Syarah Hadits Ke-12 Arbain
Berikut ini Penjelasan Hadits Ke-12 dari Kitab Hadits Arbain An Nawawi Rahimahullah:
Hadits ke 12 Arba’in An-Nawawi
ó
Úóäú ÃóÈíö åõÑóíúÑóÉó  ÑóÖöí Çááåõ Úóäúåõ ÞóÇáó : ÞóÇáó ÑóÓõæúáõ Çááåö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æó Óóáøóãó :  ãöäú ÍõÓúäö ÅöÓúáÇóãö ÇáúãóÑúÁö  ÊóÑúßõÜåõ ãóÇ áÇó íóÚúäöíúÜåö  ÍóÏöíËñ ÍóÓóäñ ¡ ÑóæóÇåõ ÇáÊøöÑúãöÐöíøõ æó ÛóíúÑõåõ åóßóÐÇ

12. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu telah berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  : “Sebagian (tanda) kebaikan ke-Islaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak penting baginya”. Hadits Hasan, diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi dan selain dia ada juga yang meriwayatkan demikian

DERAJAT HADITS
Terdapat ikhtilaf ulama tentang keshohihan hadits ini. Imam Nawawi menghukumi hadits ini hasan (Haditsun Hasan) karena beliau memandang rawi-rawinya terpercaya kecuali Qurrah bin Abdurrahman. Imam Ibnu Rajab dan lain-lainnya mendho’ifkan seluruh sanadnya .
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa dia  (Qurrah bin Abdurrahman) adalah shaduq namun banyak meriwayatkan hadits yang mungkar . Kebanyakan imam-imam terdahulu sebelum Imam Nawawi mendho’ifkan hadits ini, yang menghasankannya atau yang serupa  dengan hukum dari Imam Nawawi adalah Imam Ibnu Abdil Barr , diantara para ulama yang menyebutkan dan mencacatkannya adalah :Imam Ahmad,bahkan Imam Tirmidzi yang meriwayatkan hadits ini mengharibkannya (Haditsun gharib) , juga Yahya bin Ma’in, Bukhari, Al Uqaili, Baihaqi, Ad Daraquthni dan lain-lain mendho’ifkan hadits ini . Riwayat yang kuat adalah yang berasal dari Imam Malik namun haditsnya Mursal yaitu dari beliau—— Az Zuhri —— Ali bin Husein bin Ali  (seorang tabi’in yang dikenal dengan nama Zaenal Abidin) langsung berkata : “Rasulullah bersabda …”, dan ketika seorang tabi’in langsung meriwayatkan dari Rasulullah maka hadits tersebut disebut hadits Mursal dan ulama hadits menghukumi hadits mursal sebagai hadits dho’if.
Kesimpulannya, walaupun ada ikhtilaf namun memiliki makna yang benar dan ditunjang oleh dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga ulama tetap menyebutkan hadits ini dan menasabkannya kepada Rasulullah.        
Dan kebanyakan ulama-ulama setelah Imam Nawawi sering menyebut-nyebut dan berhujjah dengan hadits ini. Dari kalangan ulama mutaakhirin (kontemporer) yang  menshohihkan hadits ini diantaranya Syeikh Al–Albani  dan Syaikh Syu’aib Al Arnouth . Yang mendhoifkannya adalah Syaikh Abdullah bin Yusuf  Al Judai’ beliau mengatakan sulit menyatakan hadits ini hasan apalagi shahih . Ulama hadits yang berada di negeri Yaman, Abul Hasan Mushtafa bin Ismail As Sulaimani, beliau mengatakan hadits ini tidak shohih sanadnya tapi maknanya benar . Dan hadits ini tetap diterima oleh ulama mutaakhirin karena jalannya yang banyak dan maknanya yang benar.Wallahu Ta’ala A’lam.

KEUTAMAAN HADITS
Hadits ini merupakan hadits pokok dalam masalah adab. Imam Ibnu Rajab Hambali mengatakan ashlun ‘azhim min ushulil adab  yaitu merupakan diantara hadits  pokok tentang masalah adab . Siapa yang ingin mengetahui masalah adab (mau beradab) berarti dia  harus mengambil hal ini yaitu meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat.

Dan sebelum beliau, banyak yang mengatakan hal yang sama diantaranya Imam Muhammad bin Abi Zaid Al-Malikiyah  sebagaimana yang dinukil oleh Imam Ibnu Sholah bahwa beliau mengatakan:"Pokok adab-adab kebaikan berasal dari empat hadits yaitu ; ….
Demikian pula Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied yang mengatakan bahwa ini merupakan suatu kalimat singkat yang mengandung makna yang padat dan merupakan Jawami Kalim dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam   . Demikian pula Imam Abu Dawud memasukkannya sebagai hadits pokok dalam masalah Adab . Dan hadits ini dipandang sangat besar manfaatnya dan penting hukum-hukum yang terkandung didalamnya oleh ulama-ulama kita.

SYARAH HADITS

ãöäú ÍõÓúäö ÅÓúáÇóãö ÇáúãóÑúÁö …

Fungsi ãöäú  dalam hadits ini memiliki dua kemungkinan :
1.    Bayaniah (penjelasan) yaitu maksudnya kebaikan islamnya seseorang adalah dengan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.
2.    Tab’idhiyyah (sebagian/tidak semua) yaitu sebagian diantara tanda-tanda kebaikan seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya. Dan ini-Insya Allah-adalah yang paling kuat dalam hadits ini dan )  (ãöäú  tab’idhiyyah ini juga banyak digunakan dalam Al-Quran.
Disebutkan sebagai (ãöäú) tab’idhiyyah disini berarti bahwa kebaikan islamnya seseorang adalah bukan hanya ditunjukkan dengan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya tapi juga melakukan apa yang bermanfaat baginya. Kalau kita menggunakan ãöäú  bayaniah pada hadits ini, maka mungkin akan terjadi kesalahpahaman yaitu bahwa sebagian orang akan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat saja, padahal tidak hanya itu tapi juga dibutuhkan mengerjakan apa yang bermanfaat baginya.

