Kami ingin bertanya mengenai safar, yaitu:
1. Syarat perjalanan dikatakan safar apa saja?
2. Benarkah salah satunya adalah ketika perjalanan itu melewati waktu 24 Jam?
3. Bagaimana hukum perempuan yang melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu tanpa ada mahram?
Nama: Riski
Kota/kabupaten: Morowali
Jawaban:
✍️ Dijawab oleh: Ust. Ayub Subandi, Lc
(Anggota Komisi Ibadah Dewan Syariah Wahdah Islamiyah)
1. Ditetapkan berstatus sebagai musafir jika melakukan perjalanan secara umum, adapun kaitannya dengan mengambil rukhsah syar’iyyah (keringanan dalam syariat) maka perlu menetapkan jarak, motif, dan beberapa hukum lainnya.
2. Dalam buku-buku fikih, para ulama memang menetapkan safar dengan menggunakan durasi waktu yang ditempuh berjalan kaki, namun maksudnya adalah penetapan jarak yang ditempuh berdasarkan durasi itu. Sehingga ulama Hanafiyyah menetapkan jarak safar thawil (jauh) adalah perjalanan yang ditempuh selama 3x 24 jam, diperkirakan sejauh 97,2 km. Sedangkan mayoritas ulama memandang jarak safar thawil adalah perjalanan yang ditempuh selama 2x 24 jam, diperkirakan sejauh 83 km.
3. Imam al-Nawawi merinci perbedaan pendapat ulama mengenai hukum safarnya seorang wanita tanpa didampingi oleh mahramnya di dalam kitabnya; al-Majmu’ syarah al-Muhazzab, yang kesimpulannya sebagai berikut:
– Pendapat pertama: Menurut pendapat yang sahih (dalam mazhab Syafi’i) boleh bagi wanita pergi haji (yang hukumnya wajib) jika ditemani oleh satu atau lebih wanita yang tsiqah (dapat dipercaya), tidak disyaratkan mahram dalam hal ini. Namun tidak diperbolehkan jika safar dalam rangka haji (yang hukumnya sunah), berdagang, ziarah, dan sebagainya kecuali didampingi oleh mahram.
– Pendapat kedua: Menurut sebagian ulama Syafi’iyyah, diperbolehkan wanita bepergian sendiri jika aman dalam perjalanan, pendapat ini didukung oleh Al-Hasan Al-Bashri dan Daud al-Zhahiri.
– Pendapat ketiga: Menurut Imam Malik tidak diperbolehkan walaupun beserta satu perempuan tsiqah, yang diperbolehkan adalah ketika beserta mahram atau beberapa wanita tsiqah.
– Pendapat keempat: Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, wanita tidak diperbolehkan bepergian keluar kecuali bersama suami atau mahramnya.
Dari keempat pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut mayoritas ulama; tidak boleh wanita safar tanpa mahram, sedangkan menurut sebagian ulama boleh dengan syarat ditemani banyak wanita atau terjamin keamanannya dalam perjalanannya.
Adapun mengenai menuntut ilmu, hukumnya berbeda-beda tergantung dari jenisnya ilmunya, ada yang wajib ain (setiap person) seperti ilmu yang berkaitan dengan kewajiban seperti salat dll, ada yang wajib kifayah (kolektif) seperti ilmu kedokteran, ada yang sunah seperti ilmu yang berkaitan dengan ibadah sunah, ada yang mubah seperti ilmi yang berkaitan dengan hal-hal yang mubah, ada yang makruh seperti ilmu yang berkaitan dengan perbuatan makruh, bahkan ada yang haram seperti ilmu sihir.
Jadi sikap yang tepat bagi seorang wanita yang ingin safar adalah mengambil pendapat yang disepakati kebolehannya yaitu safar bersama mahram sebagai bentuk ihtiyat (kehati-hatian) dan keluar dari ranah khilaf perbedaan pendapat ulama, kecuali jika menuntut ilmu yang hukumnya wajib ain atau wajib kifayah dimana tidak ada lagi orang lain yang bisa menunaikan kewajiban itu kecuali dirinya, maka boleh mengambil pendapat yang lain namun dengan tetap mengikuti persyaratannya yaitu ditemani oleh banyak wanita atau terjamin keamanannya dalam perjalanan, jika tidak memenuhi syarat itu maka tetap tidak boleh safar tanpa mahram. Dikecualikan menuntut ilmu yang hukumnya memang haram, maka keberadaan atau tidaknya seorang mahram hukumnya tetap diharamkan. Wallahu a’lam.