Syahadat Muhammad Rasulullahصلى الله عليه وسلم
(Ma’na, Rukun, dan Syaratnya)
Bismillahirrahmanirrahim;
Alhamdulillahi wahdah, Was Sholatu was Salamu ‘ala man Laa Nabiyya ba’dah,
Pada tulisan sebelumnya (http://wahdah.or.id/syahadat-la-ilaha-illallah-mana-rukun-dan-syaratnya-1/ sampai http://wahdah.or.id/syahadat-la-ilaha-illallah-mana-rukun-dan-syaratnya-4-selesai) telah diuraikan makna, rukun, dan syarat syahadat La Ilaha Illallah. Tentu saja keyakinan terhadap La Ilaha Illallah tidak sempurna tanpa syahadat Muhammad Rasulullah. Karena keduanya merupakan dua kalimat yang satu paket Sebagai rukun Islam pertama. Keduanya merupakan persaksian yang tak terpisah.
Oleh karena itu syahadat La Ilaha Illallahu dan Muhammad Rasulullah dikenal dengan sebutan Syahadatain atau dua kalimat syahadat. Pengetahuan terhadap makna, rukun, dan syarat La Ilaha Illallah harus disertai pula dengan pengetahuan terhadap syahadat Muhammad Rasulullah. Tulisan ini akan menguraikan makna, rukun, dan syarat syahadat Muhammad Rasulullahصلى الله عليه وسلم.
Makna Syahadat Muhammad Rasulullah
Makna syahadat Muhamad Rasulullah adalah meyakini sepenuh hati bahwa beliau adalah hamba dan Rasul (utusan) Allah. Keyakinan tersebut dibuktikan dengan mentaati perintahnya, membenarkan kabar yang beliau sampaikan (tashdiquhu fiymaa akhbara), meninggalkan larangannya, dan tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan (mengikuti) syariatnya.
Mentaati Rasul merupakan bukti ketaatan kepada Allah. Dalam banyak ayat al-Qur’an perintah taat kepada Allah digandengkan dengan perintah taat kepada Rasul, semisal dalam surah Ali Imran ayat 32, An-Nisa ayat 59:
“Katakanlah wahai Muhammad, taatilah Allah dan Rasul”. (terj.Qs. Ali Imran:32).
Pada ayat sebelumnya (Qs.3:31), Allah Ta’ala memerintahkan kepada Nabi untuk menyampaikan bahwa, “Jika kalian mencintai Allah, maka ikuti (taati) lah aku”. (terj. Qs. Ali Imran ayat 31).
Dalam surah An-Nisa ayat 59 Allah Ta’ala memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk mentaati Allah, Rasul, dan ulil amri;
“Hai orang-orang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul dan ulil amri diantara kalian”. (terj. Qs. An-Nisa:59).
Dalam ayat lain Allah menyuruh kita untuk mengikuti apa yang didatangkan oleh Rasul, sebagaimana dalam surah Al-Hasyr ayat 7:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Dan apa yang didatangkan (diperintahkan) Rasul kepadamu, maka ambillah (taatilah), dan apa yang beliau larang maka tinggalkanlah” (QS. Al-Hasyr:7)
Adapaun tasdiquhu fiymaa akhbara mencakup pembenaran terhadap semua berita dan informasi yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, baik kabar tentang peristiwa masa lalu, informasi tentang kejadian pada yang akan datang dan hal-hal ghaib.
Kemudian tidak beribadah kepada Allah melainkan dengan mengikuti syariatnya. Sebab beliau diutus oleh Allah untuk membimbing manusia beribadah kepada Allah. Bahkan hal ini merupakan syarat diterimanya amal, dimana suatu ibadah takkan diterima oleh Allah kecuali dengan memurnikan niat hanya karena Allah dan memurnikan ittiba (ikut contoh) kepada Nabi shallalhu ‘alaihi wa sallam.
Rukun Syahadat Muhammad Rasulullah
Syahadat Muhammad Rasulullah, memiliki dua rukun, yakni;
Pertama, Al-i’tirafu birisalatihi shallallahu ‘alaihi wa sallam (mengakui [baca: mengimani] kerasulan beliau), dan kedua, I’tiqadu ‘ubudiyatahu (Meyakini, beliau adalah hamba Allah), sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya”.
Sehingga beliau tidak sepantasnya diangkat melebihi posisinya sebagai hamba dan Rasul Allah. Karena itu tidak seharusnya menisbatkan kepada beliau sifat-sifat uluhiyah, seperti meyakini bahwa beliau mengetahui perkara ghaib, memberi manfaat menolak mudharat, dan sebagainya.
Allah Ta’ala telah menyifati kehambaan (ubudiyah) beliau dalam urusan paling agung (asyraful maqamat), yaitu:Dalam inzal al-Qur’an (penurunan Al-Qur’an), sebagaimana dalam surah Al-Furqan ayat 1,
“Maha suci Allah yang menurunkan Al-Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya” (QS. Al-Furqan [25:1].
Yang dimaksud dengan hamba dalam kata ‘abdihi (hamba-Nya) dalam ayat ini adalah nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam peristiwa Isra’, sebagaimana dalam surah al-Isra’ ayat 1,
“Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada waktu malam” (QS. Al-Isra’ [17]:1).
Hamba yang dimaksud dalam kata bi ‘abdihi pada ayat tersebut adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam persoalan shalat dan do’a, sebagaimana dalam surah Al-Jin ayat 19;
وَأَنَّهُۥ لَمَّا قَامَعَبْدُ ٱللَّهِيَدْعُوهُ كَادُوا۟ يَكُونُونَ عَلَيْهِ لِبَدًا
Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadah), hampir saja jin-jin itu desak mendesak mengerumuninya. (Qs. Al-Jin:19)
Dalam urusan penjagaan dan pemberian kecukupan, sebagaimana dalam surah Az-Zumar ayat 36;
أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ
Bukankah Allah yang mencukupi hamba-Nya, . .(Terj. Qs. Az-Zumar:36).
Yang dimaksud dengan hamba dalam ayat di atas adalah Rasulullah, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syarat Syahadat Muhammad Rasulullah
Syahadat Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki enam syarat, yaitu;
(1) I’tiraf (mengenali –baca;mengimani) dan (2)meyakini risalah beliau secara bathin dalam hati, (3) Mengucapkan hal itu dan meng-i’tiraf (mengakuinya) secara lahir melalui lisan, Al-Mutaba’ah lahu (mengikuti beliau), yakni dengan mengamalkan al-haq (kebenaran) yang beliau bawa dan meninggalkan kebatilan yang beliau larang, (4) Membenarkan (tashdiq) semua kabar yang datang dari beliau berupa pekara-perkara ghaib pada masa lalu dan akan datang, (5) Mencintainya melebihi kecintaan terhadap diri, harta, anak, orang tua, dan seluruh manusia, serta (6)Mengedepankan perkataan beliau atas perkataan siapapun dan mengamalkan sunnahnya.
(Sumber:Hasyiyah ad-Durus al-Muhimmah Li ‘Ammati al-Ummah, karya Syekh Ahmad bin Shalih bin Ibrahim at-Thuwayyan, Oleh Syamsuddin Al-Munawi)