Dalam hadits ini digunakan kata al islam ( ÇáÅÓáÇã ) bukan  al iman ÇáÅíãÇä)) , hal ini ada dua kemungkinannya :
1.    Islam dan Iman kadang disebutkan secara bergantian, jika disebut salah satunya maka yang lainnya sudah tercakup Dan yang perlu diketahui bahwa hadits ini telah diriwayatkan pula secara mursal dengan lafazh:
 ãä ÅíãÇä ÇáãÑÁ….. 
"Diantara (tanda) iman seseorang….."
2.    karena yang disebutkan disini masalah pengamalan (meninggalkan suatu amalan dan mengamalkan sesuatu) hal ini berkaitan dengan amalan yang zhohir dan Islam berkaitan dengan amalan-amalan yang zhohir berbeda dengan iman yang berkaitan dengan batin(yang tidak nampak) .

Dikatakan  ÇÓáÇã ãöäú ÍõÓúä  bukan ÅÓáÇã ãöäú karena memang keislaman seseorang tidak hanya ditandai dengan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat karena kadang seorang melakukan hal yang tidak bermanfaat tapi masih dikatakan Islam. Jadi kalau  kita mengatakanÅÓáÇã ãöäú (tanda keislaman) seakan-akan kita mengatakan bahwa jika dia melakukan hal yang tidak bermanfaat maka dia bukanlah orang Islam. Padahal keislaman itu ada ketika dia bersyahadat, tunduk, yakin, serta membenarkan meskipun kadang dia masih melakukan hal-hal yang bathil atau maksiat. Maka Imam Ath Thufi mengatakan ibaratnya Islam sebagai bangunan, Arkanul Islam adalah tubuhnya dan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat ibaratnya bentuk/model dan warnanya . Jadi baik/indah tidaknya bangunan tersebut adalah jika meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya. Ada orang yang sama-sama memiliki bangunan tapi bangunan tersebut bermacam-macam bentuknya, ada yang bentuk dan warna catnya indah, ada yang biasa-biasa saja. Dan sebenarnya bentuk dan warna inilah adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat. Ada yang sama-sama Islam, memiliki bangunan Islam tapi berbeda-beda dari segi keindahan Islamnya. Ada yang Islamnya sangat indah, bentuknya mengagumkan/menakjubkan, ada pula yang dikatakan Islam tapi tidak mengagumkan orang lain dan yang membedakannya adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat.

Dalam Islam, kita dituntut untuk melakukan beberapa perintah dan kita juga dituntut untuk meninggalkan apa-apa yang dilarang dan tidak merugikan orang lain.
Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda  (ketika beliau mensifatkan orang muslim) :

 ÇáúãõÓúáöãõ ãóäú Óóáöãó ÇáúãõÓúáöãõæäó ãöäú áöÓóÇäöåö æóíóÏöåö

“Muslim( yang benar keislamannya) adalah yang kaum muslimin lainnya selamat dari lisannya (lidah) dan tangannya”(HR.Bukhari dan Muslim)
Artinya dia tidak melakukan hal-hal yang menyakitkan orang lain, mengganggu orang lain baik dengan lisan dan tangan. Dan penyebutan lisan(lidah) dalam hadits ini mencakup perkataan, isyarat seperti menjulurkan lidah atau semacamnya, dan penyebutan tangan juga secara umum yaitu baik dengan memukul atau dengan tulisan-tulisannya dan apa saja yang menyakiti orang lain lewat tangannya.
Disini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  menyebutkan bahwa kebaikan Islam seseorang atau ciri keislaman seseorang adalah jika orang lain selamat dari gangguan tangan dan lisannya. Artinya dia tidak mau melakukan hal-hal yang menganggu orang lain dan inilah yang disebut dengan meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat.

Apa-apa yang bermanfaat dan tidak bermanfaat bukanlah diukur dari pribadi masing-masing kita, tapi mizan(timbangan)nya adalah syari’at. Karena jika diukur dari pribadi seseorang maka akan terjadi perbedaan pendapat sehingga ulama mentanbih (mengingatkan) bahwa dalam memandang penting tidaknya sesuatu harus berdasarkan syariat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah

íóÚúäöíåö …

berasal dari kataÚóäóì —-  íóÚúäöíö mashdarnya adalah (ÚöäóÇ íóÉ ) artinya : ÔöÏøó Éõ ÇáÇåÊöãóÇã ÈöÔóÆò (perhatian yang besar terhadap sesuatu). Contohnya dalam kalimat:

ÃóäóÇ ÃóÚúÊäöíú Èöåö Ãí  ÃóäóÇ ÃåÊóãøõ Èöåö ÇåúÊöãóÇãðÇ ÈöÇáÛðÇ

“Saya berinayah kepadanya” artinya:" saya sangat memperhatikannya”.
Jadi  ãóÇ áÇó íóÚúäöíúå  adalah meninggalkan apa yang tidak diperhatikan atau tidak bermanfaat dari kata ÇåúÊöãóÇã  (penting) dan ÚöäóÇ íóÉ(memandang penting atau memperhatikan)
Hal yang tidak bermanfaat  kadang berupa perkataan dan kadang juga perbuatan. Namun yang banyak dimaksud oleh Allah subhaanahu wa ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dari dalil-dalil yang ada bahwa yang tidak bermanfaat adalah dalam masalah lisan, walaupun ada juga perbuatan yang tidak bermanfaat, bahkan sangat banyak (misalnya : melakukan permainan yang menghabiskan waktu). Tapi yang kebanyakan ditekankan tentang pentingnya untuk kita tinggalkan yang tidak menghabiskan waktu kita untuk melakukannya adalah dalam masalah perkataan. Dan ini yang paling banyak Allah subhaanahu wa ta’ala ancamkan kepada anak cucu Adam tentang bahaya mengatakan sesuatu yang tidak bermanfaat karena setiap kata yang keluar akan dicatat oleh malaikat Allah subhaanahu wa ta’ala (Qs. Qaaf : 16-18).

﴿ æóáóÞóÏú ÎóáóÞúäóÇ ÇáúÅöäúÓóÇäó æóäóÚúáóãõ ãóÇ ÊõæóÓúæöÓõ Èöåö äóÝúÓõåõ æóäóÍúäõ ÃóÞúÑóÈõ Åöáóíúåö ãöäú ÍóÈúáö ÇáúæóÑöíÏö(16)ÅöÐú íóÊóáóÞøóì ÇáúãõÊóáóÞøöíóÇäö Úóäú Çáúíóãöíäö æóÚóäú ÇáÔøöãóÇáö ÞóÚöíÏñ(17)ãóÇ íóáúÝöÙõ ãöäú Þóæúáò ÅöáøóÇ áóÏóíúåö ÑóÞöíÈñ ÚóÊöíÏñ(18) ﴾

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.
Apa yang terbetik di hati kita sudah diketahui Allah tapi yang diperhitungkan adalah apa yang terlontar. Karena apa yang terbetik dan kita tidak melakukannya maka tidak dihitung/dicatat.
Ketika turun ayat Qs. 2 : 284

﴿ áöáøóåö ãóÇ Ýöí ÇáÓøóãóÇæóÇÊö æóãóÇ Ýöí ÇáúÃóÑúÖö æóÅöäú ÊõÈúÏõæÇ ãóÇ Ýöí ÃóäÝõÓößõãú Ãóæú ÊõÎúÝõæåõ íõÍóÇÓöÈúßõãú Èöåö Çááøóåõ ÝóíóÛúÝöÑõ áöãóäú íóÔóÇÁõ æóíõÚóÐøöÈõ ãóäú íóÔóÇÁõ æóÇááøóåõ Úóáóì ßõáøö ÔóíúÁò ÞóÏöíÑñ(284) ﴾

“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada  di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu  melahirkan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya  Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendakiNya dan menyiksa siapa  yang dikehendakiNya, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”
 
para sahabat sangat ketakutan mendengar ayat tersebut karena apa yang terbetik sulit sekali ditahan dan kadang ada keinginan untuk melakukan apa yang dilarang. Maka ketika turun ayat ini, sahabat mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pada waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  sangat marah dan mengatakan : “Apakah kamu mau mengatakan seperti yang dikatakan oleh Bani Israil : ( ÓóãöÚúäóÇ æÃÕóíúäóÇ ? ) Ketika turun ayat ini kalian tiada lain kecuali mesti menaati apa yang Allah firmankan”. Akhirnya para sahabat pun mengikutinya

ÁóÇãóäó ÇáÑøóÓõæáõ ÈöãóÇ ÃõäúÒöáó Åöáóíúåö ãöäú ÑóÈøöåö æóÇáúãõÄúãöäõæäó ßõáøñ ÁóÇãóäó ÈöÇááøóåö æóãóáóÇÆößóÊöåö æóßõÊõÈöåö æóÑõÓõáöåö áóÇ äõÝóÑøöÞõ Èóíúäó ÃóÍóÏò ãöäú ÑõÓõáöåö æóÞóÇáõæÇ ÓóãöÚúäóÇ æóÃóØóÚúäóÇ ÛõÝúÑóÇäóßó ÑóÈøóäóÇ æóÅöáóíúßó ÇáúãóÕöíÑõ

Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami ta`at". (Mereka berdo`a): "Ampunilah kami ya Robb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali". (Qs. 2 : 285),

lalu Allah subhaanahu wa ta’ala menurunkan ayat selanjutnya  :

 áóÇ íõßóáøöÝõ Çááøóåõ äóÝúÓðÇ ÅöáøóÇ æõÓúÚóåóÇ áóåóÇ ãóÇ ßóÓóÈóÊú æóÚóáóíúåóÇ ãóÇ ÇßúÊóÓóÈóÊú ÑóÈøóäóÇ áóÇ ÊõÄóÇÎöÐúäóÇ Åöäú äóÓöíäóÇ Ãóæú ÃóÎúØóÃúäóÇ ÑóÈøóäóÇ æóáóÇ ÊóÍúãöáú ÚóáóíúäóÇ ÅöÕúÑðÇ ßóãóÇ ÍóãóáúÊóåõ Úóáóì ÇáøóÐöíäó ãöäú ÞóÈúáöäóÇ ÑóÈøóäóÇ æóáóÇ ÊõÍóãøöáúäóÇ ãóÇ áóÇ ØóÇÞóÉó áóäóÇ Èöåö æóÇÚúÝõ ÚóäøóÇ æóÇÛúÝöÑú áóäóÇ æóÇÑúÍóãúäóÇ ÃóäúÊó ãóæúáóÇäóÇ ÝóÇäúÕõÑúäóÇ Úóáóì ÇáúÞóæúãö ÇáúßóÇÝöÑöíäó:286

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". (Qs. 2 : 286)

Dan dalam ayat tersebut disebutkan beberapa do’a. Dalam hadits Qudsi, Allah subhaanahu wa ta’ala mengatakan telah menerima do’a kaum mukminin sehingga Allah subhaanahu wa ta’ala tidak menghisab apa-apa yang terbetik di hati, yang dihisab adalah apa yang dikatakan dan diperbuat.
Qs. Qaaf : 16-18 adalah ayat yang mengancam atau memperingatkan kita untuk meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi diri kita yang berasal dari lisan kita. Apa-apa yang kita lontarkan dari lisan kita, baik yang telah terpikirkan atau tidak maka akan kita lihat pada hari kiamat kelak, apa dia akan membantu kita pada hari penghisaban atau menambah berat mizan kita ataukah justru menjatuhkan kita ke dalam neraka Allah subhaanahu wa ta’ala .

Ayat-ayat lain yang menyebutkan tentang pengawasan Allah terhadap makhluk-Nya :
1.    Qs. An-Najm :32

 ÇáøóÐöíäó íóÌúÊóäöÈõæäó ßóÈóÇÆöÑó ÇáúÅöËúãö æóÇáúÝóæóÇÍöÔó ÅöáøóÇ Çááøóãóãó Åöäøó ÑóÈøóßó æóÇÓöÚõ ÇáúãóÛúÝöÑóÉö åõæó ÃóÚúáóãõ Èößõãú ÅöÐú ÃóäúÔóÃóßõãú ãöäó ÇáúÃóÑúÖö æóÅöÐú ÃóäúÊõãú ÃóÌöäøóÉñ Ýöí ÈõØõæäö ÃõãøóåóÇÊößõãú ÝóáóÇ ÊõÒóßøõæÇ ÃóäúÝõÓóßõãú åõæó ÃóÚúáóãõ Èöãóäö ÇÊøóÞóì

(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunanNya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.
2.    Qs. Az-Zukhruf : 80

Ãóãú íóÍúÓóÈõæäó ÃóäøóÇ áóÇ äóÓúãóÚõ ÓöÑøóåõãú æóäóÌúæóÇåõãú Èóáóì æóÑõÓõáõäóÇ áóÏóíúåöãú íóßúÊõÈõæäó

Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka.
Adapun ayat-ayat yang menyebutkan bahwa sifat mu’min adalah meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfaat baginya, antara lain:
•    Qs. 23 : 3,

ÞóÏú ÃóÝúáóÍó ÇáúãõÄúãöäõæäó(1)ÇáøóÐöíäó åõãú Ýöí ÕóáóÇÊöåöãú ÎóÇÔöÚõæäó(2)æóÇáøóÐöíäó åõãú Úóäö ÇááøóÛúæö ãõÚúÑöÖõæäó

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,…..
Allah subhaanahu wa ta’ala mensifatkan orang-orang yang beriman yaitu orang yang meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya. Kata  ÇááÛæ dalam ayat tersebut adalah perkataan dan perbuatan, tapi lebih ditekankan pada perkataan.
•    Qs. 25 : 72

æóÇáøóÐöíäó áóÇ íóÔúåóÏõæäó ÇáÒøõæÑó æóÅöÐóÇ ãóÑøõæÇ ÈöÇááøóÛúæö ãóÑøõæÇ ßöÑóÇãðÇ

Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.
 
Allah subhaanahu wa ta’ala menyebutkan sifat ibadurrahman dimana salah satunya adalah ketika mereka lewat di majelis-majelis laghwi (yang tidak bermanfaat dunia dan akhirat), mereka tidak mau tahu apa yang dilakukan orang di dalamnya, mereka tidak mau sibuk atau menghabiskan waktunya dengan hal seperti itu, mereka melewatinya dengan tetap menjaga kehormatannya. Karena seorang yang ibadurrahman tahu bahwa mereka diciptakan di dunia ini adalah untuk beramal kebajikan (untuk diuji siapa yang paling baik amalnya). Seorang ibadurrahman tahu bahwa tugasnya (kewajibannya) di dunia lebih banyak dari waktu yang tersedia, sehingga mereka tidak mau membuang waktunya untuk hal yang percuma.
•    Qs. 28 : 55.

﴾ æóÅöÐóÇ ÓóãöÚõæÇ ÇááøóÛúæó ÃóÚúÑóÖõæÇ Úóäúåõ æóÞóÇáõæÇ áóäóÇ ÃóÚúãóÇáõäóÇ æóáóßõãú ÃóÚúãóÇáõßõãú ÓóáóÇãñ Úóáóíúßõãú áóÇ äóÈúÊóÛöí ÇáúÌóÇåöáöíäó  ﴿

Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil".
Orang yang menghabiskan waktunya pada hal-hal yang tidak bermanfaat adalah orang yang jahil yang tidak tahu hakikat kehidupannya, mereka tidak tahu tugasnya di bumi ini. Mereka tidak tahu bagaimana menghabiskan waktunya selama 24 jam. Tapi seorang muslim yang tahu betul agamanya akan senantiasa meminta berkah dari waktunya kepada Allah subhaanahu wa ta’ala  karena mereka mengetahui bahwa kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada mereka belum sempurna pelaksanaannya atau masih kurang.
Hendaknya kita menimbang-nimbang apa yang kita keluarkan dari lisan kita, apa bermanfaat atau tidak. Kalau tidak ada manfaatnya maka ditinggalkan, dan kalau ada, maka kita lihat apakah manfaatnya lebih besar atau mudharatnya. Karena kadang-kadang ada perkataan yang bermanfaat tapi ada juga mudharatnya. Jika mudharatnya lebih besar, ditinggalkan. Jika sama beratnya, maka ditinggalkan pula. Karena hukum asal adalah tidak mengatakan sesuatu. Seseorang dituntut untuk lebih banyak diam dan inilah ciri keimanan seseorang, apalagi jika dia adalah seorang Tholabul ‘ilm atau penghafal Al-Qur’an yang dikenal dengan banyak diamnya. Dan ulama mengatakan jika sama mashlahatnya antara diam dan berkata, maka lebih afdhol adalah diam.
Imam Ibnu Qayyim dalam kitabnya Al-Jawaabu Al-Kaafiy Liman Saala ‘An Ad-Dawaa’I Syafi (atau lebih dikenal Ad-Da’aa wa Ad-Dawaa’) menyebutkan hadits ini dan beliau menjelaskan bahwa ada orang yang kelihatan wara’ dan zuhud, dikenal dengan keilmuannya, aqidahnya benar, tamassuknya terhadap sunnah, namun dalam masalah lisan dia tidak dapat menahannya (tidak terkontrol). Hal ini menunjukkan ketidakwara’annya terhadap hadits ini. Padahal ini adalah masalah yang perlu ditinggalkan karena menunjukkan kebaikan Islamnya seseorang. Beliau mengatakan sungguh sangat mengherankan bahwa mereka hanya bisa menahan dirinya dari kezholiman sementara kaum muslimin tidak selamat dari perkataannya, ghibahnya, namimahnya dan lain-lain.

…ãóÇ áÇó …

Seorang muslim mempunyai kewajiban-kewajiban baik bagi dirinya, keluarganya dan teman-temannya (masyarakat pada umumnya). Tapi ia tidak mungkin menyelesaikan semua masalah yang ada pada ummat ini, sehingga dia harus mendahulukan yang penting baginya dan jangan mengambil dan mencampuri yang bukan urusannya.

Ulama mengingatkan bahwa salah satu keburukan (tidak baiknya) keislaman seseorang manakala ia gila urusan. Semua mau diurusi, dia merasa sedih ketika terjadi pembicaraan rahasia diantara kawannya sementara ia tidak dilibatkan. Jika ia mampu mengurus semuanya, hal ini tidak dipermasalahkan, tapi jangan sampai kita berada dimana-mana (mengurusi semuanya) dan tidak ada pekerjaan yang dapat diselesaikan. Apalagi hanya sekedar mau tahu urusan orang lain.
Sebagian ulama salaf dan ulama mutaakhirin diantaranya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin memandang bahwa jika ada orang yang bertanya tentang kabar seseorang seperti perkataan : ßóíúÝó ÍÇá ¿Ãæ ãöäú Ãíúäó ÌÆÊ ¿ karena ingin mengetahui secara detail tentang orang tersebut, maka itu berarti bahwa dia termasuk melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat. Lain halnya kalau cuma berbasa-basi, maka tidak mengapa menanyakannya.
Namun, jika ada seorang teman yang dari wajahnya menampakkan kesedihan dan dia memberi isyarat ingin dibantu dan mungkin ia malu mengungkapkannya, maka tidak mengapa menanyakannya. Tapi, jika kita sudah menanyakan dan dia tetap tidak mau menyampaikan atau merahasiakannya, lalu kita mendesak ingin mengetahuinya, maka ini termasuk melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat.
Seperti kita ketahui bahwa, mizan penting tidaknya sesuatu adalah syari’at. Karenanya kita perlu mengetahui dengan betul mana yang dipandang penting dan yang tidak dalam syari’at. Tentu saja ada skala prioritas (Aulaawiyaat). Tentunya yang paling penting diantara yang penting adalah kewajiban diri kita kepada Allah subhaanahu wa ta’ala Sebelum kita mengurus orang lain, maka kita harus menunaikan kewajiban yang dibebankan oleh Allah subhaanahu wa ta’ala kepada diri pribadi terlebih dahulu, sebelum menyelesaikan permasalahan orang lain atau ummat ini.
Seorang muslim tidak diharapkan menjadi lilin (ÇáÔãÚ) yang menerangi orang lain, memberi manfaat kepadanya namun dia membinasakan dirinya sendiri. Kita harus mendahulukan diri kita dahulu karena seandainya kita tidak bisa menyelamatkan ummat atau orang yang kita cintai (misalnya orangtua kita), maka minimal kita masih bisa menyelamatkan diri sendiri.

Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman dalam Qs.66:6

íóÇÃóíøõåóÇ ÇáøóÐöíäó ÁóÇãóäõæÇ ÞõæÇ ÃóäúÝõÓóßõãú æóÃóåúáöíßõãú äóÇÑðÇ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”
Setelah diri kita, barulah keluarga dan yang lainnya. Namun kita tidak boleh berhenti terhadap sesuatu atau tidak melakukan yang bisa kita kerjakan dengan alasan yang ini belum selesai. Apalagi kalau memang tidak ada jaminan kita bisa menyelesaikannya. Misalnya : kita dituntut untuk memperhatikan atau mendahulukan keluarga kita (Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman : “Ingatkan keluargamu yang terdekat”), sehingga kita berdalih bahwa tidak usah saya mengajak teman-teman saya atau ummat ini karena orangtua saya belum mendapatkan hidayah, atau belum semua keluarga saya pake jilbab, belum semuanya melaksanakan sunnah … dan lain-lain.  Hal ini tidak boleh menjadi alasan, karena kita tidak bisa memberikan hidayah kepada seseorang. Hidayah hanya milik Allah dan kita hanya bisa memperingati saja. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun demikian, Beliau tidak bisa memberikan hidayah kepada pamannya yang sangat beliau cintai. Nabi-nabi terdahulu pun demikian, namun mereka tetap berda’wah kepada ummat.
Atau jangan sampai kita hanya sibuk mengislamkan diri kita sementara mereka (keluarga) dilupakan. Kita tidak mau berda’wah karena kita belum berislam secara keseluruhan. Hal ini tidak dibenarkan karena mustahil terjadi. Jika orang yang bernasehat/berda’wah adalah orang yang terbebas dari dosa atau sempurna keislamannya, maka tidak ada orang yang bisa bernasehat di muka bumi ini kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Seseorang mempunyai kewajiban beramal dan berda’wah. Kapan seseorang meninggalkan da’wah dan tidak beramal, maka ia meninggalkan dua kewajiban. Namun, jika ia berda’wah dan belum sempat beramal (menunaikan beberapa hal), berarti dia sudah menyelesaikan satu kewajiban dan kewajiban lainnya hendaknya segera diselesaikan.
Yang wajib kita pentingkan di muka bumi adalah urusan Ad-Dien ini. Seorang muslim hendaknya menjadikan urusan Ad-Dien menjadi urusan yang sangat penting. Artinya, dia tidak boleh berfikir untuk dirinya sendiri, tidak boleh merasa cukup dengan ibadahnya saja, namun dia mempunyai tugas yang sangat besar yang telah diemban oleh para Anbiyaa sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ditutup oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dilanjutkan oleh sahabat dan yang mengikutinya dengan baik.
Tugas Izhharuddin (menegakkan agama) yang Allah subhaanahu wa ta’ala sebutkan 3 kali dalam Al-Qur’an (Qs. 9:31/48:28/61 : 9). Salah satu misi yang ditugaskan kepada para Rasul adalah menegakkan Ad-Dien ini dan inilah yang kita harus emban sebagai pengikut Nabi Muhammad. Shallallahu ‘alaihi wa sallam Seorang muslim tidak boleh merasa cukup dengan keislamannya, aqidahnya yang benar, melaksanakan sunnah dan menjauhi bid’ah lalu dia tidak mau tahu urusan kaum muslimin, maju tidaknya kaum muslimin, dibantai tidaknya tidak ada hubungannya dengan dirinya. Inilah orang yang tidak memahami makna meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya. Karena masalah kaum muslimin termasuk masalah yang perlu kita perhatikan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun demikian. Selama masih banyak Tuhan-tuhan selain Allah subhaanahu wa ta’ala, thagut-thagut, kesyirikan, bid’ah yang beredar, maka itu merupakan kewajiban kita untuk menyelesaikannya. Karena pada masalah inilah yang kita perlu berihtimam di dalamnya.

Seorang muslim ketikah dia sudah membersihkan dirinya, maka dia harus segera melanjutkan urusan lainnya yaitu mengurusi urusan kaum muslimin.

ãóäú áóãú íóåúÊóãøó ÈöÃóãúÑöÇáúãõÓúáöãöíúäó ÝóáóíúÓó ãöäúåõãú

“Siapa yang tidak memperhatikan kaum muslimin, maka dia bukanlah golongan mereka”
Hadits ini diriwayatkan secara marfu’ dengan beberapa sanad, namun sanadnya lemah  sehingga kita tidak menyandarkannya pada perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tapi karena maknanya yang benar, maka kita sandarkan pada perkataan ulama kita.
Adapun guna atau manfaat seseorang memiliki keislaman yang baik dengan meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat adalah dalam Al-Qur’an telah disebutkan setiap amalan kebaikan jika diniatkan akan mendapat 1 pahala dan jika sudah dilakukan mendapat 10 pahala kebaikan sebagaimana firman Allah:

 ãóäú ÌóÇÁó ÈöÇáúÍóÓóäóÉö Ýóáóåõ ÚóÔúÑõ ÃóãúËóÇáöåóÇ æóãóäú ÌóÇÁó ÈöÇáÓøóíøöÆóÉö ÝóáóÇ íõÌúÒóì ÅöáøóÇ ãöËúáóåóÇ æóåõãú áóÇ íõÙúáóãõæäó

Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).(Qs. 6:160).
Hal ini berlaku secara umum bagi seorang muslim bahwa jika ia melakukan kebaikan maka akan mendapatkan 10 pahala. Namun, orang-orang yang baik keislamannya (senantiasa memperbaiki keislamannya) akan mendapatkan pahala khusus dari Allah subhaanahu wa ta’ala.

Keutamaan dari orang yang memperbaiki keislamannya yaitu :
1.    Seorang yang sudah Islam merupakan kebaikan yang besar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda :

 Åö ÐóÇ ÃóÍúÓóäó ÃóÍóÏõßõãú ÅöÓúáóÇãóåõ Ýóßõáøõ ÍóÓóäóÉò íóÚúãóáõåóÇ ÊõßúÊóÈõ ÈöÚóÔúÑö ÃóãúËóÇáöåóÇ Åöáóì ÓóÈúÚö ãöÇÆóÉö ÖöÚúÝò æóßõáøõ ÓóíøöÆóÉò íóÚúãóáõåóÇ ÊõßúÊóÈõ ÈöãöËúáöåóÇ ÍóÊøóì íóáúÞóì Çááøóåó

“Jika salah seorang diantara kalian memperbaiki keislamannya, maka akan dicatat baginya dalam setiap 1 kebaikan 10 pahala sampai 700 kali lipat pahala. Adapun kesalahannya hanya akan ditulis satu saja sampai ia berjumpa dengan Allah subhaanahu wa ta’ala”
Artinya, secara umum seorang  muslim mendapatkan 10 pahala dari amalannya, namun orang-orang yang memperbaiki keislamannya akan mendapatkan sampai 700 kali lipat. Bukan hanya sekedar berislam saja tapi salah satunya adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat.
Amalan yang kita kerjakan secara zhohir sama saja, tapi dihadapan Allah beda dan bertingkat-tingkat. Misalnya orang yang shalat berjamaah, tentu beda pahala yang didapatkannya jika dia berjamaah di mesjid biasa dengan mesjid Nabawi, begitu pula shalat lail tentu akan beda pahalanya jika ia menegakkan pada waktu yang lebih afdhol (1/3 malam terakhir), atau berpuasa sunnah, tentu lebih afdhol dilakukan pada hari senin/kamis dibandingkan hari lainnya atau orang yang berinfak tatkala dia dalam keadaan sulit tentu beda pahalanya jika dalam keadaan lapang. Jadi, amalan kebaikan itu bertingkat-tingkat di hadapan Allah subhaanahu wa ta’ala disebabkan karena tempat, waktu, dan keadaaan.  Begitupun dengan ikhlas dalam beramal juga bertingkat-tingkat. Ada yang sama-sama ikhlas tapi ada yang ikhlasnya lebih tinggi daripada yang lainnya. Misalnya orang yang sama-sama sholat dan menegakkan sunnah-sunnah dalam sholat diberikan imbalan yang berbeda karena  ada yang sholat dengan penuh rasa pengagungan kepada Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan rasa khauf tapi tidak diliputi dengan rasa cinta yang besar begitupun sebaliknya.
Dan salah satu yang menyebabkan perbedaan mencolok antara seorang muslim dengan yang lainnya dalam masalah amalan yang dikerjakan bersama-sama ini adalah baiknya keislaman seseorang. Allah subhaanahu wa ta’ala memberikan pahala yang berbeda disebabkan karena ada yang senantiasa memperbaiki keislamannya dan ada yang tidak memperhatikan masalah tersebut. Jadi, orang yang senantiasa memperbaiki kesalahannya akan mendapatkan pahala yang begitu besar.
2.    Akan memberikan manfaat di dunia dan akhirat, terutama bagi orang yang melakukan kesalahan dan ia tobat dari dosanya lalu memperbaiki keislamannya atau orang yang dahulunya kafir kemudian masuk Islam. Orang yang seperti ini akan mendapatkan balasan yang sangat besar.
Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya : “Apakah mereka akan dibalasi dari perbuatan-perbuatannya pada masa keislamannya atau masa jahiliyahnya ?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan : “Tidak lagi ketika seseorang memperbaiki keislamannya”.
Maksud dari hadits ini adalah apakah dosa-dosa pada masa jahiliyah diperhitungkan           Allah subhaanahu wa ta’ala atau tidak ketika kita sudah masuk Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Allah subhaanahu wa ta’ala  tidak memperhitungkan dosa-dosa tersebut manakala seseorang memperbaiki keislamannya. Namun ketika seseorang tidak memperbaiki keislamannya, maka akan dicatat dosa-dosanya yang telah lampau ketika dia belum masuk Islam dan setelahnya.
Ada yang mengatakan “Bukankah taubat itu menghapuskan dosa yang telah lampau ?”. Sebagaimana dalam hadits Muslim, ketika Amr bin ‘Ash mau masuk Islam beliau mengatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Aku (mau masuk Islam) tapi ingin mengajukan syarat", Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: "Apa itu?" Aku berkata: " Dosa-dosaku( yang telah lampau) diampunkan”.:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÃóãóÇ ÚóáöãúÊó Ãóäøó ÇáúÅöÓúáóÇãó íóåúÏöãõ ãóÇ ßóÇäó ÞóÈúáóåõ ¿

