Suami Menikah Lagi, Bolehkah Meminta Cerai?

Date:

Assalamualaikum,..
Bagaimana hukum seorang istri meminta cerai karena suaminya menikah lagi tapi semua di nafkahi, Apakah si suami boleh menceraikannya???
Andi – Bone

Jawaban:
Seorang istri tidak boleh menuntut cerai kepada suami jika tidak memiliki alasan yang kuat, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاقًا فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّة
Artinya:”Siapa saja wanita yang menuntut cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan maka diharamkan bau surga atas wanita tersebut.” HR. Abu Dawud, dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.

Penulis Aunul Ma’bud syarh Sunan Abi Dawud mengatakan:
أي لغير شدة تلجئها إلى سؤال المفارقة
Artinya:“Yaitu tanpa ada kondisi mendesak memaksanya untuk meminta cerai…” (Aunul Ma’bud, 6/220).

Hadits ini merupakan peringatan dan ancaman yang sangat keras bagi seorang wanita yang menuntut perceraian tanpa sebab yang syar’i dan mendesak. Secara umum kondisi mendesak dapat diklasifikasikan menjadi dua aspek; aspek agama, dan aspek materi dan dunia.

Contoh aspek agama:
1- Sang istri tidak memiliki kebebasan untuk melaksanakan syariat, misalnya dilarang untuk berjilbab.
2- Agama sang suami sangat buruk, misalnya sering meninggalkan shalat, puasa Ramadhan dll, atau suami sering terjatuh ke dalam maksiyat seperti minum khomer, berjudi dll.

Contoh aspek materi dan dunia:
1- Sang suami tidak memberikan kebutuhan primer keluarganya padahal ia mampu.
2- Sang suami ringan tangan, suka memukul, menghina dan mengintimidasi sang istri.
3- Sang suami tidak mampu memberikan kebutuhan biologis sang istri karena cacat atau sakit dll.

Sejatinya, poligami yang dilakukan suami bukan justifikasi bagi sang istri untuk meminta cerai dari sang suami, namun pada zaman ini poligami dapat menjadi momok bagi keharmonisan rumah tangga, entah disebabkan karena sang suami melalaikan kewajibannya kepada istri-istrinya, atau disebabkan karena sang istri tidak rela untuk di poligami, sebab ingin memiliki sang suami seutuhnya. