Syarah Hadits Ke-11 Arbain
الحَدِيْثُ الحَادِي عَشَرَ
SYARH HADITS KE – 11
عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ الحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ سِبْطِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَيْحَانَتِهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ.
Dari Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali bin Abi Tholib – cucu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kesayangannya – berkata : Saya telah hafal (suatu sabda) dari Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu, lalu kerjakan apa yang tidak meragukan kamu.” (Diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzy dan Imam An Nasa’i dan berkata Imam At Tirmidzy: Hadits hasan shohih)
KEUTAMAAN HADITS
* Hadits ini berisi tentang pentingnya seorang muslim bersikap wara’
* Berkata Ibnu Hajar Al-Haitami rohimahullah : “ Bahwa hadits ini merupakan salah satu kaidah dari kaidah-kaidah Ad-Dien” ( yaitu yang memuat masalah-masalah pokok dalam Ad-dien )
* Hadits ini merupakan hadits yang pokok/asal dalam pembahasan masalah Wara’ yaitu perintah untuk berhati-hati dalam masalah yang belum kita yakini atau yang belum jelas hukumnya. Dan masalah Wara’ adalah masalah yang sangat penting dalam Ad Din ini dan sering digandengkan dengan Zuhud.
* Hadits ini semakna dengan hadits ke-6 dalam Arbain An-Nawawi yang berisi tentang masalah syubhat serta bagaimana sikap seorang muslim terhadap perkara-perkara yang masih syubhat.
SHAHABAT YANG MERIWAYATKAN HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh shahabat yang mulia yaitu Al-Hasan bin Ali Bin Abi Tholib. Imam Nawawi menyebutkan bahwa kuniyah Al-Hasan adalah Abu Muhammad. Artinya anak dari anak perempuan (cucu). Dalam bahasa arab, penyebutan cucu ada 2, yaitu: ÓöÈúØñ dan ÍóÝöíúÏñ. Dan beliau (Hasan) disebut ÓÈØ karena beliau adalah anak dari Putri Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Fathimah radhiyallahu ‘anha, seorang shahabiyah sekaligus putri kesayangan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun ÑíÍÇäÊå adalah kata kiasan atau kinayah yang bermakna kesayangan. Adapun makna asalnya dalam bahasa arab ia berasal dari kata ÑóÇ ÆöÍóÉ (bau) yang artinya sesuatu yang mempunyai bau yang sangat harum, dan bau yang harum tentu saja disenangi dan disukai oleh setiap orang.Gelar ini ( ÑíÍÇäÊå ) disebutkan oleh Imam Nawawi rohimahullah kepada Al-Hasan berdasarkan sebuah hadits dari Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata : Saya telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Keduanya (Hasan dan Husain) adalah kesayangan / kecintaanku di dunia ini “ (HR.Bukhori)
Jadi diantara sekian banyak yang dicintai Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhuma termasuk dua cucu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat beliau sayangi.
Hasan radhiyallahu ‘anhu dilahirkan pada pertengahan bulan Ramadhan di tahun ke -3 H. Dan beliau bukanlah saudara kembar dari Husain sebagaimana persangkaan sebagian orang, tetapi jarak kelahiran keduanya sangat dekat yaitu sekitar 11 bulan.
Keutamaan-Keutamaan Hasan radhiyallahu ‘anhu
Beliau adalah kesayangan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau digelari oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sayyid (tuan/penghulu), sebagaimana sabda Beliau yang diriwayatkan oleh shahabat Abu Bakrah Nufai’ Bin Harits radhiyallahu ‘anhu :
إنَّ ابني هذا سَيِّدٌ، وإنِّي لأرجو أنْ يُصلِحَ اللهُ به بين فِئتَيْنِ مِن أُمَّتي، ولعَلَّ اللهَ أن يُصلِحَ به بين فِئتَيْنِ مِن المُسلِمِينَ عظيمتَيْنِ
“Sesungguhnya anakku ini (cucuku) adalah penghulu dan semoga Allah menjadikan dia juru damai antara dua kelompok besar dari kaum muslimin yang bertikai “ (HR.Bukhori, Abu Dawud dan An Nasa’i)
Hadits ini beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan jauh sebelum terjadinya fitnah yang terjadi diantara shahabat pada perang Siffin dan Jamal, dan sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ini terbukti, sebab Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata berdasarkan wahyu dari Allah subhaanahu wa ta’ala. Dan benarlah bahwa Hasan radhiyallahu ‘anhu menjadi sayyid ketika mendamaikan dua kelompok dari kaum muslimin yang bertikai yaitu pasukan Iraq dan Pasukan Syam yang dipimpin oleh Muawiyah radhiyallahu ‘anhu, dan untuk mendamaikan kedua kelompok tersebut, Beliau (Hasan radhiyallahu ‘anhu) menyerahkan tugas dan kekhalifahan kepada Muawiyyah radhiyallahu ‘anhu yang sempat beliau pegang selama 6 bulan.
Hasan radhiyallahu ‘anhu termasuk salah seorang khalifah yang berada di bawah manhaj nubuwah. Bahkan sebagian ulama berkata bahwa beliau adalah Khalifah terakhir yang resmi dalam Islam, sebagaimana sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits Sa’id bin Jumhan dari Safinah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Khalifah Nubuwah (di atas manhaj nubuwah) itu selama tiga puluh tahun lamanya, kemudian setelah itu Allah akan memberikan kekuasaan-Nya (kerajaan) kepada siapa saja yang Allah kehendaki”(HR.Abu Dawud, Tirmidzi, dan dishohihkan oleh Al-Albany)
Jadi, khilafah yang resmi ( khilafah di atas manhaj nubuwwah) sebagaimana sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 30 tahun, dan ulama kita diantaranya Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah Wan-Nihayah mengatakan bahwa kalau dihitung-hitung masa kekahalifahan ini, nanti bisa cukup 30 tahun kalau dimasukkan di dalamnya masa kekhalifahan Hasan Bin Ali. Kemudian sesudah itu akan digantikan oleh raja-raja termasuk di dalamnya Mu’awiyyah . Meskipun Mu’awiyyah bukanlah termasuk khalifah, namun kita (Ahlus Sunnah) tetap meyakini bahwa beliau adalah raja pertama dalam Islam sekaligus raja yang paling mulia dan paling adil yang ada dalam sejarah Islam.
Beliau (Hasan radhiyallahu ‘anhu) memiliki rupa yang sangat mirip dengan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana perkataan beberapa shahabat diantaranya Anas radhiyallahu ‘anhu dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Setelah beberapa lama Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pernah berjalan-jalan bersama Ali radhiyallahu ‘anhu dan menjumpai Hasan radhiyallahu ‘anhu yang sedang bermain-main dengan teman-temannya, lalu Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata :”Anak ini (Hasan) sangat mirip dengan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada dengan bapaknya sendiri”, sehingga Ali radhiyallahu ‘anhu tersenyum mendengar perkataan tersebut.
Hasan dan Husain – radhiyallahu ‘anhuma – sangat dicintai oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang menunjukkan hal tersebut adalah ketika Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah Jum’at, tiba-tiba Hasan dan Husain – radhiyallahu ‘anhuma – masuk ke dalam masjid dan keduanya hampir terjatuh karena terpeleset, maka Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dari mimbar untuk menjemput kedua cucunya itu dan menggendongnya serta membawanya ke atas mimbar, lalu Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Maha Benar Allah, yang telah berfirman :“ Sesungguhnya harta-hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (ujian) bagimu“ (QS. 64 : 15)
Dan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa beliau tidak bisa menahan diri ketika melihat kedua cucunya masuk ke masjid dan hampir terjatuh, maka beliau menjemput keduanya dan memotong khutbahnya (HR. Ashabus Sunan dan Ahmad).
Kisah ini sangat terkenal yang menunjukkan bagaimana kecintaan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Hasan, dan dari kisah ini banyak terdapat faidah fiqih, diantaranya :
1. Bolehnya memotong khutbah ketika ada hajat yang mendesak untuk hal tersebut.
2. Bolehnya berbicara untuk menjelaskan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan khutbah, sebagaimana Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan sebab perbuatannya.
3. Bahwa ucapan ÕÏÞ Çááå bukanlah bid’ah, jika diucapkan terhadap sesuatu yang menunjukkan benarnya
Firman Allah subhaanahu wa ta’ala. Hal ini berlaku juga terhadap kejadian-kejadian yang disebutkan di dalam Al-Qur’an, maka tidaklah mengapa kita mengucapkan ÕÏÞ Çááå .
Tetapi Ulama mengatakan bahwa ucapan ini menjadi bid’ah jika diucapkan secara dawaam (terus menerus diucapkan) setiap selesai membaca Al-Qur’an, sebab yang demikian tidak ada dalilnya. Hal ini disebabkan bahwa untuk menetapkan suatu nash yang mutlaq kepada yang muqoyyad (mengikat) membutuhkan dalil, dan ternyata tidak ada dalil untuk hal tersebut, oleh karenanya sebagian Ulama mengatakan tidak ada sunnahnya bahkan hal tersebut adalah perkara yang dibuat-buat (bid’ah).
Jadi, ucapan ÕÏÞ Çááå bukan bid’ah secara mutlaq, namun perlu diperhatikan penempatannya. Sebagaimana jika ada kejadian-kejadian yang kita lihat pada saat ini yang pernah dikhabarkan oleh Allah dan Rosul-Nya, maka tidak mengapa kita mengucapkan ÕÏÞ Çááå atau ÕÏÞ ÑÓæá Çááå .
Beliau (Hasan radhiyallahu ‘anhu) memiliki sifat kepribadian yang sangat mulia, pemurah, dermawan, dan senantiasa bergaul dengan manusia dengan muamalah yang sangat baik dan disenangi oleh semua manusia. Salah satu sifat Beliau adalah bahwa beliau dikatakan sebagai seorang yang ãöØúáÇóÞðÇ yaitu seorang laki-laki yang sering menikah dan sering menthalaq istrinya. Bahkan dikatakan lebih dari 100 wanita yang telah dinikahinya dan dithalaqnya, namun meskipun demikian, semua orang merasa senang kalau anaknya dinikahi oleh Hasan radhiyallahu ‘anhu. Bahkan diistilahkan oleh ulama bahwa beliau telah menjaga kehormatan beberapa wanita, dalam artian menikahi wanita-wanita tersebut walaupun kemudian dithalaqnya.
Tentang hadits mengadzani bayi yang baru lahir, apakah beliau memang pernah diadzani oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika baru lahir ataukah tidak, disini terdapat ikhtilaf . Ibnul Jauzi mengatakan pernah diadzani, namun hadits tentang mengadzankan di telinga bayi tidak sepenuhnya shohih, walaupun dihasankan oleh sebagian ulama diantaranya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim – rahimahumullah – , dan sesungguhnya dari segi sanadnya, haditsnya adalah hadits yang lemah (Wallahu ta’ala A’lam)
Beliau wafat akibat diracuni dan setelah bertahan sekitar 40 hari 40 malam, beliau wafat pada 5 bulan Robiul Awwal tahun 49 H atau 50 H – ÑÖí Çááå ÊÚÇáì Úäå – . Hasan wafat di Madinah dan dikuburkan di Baqi’, tidak sama dengan saudara beliau Husein radhiyallahu ‘anhu .
Kuniyah beliau adalah Abu Muhammad, sedangkan Husein berkuniyah Abu Abdillah, adapun bapaknya Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu berkuniyah Abu Hasan, karena Hasan lebih tua dari Husein, dan Ali radhiyallahu ‘anhu juga punya kuniyah lain yaitu Abu Turab dan kuniyah ini diberikan oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya karena Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapatinya tidur di masjid dalam keadaan berdebu lalu beliau mengatakan Abu Turab (Turab = tanah).
SYARAH HADITS
“Saya telah hafal (suatu sabda) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam …”.
Perkataan beliau ini menunjukkan bagaimana perhatian para shahabat yang besar untuk menghafalkan hadits-hadits Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan inilah keutamaan para shahabat yang menghafalkan apa-apa yang mereka dengarkan dari Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mereka nukilkan kepada orang-orang yang datang sesudah mereka, karena itulah mereka telah berjasa besar terhadap ummat ini, karena lewat merekalah kita bisa mengenal syariat ini. Karenanya Abu Zur’ah Ar-Rozi ÑÍãå Çááå , ulama besar dalam bidang hadits berkata :
“Jika engkau melihat seseorang yang mencela salah seorang dari shahabat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ketahuilah bahwasanya dia itu zindiq”
Karena orang yang mencela shahabat, sebenarnya tujuan akhirnya adalah ingin mencela syariat ini, dalam artian ingin menuduh syariat ini bahwa syariat yang kita dapatkan ini adalah syariat yang tidak sempurna, syariat yang kurang atau syariat yang telah diubah. Karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan bahwa yang menukilkan syariat ini kepada kita adalah para shahabat Rosulullah , karenanya dengan mencela atau menuduh para pemikul risalah atau pembawa risalah ini berarti tujuan sebenarnya secara tidak langsung menuduh bahwa syariat ini adalah syariat yang tidak sempurna. Jadi, ketika kita menuduh para shahabat sebagai munafiq atau tidak terpercaya, berarti kita telah menuduh bahwa syariat yang datang kepada kita sudah tidak bersih lagi, syariat yang ada kekurangannya atau sudah diubah. Demikianlah yang dikatakan oleh Abu Zur’ah, bahwa orang yang mau mencela shahabat tersebut, sebenarnya mau menuduh risalah ini, padahal sebenarnya para shahabat adalah umat yang telah terpilih oleh Allah untuk menukil kepada kita ad-dien ini dan mereka telah menghafal hadits-hadits Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik sebagaimana Abu Muhammad Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu .
Dan ini sesuai dengan sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mempunyai banyak lafaz dan dari banyak shahabat juga :
“Semoga Allah subhaanahu wa ta’ala menjadikan berseri wajah seseorang yang telah mendengar perkataanku lalu memahaminya dan menghafalnya lalu menyampaikannya sebagaimana yang telah didengarkannya, karena sesungguhnya berapa banyak para penyandang hadits (mengetahui hadits) tetapi bukan seorang yang yang faqih (memahami maksud hadits) dan berapa banyak penyandang hadits menyampaikannya kepada yang lebih faqih (faham)” (HR. Ashabus Sunan. Lihat riwayat-riwayatnya di Syaraf Ashabil Hadits dan Shohih At Targib wat Tarhib).
Ini adalah doa Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang ingin menghafal hadits-hadits Rosulullah, dan Hasan radhiyallahu ‘anhu telah mendengar dan menghafal dan juga telah menyampaikan kepada kita, oleh karenanya beliau termasuk orang yang berhaq dengan doa Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini.
“Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu, lalu kerjakan apa yang tidak meragukan kamu”
ÏóÚú artinya ÇõÊúÑõß yaitu tinggalkan.
ãÇ disini adalah “ ãÇ ãóæúÕõæúáöíóÉ ” yaitu “ ãÜÇ ” yang artinya ÇáÐí (yang), dan “ ãÇ ” disini fungsinya ááúÚõãõæúãö = segala apa saja yakni tinggalkanlah segala apa saja yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu. Menurut ulama lughoh lebih fasih dibaca “ íóÑöíúÈõßó “, dan boleh juga dibaca “ íõÑöíúÈõßó ” (dhommah) namun fathah lebih fashih.
Hadits ini menunjukkan bahwa hendaknya seorang muslim ketika melakukan suatu perkara, hendaknya dia melakukan perkara yang ia yakini serta mengatakan sesuatu yang juga telah ia yakini. Adapun terhadap perkara yang ia ragu dengannya maka hendaknya ditinggalkan. Jadi hendaknya kita berjalan di muka bumi ini dan menjalankan syariat ini di atas bashirah (keterangan yang jelas dan tidak ada keraguan di dalamnya). Namun terhadap hal-hal yang masih diragukan apakah perkara tersebut disyariatkan atau tidak, maka hukum asalnya adalah ditinggalkan dan inilah yang disebut Al-Wara’, inilah yang dikatakan oleh ulama sebagai sikap kehati-hatian, dan sikap kehati-hatian ini sebagaian ulama mengatakan hukumnya sunnah (mustahab), dan sebagian yang lain mengatakan hukumnya wajib yakni hal yang harus dikerjakan oleh setiap muslim untuk menjaga dirinya, karena dikhawatirkan orang akan terjatuh kepada apa yang Allah larang tanpa dia sadari.
Kalau kita perhatikan syi’ar dari para Salaf Ash-Sholih, sejarah-sejarah dari ulama kita, maka kita akan dapatkan kehidupan mereka penuh dengan sikap wara’ ini, dan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu saja pemimpin dan sayyid (penghulu) dalam masalah ini, dimana Beliau dalam beberapa riwayat dikatakan kadang menemukan kurma di jalan dan beliau meninggalkannya karena khawatir kalau kurma tersebut adalah barang sedeqah, walaupun kita yakin bahwa kalau kita menemukan barang di jalan atau di tempat-tempat umum yang merupakan barang yang kecil atau tidak terlalu bermanfaat (dalam artian pemiliknya tidak mempersoalkanya), maka tidak mengapa mengambilnya, namun Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya karena khawatir barang sedeqah, dan Rosulullah dan ahlu bait diharamkan untuk mengambil barang sedeqah.
Dan shahabat-shahabat yang lain juga demikian, diantaranya Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau memakan sebuah makanan yang dibawa oleh budaknya dan ketika sudah makan, budaknya memberitahukan bahwa makanan itu didapatkan dari seorang yang telah diobatinya ketika ia masih jahiliyah, ketika itu ia berlagak seperti dukun walaupun ia tidak mengerti tentang perdukunan dan ketika orang itu sembuh ia diberi upah, dan upah itulah yang digunakan untuk membeli makanan yang telah dimakan oleh Beliau, setelah mendengar hal tersebut beliau langsung mengorek tenggorokannya dan memuntahkan makanan yang telah dimakannya yang menunjukkan sikap wara’(kehati-hatian) beliau terhadap hal yang syubhat (kisah ini disebutkan dalam hadits Bukhori).
Kisah lain juga disebutkan dalam hadits Bukhori, bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu ketika membagi-bagikan harta kepada Muhajirin dengan uang 4000 setiap orang, kecuali anaknya –Abdullah bin Umar- hanya diberikan 3500, lalu orang-orang pun berkata bahwa Ibnu Umar juga ikut hijrah bersama mereka, namun Umar menjawab bahwa Ibnu Umar berhijrah hanya ikut bapaknya saja, jadi beliau mengurangi bagian untuk anaknya, dan ini menunjukkan kehati-hatian beliau untuk tidak mengambil harta yang tidak halal, terutama beliau ingin membersihkan keluarganya dari barang-barang yang sifatnya syubhat.
Imam-imam yang lain juga demikian, diantaranya yang terkenal adalah Imam Ahmad Rohimahullah , dimana beliau pernah menyuruh ghulamnya/pembantunya untuk membeli mentega, lalu dibawakan kepada beliau mentega dan pembungkusnya, lalu beliau mengambil menteganya dan menyuruh mengembalikan bungkusnya, kemudian berkata bahwa yang beliau beli adalah menteganya saja tidak dengan bungkusnya, dan ini kata Ulama adalah sikap wara’ yang sangat dari Imam Ahmad ÑÍãå Çááå ÊÚÇáì .
Juga disebutkan salah seorang ulama Salaf, yaitu Yazid bin Zurai’ ÑÍãå Çááå , dimana beliau tidak mau memakan harta warisan yang diwariskan oleh bapaknya yaitu sekitar 500.000 karena dia tahu bahwa bapaknya kadang bekerja pada sulthon/raja-raja pada waktu itu, sehingga beliau khawatir kalau harta tersebut adalah harta yang tidak halal yang datang dari raja-raja tersebut.
Ini semua adalah contoh dari sikap wara’ para Ulama Salaf, dan wara’ adalah hal yang dituntut bagi setiap muslim untuk melakukannya. Namun ada hal-hal yang berhubungan dengan masalah ini yang perlu diperhatikan yaitu ada beberapa perkara yang sebenarnya bukan dikatakan wara’ ketika kita meninggalkannya atau kita ragu ketika melakukannya, yaitu seperti pada sesuatu perkara yang sudah ada dalilnya, misalnya sebagaimana yang disebutkan oleh ulama kita, umpamanya ada orang yang sholat lalu dia merasakan ada sesuatu yang lain di dalam perutnya yakni terasa seperti buang angin, maka pada saat seperti ini bukanlah sikap wara’ ketika dia meningalkan sholatnya, bahkan itu dinamakan was-was dari syaithon karena Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
“Janganlah dia berpaling (meninggalkan sholatnya) sampai dia mendengar bunyi atau mencium bau”. (H.R.Bukhori dan Muslim)
Jadi bukanlah dikatakan berhati-hati kalau dia meninggalkan sholatnya, bahkan itu merupakan was-was dari syaithon.
Contoh yang lain adalah orang yang sakit atau mengadakan safar, lalu timbul was-was untuk tidak mau berbuka, dengan alasan khawatir kalau dia berdosa atau dia tidak mau mengqoshor sholatnya dengan alasan sepertinya kurang afdhol atau tidak enak perasaan kalau hanya 2 rakaat saja, maka hal itu adalah was-was syaithon bukan termasuk sikap wara’, karena sudah jelas dalilnya tentang orang yang mengqoshor sholatnya ketika musafir, atau berbuka bagi orang yang sakit atau sedang mengadakan perjalanan/safar. Jadi hal-hal seperti ini, tidaklah disebut sikap wara’/kehati-hatian, bahkan dia adalah was-was syaithon. Jadi selama tidak ada dalilnya, maka kita memang harus berhati-hati, dan inilah sebenarnya yang dikatakan oleh ulama bahwa :
“ Sesungguhnya keluar dari perbedaan pendapat ulama adalah lebih utama “
Dimana ketika ada hukum yang diikhtilafkan oleh para ulama dan kita tidak dapat mentarjih (menguatkan) salah satu diantaranya, maka diistilahkan oleh ulama bahwa keluar dari ikhtilaf itu lebih utama, misalnya ketika ada ulama yang mengatakan bahwa hal ini mubah dan ada juga yang mengatakan makruh dan ada juga yang mengharamkannya, maka yang lebih afdhol adalah kita keluar dari ikhtilaf tersebut, yaitu kita meninggalkannya, selama kita belum yakin terhadap suatu dalil. Namun jika ada dalilnya yang shohih, maka tidak mengapa kita melakukannya walaupun ada ulama yang melarangnya, bahkan mungkin ada ulama yang mengharamkannya kalau kita cenderung kepada yang membolehkannya. Umpamanya dalam masalah sholat tahiyyatul masjid, sebagian ulama mengharamkan sholat sunnat apa-apa saja setelah sholat shubuh hingga terbitnya matahari dan setelah sholat ashar hingga terbenamnya matahari, diantaranya Imam Malik dan Imam Ahmad, dan sebagian ulama tetap mensunnahkannya, diantaranya Imam Syafi’i yang berpendapat siapa saja yang masuk ke masjid hendaknya dia sholat kapan pun waktunya. Untuk hal yang seperti ini mungkin saja ada orang yang mengambil kaidah tadi “ keluar dari ikhtilaf ulama afdhol “ yakni artinya lebih baik ditinggalkan karena khawatir kalau memang hukumnya haram, sehingga terjatuh kepada perbuatan dosa, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagia ulama. Namun sebagian yang lain berkata bahwa yang seperti ini bagi mereka yang yakin tentang disyariatkannya/disunnahkannya sholat tahiyyataul masjid maka tidak mengapa dia sholat sunnat, karena Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Jika salah seorang diatara kamu masuk masjid, maka janganlah duduk sampai sholat dua rokaat” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ini adalah larangan duduk bagi orang yang masuk masjid sebelum sholat 2 rokaat, bahkan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat ada orang yang masuk masjid dan dia duduk sebelum sholat, lalu Rosulullah menyuruhnya berdiri untuk sholat tahiyyatul masjid. Dan memang sholat tahiyyatul masjid ini diikhtilafkan apakah hukumnya sunnah muakkadah atau wajib. Sebagian ahli zhohir dan ahli hadits mewajibkannya dengan dalil-dalil yang melarang orang duduk sebelum sholat, dan dalam khutbah jum’at Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur orang yang duduk sebelum sholat tahiyyatul masjid, padahal dalam khutbah jum’at seseorang diperintahkan/diwajibkan untuk mendengarkan khutbah jum’at, tetapi Rosulullah tetap menyuruh orang tersebut untuk sholat tahiyatul masjid walaupun dia terlambat.
Jadi hal seperti ini tidaklah dikatakan orang yang tidak wara’, kalau kita melihat ada seseorang yang sholat tahiyyatul masjid pada waktu-waktu terlarang tersebut, maka tidak boleh kita menyebutnya sebagai orang yang tidak bersikap wara’, apalagi kalau orang tersebut cenderung kepada pendapat yang mensyariatkannya walaupun pada waktu-waktu terlarang. Adapun yang dikatakan berhati-hati adalah pada perkara-perkara yang masih syubhat dan dalilnya sama kuat serta kita tidak bisa memutuskan untuk cenderung kepada salah satunya, maka sebaiknya kita tinggalkan. Namun kalau kita sudah cenderung kepada salah satu pendapat maka tidak apa-apa kita melakukannya dan ini tidak dikatakan melanggar sikap wara’.
Selanjutnya, masalah wara’ ini dikhususkan atau sepantasnya dilakukan oleh orang-orang yang memang mustaqim fid dien ( orang yang memang baik diennya ), adapun orang yang tidak menjaga diennya, maka tidak pantas orang tersebut berlagak wara’, karena kadang ada orang seakan-akan begitu hati-hati terhadap sesuatu padahal hal yang lebih penting dia tinggalkan, dan ini tidak dinamakan wara’. Sebagaimana disebutkan ketika ada seseorang yang bertanya kepada Bisyr bin Harits rahimahulloh (beliau adalah Bisyr bin Al Harits Al Marwazy seorang ulama yang tsiqoh, zahid dan qudwah, wafat tahun 227 H) untuk meminta fatwa bahwa ada seorang laki-laki yang mempunyai istri lalu ibunya menyuruhnya untuk mentlhalaq istrinya apakah dia harus mentaati ibunya ataukah tidak ? lalu Bisyr bin Harits rahimahulloh menjawab bahwa kalau dia orang yang memang senantiasa taat kepada ibunya yaitu mentaati segala perintah ibunya, maka hendaknya dia menthalaq istrinya, namun kalau dia orang yang sering durhaka atau membantah ibunya lalu untuk urusan thalaq ini dia mau taat, maka dikatakan kepadanya taatilah dulu hal-hal yang memang kamu harus taati, dan untuk hal ini (thalaq) jangan dulu ditaati.
Contoh lainnya adalah ketika datang ahlul Iraq kepada Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dan bertanya tentang hukum darah nyamuk, namun Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu tidak berbangga dengan pertanyaan tersebut yang seakan-akan menunjukkan sikap wara’, bahkan beliau marah dan berkata “ Kalian, wahai ahlul Iraq telah membunuh cucu Rosulullah (Husein radhiyallahu ‘anhu ) dan menumpahkan darahnya, lalu sekarang kalian mau bertanya tentang hukum darah nyamuk ?!“. Jadi mereka berlagak wara’, padahal hal yang lebih besar mereka langgar, jadi hal yang seperti ini tidak perlu dipersoalkan karena perkara yang lebih besar mereka telah melanggarnya. Jadi demikianlah perkataan ulama kita, bahwa wara’ itu sepantasnya memang bagi orang-orang yang senantiasa istiqomah dalam artian senantiasa iltizam dengan sunnah-sunnah Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian pula keadaan kita saat ini, terkadang ada orang yang begitu hati-hatinya dengan Al-Qur’an (mushaf) yang salah dalam memuliakan Al-Qur’an, yang selalu menyimpannya di dalam lemari pada bagian teratas dan kadang kalau mau mengambilnya mesti menggunakan kain pelapis, dan mereka marah kalau melihat ada anak-anak muda yang sering membawa atau mengantongi Al-Qur’an dan mengatakannya tidak beradab terhadap Al-Qur’an, padahal mereka sendiri sholatnya tidak beres, bahkan mereka tidak pernah membaca Al-Qur’an ataupun kalau membacanya itupun pada hari Jum’at atau pada bulan Ramadhan saja, maka yang seperti ini tidak pantas dikatakan bersikap wara’. Demikian pula kadang kita dapati ada orang yang begitu hati-hatinya terhadap Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan senantiasa kelihatan sangat khusyu kalau mendengar nama Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan senantiasa bersholawat atasnya, akan tetapi mereka tidak melaksanakan sunnah-sunnah Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah jelas dalilnya, maka orang seperti ini tidak pantas untuk seakan-akan bersikap seperti orang yang wara’.
Wara’ adalah sikap yang terpuji dan setiap kita berusaha untuk bisa memilikinya, namun hendaknya kita lakukan dulu hal-hal yang sudah jelas hukumnya. Jadi wara’ adalah sikap kehati-hatian, maka jika ada hukum yang sudah jelas maka yang sudah jelas hukumnya inilah yang wajib untuk segera kita lakukan, dan yang jelas sunnahnya kita lakukan, yang jelas keharamannya kita jauhi sejauh-jauhnya, dan yang makruh juga kita tinggalkan, dan setelah itu barulah kita masuk ke yang lebih tinggi derajatnya yaitu dengan meninggalkan sesuatu yang sebenarnya tidak apa-apa untuk dilakukan untuk bersikap hati-hati /wara’.
Jadi wara’ adalah martabat yang sangat tinggi yang memang setiap kita berusaha untuk mencapainya, namun sebelumnya hendaknya kita iltizam atau komitmen dulu dengan hukum-hukum yang sudah jelas dalam syariat ini. Sebagaimana para imam-imam dari Salaful Ummah dimana mereka melaksanakan syariat ini dengan baik lalu mereka bersikap hati-hati terhadap hal yang masih syubhat. Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata : “Tidak ada yang lebih mudah dari wara’ jika kamu ragu terhadap sesuatu maka tinggalkanlah”. Imam Ath Thufi rahimahulloh mengomentari pernyataan tadi mengatakan : “Hal tersebut mudah bagi yang Allah Azza wa Jalla mudahkan baginya dan bagi kebanyakan manusia hal tersebut lebih sulit dari memindahkan gunung-gunung” – Wallohul Musta’an.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Nasa’i dan Imam Tirmidzi, dan beliau mengatakan Hasan Shohih. Adapun maksud hasan shohih adalah :
1.Imam Tirmidzi ÑÍãå Çááå mendapatkan para ulama berikhtilaf tentang derajat hadits ini, dimana ada yang menshohihkan dan ada juga yang menghasankannya, dan beliau tidak bisa mentarjihnya, sehingga beliau menggabungkannya menjadi hasan shohih.
2.Kemungkinan ada dua jalan dari periwayatan hadits ini, yaitu ada yang shohih dan ada yang hasan, lalu beliau menggabungkan menjadi hasan shohih.
Jadi inilah maksud hasan shohih menurut Imam Tirmidzi, dan beliau banyak menyebutkan hal ini (hasan shohih), adapun Imam lainnya sangat jarang menyebutkan istilah ini.
Selain Imam Tirmidzi dan Imam Nasa’i, tidak ada lagi Imam-imam dari Kutubus Sittah yang meriwayatkan hadits ini, Adapun Imam-imam yang lain yang meriwayatkan hadits ini yaitu :
1.Imam Ahmad dalam Musnadnya
2.Imam Ibnu Hibban dalam Shohihnya
3.Imam Hakim dalam Mustadrak
4.Imam Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya
5.Imam Abdur Rozzaq dalam Mushonnafnya
6.Imam Ath Thobrani dalam Al Mu’jam Al Kabir
7.Imam Al Baghowi dalam Syarhus Sunnah
8.Imam Abu Dawud Ath Thoyalisi dalam Musnadnya
9.Imam Ad Darimi dalam Sunannya.
Hadits ini adalah hadits yang sanadnya shohih dan diterima oleh para ulama.