 “ Apakah kamu tidak tahu bahwa Islam itu menghancurkan/merobohkan apa yang telah lampau?”.
Dalam riwayat Ahmad dikatakan “…menghapuskan kesalahan-kesalahan yang telah lampau”.
Dalam hadits ini (Riwayat Muslim) seakan-akan menunjukkan bahwa taubat telah menghapuskan semua kesalahan. Namun, hadits ini harus digabungkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud (yang tersebut di atas) karena keduanya merupakan hadits yang shohih. Sehingga kita katakana bahwa jika orang bertaubat dan memperbaiki keislamannya maka akan dihapus kesalahannya yang telah lampau, jika ia tidak memperbaiki keislamannya maka dosa-dosa tersebut tetap dicatat.Wallohu a’lam
3.    Akan ditukarkan kesalahan dengan kebaikan
Jika sudah bertaubat dan memperbaiki keislamannya, maka kesalahannya yang lalu akan diganti dengan kebaikan , sebagaimana firman Allah subhaanahu wa ta’ala

 ÅöáøóÇ ãóäú ÊóÇÈó æóÁóÇãóäó æóÚóãöáó ÚóãóáðÇ ÕóÇáöÍðÇ ÝóÃõæáóÆößó íõÈóÏøöáõ Çááøóåõ ÓóíøöÆóÇÊöåöãú ÍóÓóäóÇÊò æóßóÇäó Çááøóåõ ÛóÝõæÑðÇ ÑóÍöíãðÇ

kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.( Qs. 25 : 70).
Ada khilaf ulama tentang makna ayat ini yaitu apa arti dari ditukarkannya kesalahan dengan kebaikan :
*Pendapat pertama adalah di dunia, maksudnya Allah subhaanahu wa ta’ala menukar kesalahan-kesalahan seseorang di dunia dari yang tidak baik menjadi baik, kafir kepada keimanan, maksiat dengan kebaikan. Pendapat ini dipegang oleh sebagian ulama dari kalangan salaf seperti Ibnu Abbas ,Hasan Al-Bashri, dll.
*Pendapat kedua adalah bukan saja di dunia tapi di akhirat. Artinya ketika dia bertaubat dan memperbaiki kesalahannya maka kesalahan tersebut menjadi 1 kebaikan. Sehingga jika orang banyak kesalahannya akan semakin banyak kebaikannya. Inilah yang oleh sebagian ulama tidak mau menerimanya, karena tambah banyak kesalahan berarti semakin baik karena makin bertambah kebaikan yang ada pada dirinya. Banyak ulama mendukung pendapat ini, dari kalangan tabi’in seperti Sa’id Ibnu Musayyib  Sebagian mengatakan bahwa dibedakan antara yang banyak kesalahannya dengan yang sedikit. Misalnya orang yang sedikit kesalahannya ditukarkan dengan 100.000 sementara yang banyak kesalahannya hanya 100 atau 1000 saja. Jadi hal ini bisa menjawab, artinya bukan berarti orang yang banyak kesalahannya makin banyak kebaikannya akan tetapi dibedakan penukarannya dengan yang sedikit kesalahannya.
Tapi, wallahu a’lam, dalam hadits Muslim dari Abu Dzar dikatakan bahwa 1 kesalahan diganti dengan 1 kebaikan. Jadi seimbang penukarannya, semakin banyak kesalahan akan semakin banyak kebaikannya.
Ada masalah yang akan timbul jika kita mengambil pendapat yang kedua bahwa berarti nanti di hari kiamat orang yang sudah bertaubat tidak lagi melihat kesalahan-kesalahannya di hari kiamat, padahal Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman :

æóãóäú íóÚúãóáú ãöËúÞóÇáó ÐóÑøóÉò ÔóÑøðÇ íóÑóåõ

Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.(Qs. 99 : 8)                   

 íóæúãó ÊóÌöÏõ ßõáøõ äóÝúÓò ãóÇ ÚóãöáóÊú ãöäú ÎóíúÑò ãõÍúÖóÑðÇ æóãóÇ ÚóãöáóÊú ãöäú ÓõæÁò ÊóæóÏøõ áóæú Ãóäøó ÈóíúäóåóÇ æóÈóíúäóåõ ÃóãóÏðÇ ÈóÚöíÏðÇ æóíõÍóÐøöÑõßõãõ Çááøóåõ äóÝúÓóåõ æóÇááøóåõ ÑóÁõæÝñ ÈöÇáúÚöÈóÇÏö

Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; Ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.(Qs. 3 : 30)

 æóæõÖöÚó ÇáúßöÊóÇÈõ ÝóÊóÑóì ÇáúãõÌúÑöãöíäó ãõÔúÝöÞöíäó ãöãøóÇ Ýöíåö æóíóÞõæáõæäó íóÇæóíúáóÊóäóÇ ãóÇáö åóÐóÇ ÇáúßöÊóÇÈö áóÇ íõÛóÇÏöÑõ ÕóÛöíÑóÉð æóáóÇ ßóÈöíÑóÉð ÅöáøóÇ ÃóÍúÕóÇåóÇ æóæóÌóÏõæÇ ãóÇ ÚóãöáõæÇ ÍóÇÖöÑðÇ æóáóÇ íóÙúáöãõ ÑóÈøõßó ÃóÍóÏðÇ

Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun".(Qs. 18 : 49)
         
Namun, ulama yang berpegang pada pendapat ini dan menganggap benar yaitu bahwa pertukaran terjadi di akhirat dengan dalil dari hadits bahwa Allah subhaanahu wa ta’ala akan menampakkan kesalahan-kesalahan tersebut dan setelah diperlihatkan maka dihapus kesalahan-kesalahan tersebut dengan kebaikan lalu ditampakkanlah pada setiap manusia. Jadi pada awal kali manusia melihat semua perbuatannya yang baik dan buruk, lalu setelah itu ditukarkan.

Dari kesemua hal tersebut, sangatlah wajar jika Allah subhaanahu wa ta’ala menukarkan kesalahan orang yang bertaubat dan menyesal serta memperbaiki keislamannya dengan kebaikan-kebaikan. Karena tidak mudah mengganti kejahiliyaan dengan keislaman. Orang yang pernah berbuat maksiat maka syetan selalu menggodanya untuk berbuat atau kembali kepada kejahiliyaannya. Karena orang yang sudah terbiasa, masih saja ada keinginan-keinginan jahiliyah didalam hatinya. Hal ini juga terjadi pada zaman Rasulullah sha. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar ada orang yang berbangga-bangga dengan kaumnya, beliau mengatakan itu urusan jahiliyah, pun ketika ada yang mencela warna kulit Bilal, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri ketika berda’wah tidak langsung mengubah kebiasaan-kebiasaan jahiliyah karena Beliau mengetahui bahwa sulit merubah pribadi yang jahiliyah. Sehingga beliau mengatakan :
 “Seandainya bukan karena barunya mereka dari kekufuran, maka sungguh aku telah merubah ka’bah itu,kemudian aku membangunnya sebagaimana pertama kali ketika dibangun oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, …..”.(HR.Bukhari dan Muslim)

Kesimpulan :
Apapun pendapat yang benar baik yang pertama ataupun kedua, tetap keduanya menunjukkan keutamaan orang yang memperbaiki keislamannya, dan dengan itu  ia akan mendapatkan derajat yang paling tinggi.
Cara yang paling afdhol dalam memperbaiki keislaman seseorang adalah dengan meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya. Jangan juga mengatakan yang penting Islam dengan melaksanakan kewajiban dan meninggalkan yang haram. Hal ini tidak benar, karena yang wajib masih banyak kekurangannya dan kekurangan tersebut harus ditutupi dengan sunnah-sunnah.
Atau ada yang mengatakan “Saya ingin menjadi muslim yang biasa-biasa saja”, ketika dia diajak aktif, dia tidak mau dengan dalih seperti itu. Hal ini juga tidak benar, karena kita semua adalah orang yang keislamannya biasa-biasa saja, tidak sama (bahkan sangat jauh) dengan keislamannya para sahabat, sehingga kita tidak boleh berdalih seperti ini.
Banyak orang yang meninggalkan iltizamnya terhadap da’wah dan kepusingan terhadap ummat. Mereka mengatakan yang penting telah beribadah, tidak usah pusing-pusing memikirkan ummat. Hal ini tidak benar, bahkan merupakan suatu kewajiban kita karena merupakan intima’ dan intisab kita kepada Islam. Salah satu wujud keterkaitan dengan Islam adalah memikirkan ummat ini disamping kita memperbaiki keislaman kita dengan berusaha sampai pada yang paling afdhol, walaupun sulit yang penting ada usaha. Dan yang penting bukan hanya berusaha untuk mengamalkan tapi juga meninggalkan apa yang tidak bermanfaat. Karena ada orang yang bersemangat melakukan kebaikan tapi kebaikannya dipupuskan oleh kesalahannya yang banyak. Maksudnya bahwa semangatnya melakukan kebaikan sama dengan semangat melakukan kemaksiatan. Misalnya dia rajin mengamalkan sunnah-sunnah tapi masih suka berghibah, naminah dll. Na’udzu billahi min dzalik.

TAKHRIJ HADITS
Imam Nawawi mengatakan hadits ini hasan dan diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi. Selain beliau, diriwayatkan juga oleh :
1.    Imam Ibnu Majah dengan jalan yang sama dengan Imam Tirmidzi,
2.    Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya: Shohih Ibnu Hibban,
3.    Imam Al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad,
4.    Imam Al-Baghawi dalam Syarhu As-Sunnah,
5.    Imam Abid Dunya dalam kitabnya Ash-Shamtu,
6.    dan diriwayatkan oleh banyak iman dengan riwayat atau jalan lain yaitu dari para sahabat yang lain seperti Husein bin Ali (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan beliau meriwayatkan secara mursal dari anak Husein bin Ali yaitu Zaenal Abidin, hadits Abu Hurairah).

Artikulli paraprakRamadhan Hampir Tiba, Apa Bekal Kita?
Artikulli tjetërTabligh Akbar Menyambut Ramadhan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini