini[4]:
1. Kelompok yang hanya mengutamakan I’tishom bihablillah [berpegang teguh dengan al-Qur-an dan Sunnah] saja, tanpa memiliki perhatian dengan bagian kedua dari ayat ini, yaitu larangan bercerai berai. Aqidah mereka lurus, manhaj mereka baik, namun sangat disayang mereka kurang “bermudaarah” dengan para penyelisih mereka, sehingga tercipta jarak yang jauh dengan saudara-saudaranya yang lain.
2. Kelompok yang hanya bertegang teguh dengan bagian yang kedua dari ayat ini, mereka ingin menyatukan umat akan tetapi tidak ada sikap tanaashuh dalam meliruskan penyimpangan yang terjadi.
3. Kelompok yang menggabungkan substansi ayat tersebut secara kaffah, berupaya untuk berpegang teguh dengan kitab dan sunnah sesuai dengan pemahaman salaful ummah dalam seluruh aspek agama, dan juga berupaya untuk merealisasikan persatuan umat di atas manhaj dan aqidah yang benar, dan berusaha untuk berinteraksi dan berta’awun dengan kaum muslimin seraya menanamkan pemahaman agama yang benar kepada mereka. Dan inilah yang menjadi sikap ideal.

II. Fatwa-Fatwa Para Ulama

1. Fatwa Samahatus Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz –rahimahullah-.
Pertanyaan: Wahai Syaikh yang mulia, jadi yang mengatakan bahwa jamaah islam ini adalah bagian dari kelompok yang menyeru kepada neraka dan yang diperintahkan oleh Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk ditinggalkan, mereka salah dalam memahami perkataan anda??
Jawaban:Yang menyeru kepada al-Qur-an dan Sunnah tidak tergolong dalam kelompok yang sesat, akan tetapi tergolong dalam al-Firqoh an-Najiyah yang sebutkan oleh Rasulullah dalam haditsnya:”Kaum yahudi berpecah belah menjadi 71 golongan, kaum nasrani berpecah belah menjadi 72 golongan, dan akan berpecah umatku menjadi 73 golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu, bertanya para sahabat: siapa mereka wahai Rosulullah???, Rasulullah menjawab:[mereka adalah] yang mengikuti aku dan para sahabatku, dan dalam riwayat yang lain: al-Jamaah.
Maknanya: al-Firqoh an-Najiyah adalah jamaah yang istiqomah [konsisten] di atas jalan Rasulullah dan para sahabatnya, berupa men-tauhid-kan Allah, dan mentaati perintahnya serta menjauhi larangannya, dan konsisten di atas jalan tersebut baik dalam perkataan, amalan, maupun aqidah, maka mereka adalah ahlul haq dan para penyeru kepada hidayah meskipun berbeda negeri….
Beliau menegaskan: kesimpulannya, kriteria [al-Firqoh an-Najiyah] adalah konsistensi mereka di atas kebenaran, jika ada seorang manusia atau suatu jamaah yang menyeru kepada kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, dan menyeru kepada tauhid, dan mengikuti syariatnya maka merekalah yang dimaksud dengan jamaah, dan merekalah yang dimaksud dengan al-Firqoh an-Najiyah. Adapun yang menyeru kepada selain kitab Allah dan sunnah Rasulullah, maka mereka tidak masuk dalam kriteria al-Jamaah, bahkan mereka adalah kelompok yang binasa, sesungguhnya al-Firqoh an-Najiyah adalah penyeru kepada al-Qur-an dan as-Sunnah, kendati mereka ada di jamaah ini atau di jamaah ini yang penting tujuan dan aqidah mereka satu, maka tidak penting masalah penamaan, ini jamaah Ansharus sunnah dan ini jamaah Ikhwanul Muslimin, dan ini jamaah begini. Yang terpenting adalah aqidah dan amalan mereka [sesuai dengan al-Qur-an dan as-Sunnah], jika mereka konsisten di atas kebenaran dan tauhid serta ikhlas di dalamnya lalu berupaya mengikuti Nabi baik perkataan, perbuatan serta aqidah, maka [masalah] penamaan tidak berbahaya….
Beliau juga menegaskan:”dan maksudnya adalah hendaknya kita saling ta’awun [tolong menolong] dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan berupaya untuk menyelesaikan masalah kita dengan ilmu dan hikmah serta metode yang baik, siapa saja diantara jamaah ini yang terjatuh dalam kesalahan atau siapa saja selain dari mereka dalam hal aqidah, atau yang terkait dengan hal-hal yang diwajibkan oleh Allah ataupun yang diharamkan, maka mereka dinasehati dengan dalil-dalil syar’i dengan penuh kelembutan, hikmah serta metode yang baik, sehingga mereka kembali kepada kebenaran dan menerimanya, dan agar mereka tidak lari dari kebenaran tersebut, inilah kewajiban ahlul islam [yaitu] hendaknya berta’awun dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan saling menasehati diantara mereka, dan hendaknya tidak lemah sehingga para musuh mengeroyok mereka.[5]

2. Fatwa Samahatus Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin –rahimahullah-.
Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin –rahimahullah- dalam sebuah kasetnya: bahwa sikap yang benar terhadap jamaah dakwah adalah berta’awun dengannya, dan hendaknya kita menjadi para du’at kepada kebenaran dan saling bersatu, karena manusia yang paling berhak untuk berta’awun dan bersatu adalah para du’at, maka kewajiban kita terhadap jamaah dakwah adalah berta’awun dengan mereka [6]

fatwa-fatwa di atas merupakan wasiat untuk saling berta’awun dengan kaum muslimin dan jamaah-jamaah di medan dakwah, jika kita telisik dengan seksama kumpulan fatwa tersebut maka kita akan bisa memetik sebuah dhabith syar’i [ketentuan syar’i] dalam berta’awun, yaitu hendaknya berta’awun dalam hal kebaikan dan ketaqwaan. Ini adalah dhabith [ketentuan] umum dalam berta’awun dengan seluruh kaum muslimin dan jamaah-jamaah islam, adapun untuk berta’awun dengan mubtadi’ atau orang fasiq atau bahkan orang kafir maka ada satu dhabith lagi yang perlu untuk kita perhatikan, yaitu tegaknya maslahat, ringkasnya untuk berta’awun dengan al-mukhalif [ahlul bid’ah, orang yang fasiq atau bahkan orang kafir minimal ada dua dhabith [ketentuan]: pertama: berta’awun dalam kebaikan dan ketaqwaan, kedua: tegaknya maslahat.

Berkata Ibnu Taimiyah –rahimahullah-:
‎فإذا تعذر إقامة الواجبات من العلم والجهاد وغير ذلك إلا بمن فيه بدعة مضرتها دون مضرة ترك ذلك الواجب كان تحصيل مصلحة الواجب مع مفسدة مرجوحة معه خيرا من العكس ولهذا كان الكلام فى هذه المسائل فيه تفصيل
Artinya: Jika terhalang penegakan kewajiban-kewajiban berupa ilmu, jihad dan selainnya melainkan dengan bantuan seseorang yang pada dirinya ada bid’ah, dimana mudharatnya tidak sampai seperti mudharat meninggalkan kewajiban-kewajiban tersebut, dan pencapaian mashlahat itu wajib bersama dengan kerusakan yang marjuh (tidak dianggap), maka itu lebih baik dari pada sebaliknya. Olehnya pembahasan masalah ini terdapat perincian padanya”.[7]

Berkata Ibnu Qoyyim –rahimahullah-:
‎أن المشركين وأهل البدع والفجور والبغاة والظلمة إذا طلبوا أمرا يعظمون فيه حرمة من حرمات الله تعالى أجيبوا إليه وأعطوه وأعينوا عليه وإن منعوا غيره فيعاونون على ما فيه تعظيم حرمات الله تعالى لا على كفرهم وبغيهم ويمنعون مما سوى ذلك فكل من التمس المعاونة على محبوب لله تعالى مرض له أجيب إلى ذلك كائنا من كان ما لم يترتب على إعانته على ذلك المحبوب مبغوض لله أعظم منه
Artinya:[dan diantara faedah yang bisa dipetik dari peristiwa Perjanjian Hudaibiyah] adalah: bahwa jika ada kaum musyrik, ahlul bid’ah ataupun orang yang suka berbuat keji dan dhalim yang mengajak kepada perkara untuk mengagungkan salah satu syiar diantara syiar-syiar Allah, maka penuhilah dan tolonglah dia meskipun mereka melarang [syiar-syiar yang lain], maka kita membantu mereka dalam hal pengagungan syiar Allah, bukan untuk [menolong] kekufurannya dan kedhalimannya, dan barang siapa yang mengajak untuk bekerja sama dalam hal yang dicintai oleh Allah dan diridhoiNya, maka [seyogyanya] dipenuhi, siapapun dia, sepanjang kerjasama [tersebut] tidak membawa kepada hal yang dibenci Allah lebih besar.[8]

Bentuk-bentuk ta’awun dengan mukholif/ahlul qiblah:

I. Ta’awun dalam rangka menghadapi musuh yang lebih besar.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah- dimintai fatwa dalam sebuah kesempatan:
Pertanyaan: Telah terbentuk di Sudan Front Islam yang bergabung di dalamnya banyak jamaah pergerakan dan kelompok sufiyah dan barisan salafiyah, kemudian terjun dalam dunia politik dalam rangka membendung arus pemikiran komunisme dan gerakan westernisasi [pembaratan], bolehkah kami mengetahui pendapat syaikh yang mulia terkait dengan gerakan ini yang menggabungkan berbagai arus pemikiran???
Jawaban: adalah hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa tolong menolong dengan sesama kaum muslimin untuk membendung pemikiran destruktif [merusak], seruan-seruan menyesatkan, kristenisasi, gerakan komunisme, dan pemikiran Ibahii [semuanya boleh] merupakan salah satu kewajiban terbesar dan salah satu jenis jihad yang mulia, berdasarkan firman Allah –subhanahu wa ta’ala-:
Dan tolong menolonglah kalian dalam mengerjakan kebaikan dan ketaqwaan, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.[9]

Beliau menegaskan: dan masih banyak lagi ayat dan hadits yang serupa, maka kami berdoa kepada Allah semoga memberikan taufiq kepada front tersebut agar mampu memenangkan kebenaran dan melenyapkan kebatilan dan menghinakan para penyerunya, dan tidak lupa saya memberikan nasehat kepada front tersebut untuk membersihkan shaf mereka dari hal-hal yang menyelisihi agama Allah dan saling memberikan nasehat dengan mengajak untuk beristiqomah dan komitmen dengan syariat Allah….

Fatwa yang keluar dari lisan bijak di atas adalah bukti adanya perincian dalam berta’awun dengan orang yang menyelisihi dari kalangan ahlul bid’ah ataupun selain mereka, maka demi untuk membendung pemikiran-pemikiran yang sangat menyimpang seperti Syiah, Ahmadiyah, Islam Jamaah, ataupun aliran destruktif semacam Liberalisme, Sekulerisme, Terorisme dan lain sebagainya, apatah lagi bila berhadapan dengan ancaman kristenisasi, sangat diperlukan bagi umat islam untuk merapatkan shafnya, saling tolong menolong untuk berkonfrontasi dengan gerakan-gerakan di atas, dengan tidak mengabaikan semangat untuk membersihkan shaf dari penyimpangan dengan saling menasehati penuh hikmah dalam ketaqwaan.

II. Berta’awun dalam rangka menghadirkan kemaslahatan umum seperti tolong menolong untuk memberikan bantuan kepada kaum muslimin yang membutuhkan, mengirimkan bantuan makanan dan pakaian kepada korban bencana alam dan musibah lainnya, mengirimkan bantuan untuk saudara-saudara kita di palestina dan negeri-negeri yang lainnya, apatah lagi jika yang memiliki akses kuat ke tempat-tempat bencana dan memiliki lembaga yang berdedikasi dalam hal tersebut, dan tidak ada lembaga ahlus sunnah yang bisa menjadi andalan dalam bidang ini sehingga kita bisa bergandengan tangan untuk menyalurkan bantuan kita kepada kaum muslimin yang tertimpa musibah.
Adapun dalil tentang hal ini, maka semua dalil-dalil umum tentang perintah untuk berta’awun bisa dijadikan landasan, contohnya firman Allah:”Dan tolong menolonglah kalian dalam mengerjakan kebaikan dan ketaqwaan, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.[10]

III. Berta’awun Dalam Bidang Yang Menjadi Spesialisasi Para Penyelisih.

Masalah ini tidak terlepas dari bab ar-Riwayatu ‘Anil Mubtadi’ [mengambil riwayat dari ahlul bid’ah]. Sebagian ulama kita merajihkan pendapat yang mengatakan bahwa yang ditolak riwayatnya adalah perawi yang mengingkari sesuatu yang mutawatir dalam agama ini, maka barang siapa [yang penyelewengannya] belum sampai pada derajat ini, apalagi jika perawi tersebut memiliki dhabth [kemampuan ilmiyah seperti hafalan dan lain sebagainya] yang mumpuni disamping sifat wara’nya dan taqwanya, maka riwayatnya diterima[11], ini adalah pendapat Ibnu Hajar al-‘Asqolani, syaikh Ahmad Syakir, Syaikh Muhammad Bakhit al-Muthi’ii dan Syaikh Abdul Karim al-Khudhoir. Apatah lagi jika kita meriwayatkan ilmu [menjadikan mereka narasumber] dalam masalah yang tidak berhubungan dengan bid’ahnya.
Berkata Ibnu Sholah –rahimahullah-, ketika membantah orang yang melarang mengambil riwayat dari ahlul bid’ah secara mutlak:”pendapat ini menyelisihi kebiasaan yang tersebar di kalangan ulama hadist, sesungguhnya buku mereka penuh dengan riwayat dari ahlul bid’ah”.[12]
Berkata Ali bin al-Madinii –rahimahullah-:
‎لو تركت أهل البصرة لحال القدر ولو تركت أهل الكوفة لذلك الرأي يعنى التشيع خربت الكتب
Artinya: Jika seandainya kita meninggalkan riwayat-riwayat [hadits] dari penduduk Bashrah karena bid’ah qodariyah-nya, dan juga meninggalkan riwayat-riwayat [hadits] dari penduduk Kufah disebabkan pemikiran Syi’ahnya [yang berkembang di sana] maka niscaya akan rusak buku-buku hadits.[13]
al-Imam Bukhari -rahimahullah- meriwayatkan hadits di dalam kitab Shahihnya dari seorang rawi yang bernama Imran Bin Hatthan, siapakah gerangan dia??, berkata al-Mubarrid –rahimahullah-: Dia adalah gembong Qo’adiyah [salah satu sekte khawarij], berkata Ibnu Hajar : Dia seorang penyeru kepada bid’ahnya.[14]

Jikalau memang ini yang ditaqrir bahkan yang beredar di kalangan ulama salaf kita, yang mana dominasi ahlus sunnah pada saat itu lebih kuat, maka tentu saja di zaman sekarang dan di negeri kita ini yang mana pengusung sunnah belum dominan, maka hal ini tentu lebih dibutuhkan. Allahu A’lam…

Oleh Ustadz Marzuki Umar, Lc
*Dinukil dari al-inshof dengan sedikit perubahan

[1]. Majmu-ul Fatawa 11/92 versi Maktabah Syamilah
[2]. Al-Maidah ayat 2
[3]. Ali Imran ayat 103
[4]. Sebagaimana dijelaskan oleh Fadhilatus Syaikh prof Dr Ibrahim ar-Ruhaili –hafidhohullah- dalam sebuah muhadharahnya di Malang, dan pernah dimuat di majalah Qiblati.
[5] . http://www.binbaz.org.sa/mat/1931
[6] . Kaset liqo-us syaikhain Ibnu al-Utsaimin wa Rabi’ kaset kedua side B
[7] . Lihat: Majmu’ al-Fatawa, 28/212 versi almaktabah as-syamilah
[8] . Zaadul Ma’ad 3/267 versi almaktabah as-syamilah
[9]. Al-Maidah ayat 2
, soal no: 2. .http://www.binbaz.org.sa/mat/8225[13]
[10]. Al-Maidah ayat 2
[11] . Lihat al-Hadits ad-Dhoif wa Hukmu Ihtijaji Bihi karya Syaikh Abdul Karim al-Khudhoir hal. 166
[12] . ‘Ulumul Hadits karya Ibnu Sholah hal. 104 menukil dari al-Hadits ad-Dhoif wa Hukmu Ihtijaji Bihi karya Syaikh Abdul Karim al-Khudhoir
[13] . Lihat al-Kifayah Fi Ilmir Riwayah 1/129 versi Maktabah Syamilah
[14]. Lihat al-Hadits ad-Dhoif wa Hukmu Ihtijaji Bihi karya Syaikh Abdul Karim al-Khudhoir hal. 164

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_img

Popular

More like this
Related

Mukernas XVII Wahdah Islamiyah: Menyusun Langkah Strategis untuk Mewujudkan Indonesia Maju yang Berkah

MAKASSAR, wahdah.or.id - Mengangkat tema "Mengokohkan Soliditas dan Kolaborasi...

Sedekah Hijau untuk Bumi, Sedekah Jariyah Penopang Kehidupan

Wahdah.Or.Id -- Menanam pohon bukan sekadar kegiatan lingkungan hidup,...

Harta Sebagai Jalan Masuk Surga, Ketua Dewan Syariah Wahdah Islamiyah Sampaikan Begini Caranya

Wahdah.Or.Id -- Dalam al qur'an, sejak dulu Allah subhanahu...

Alhamdulillah! Semakin Berkembang, Wahdah Sidrap Kini Memiliki 11 Dewan Pengurus Cabang

DUAPITUE, wahdah.or.id -- Ketua Dewan Pengurus Daerah Wahdah Islamiyah...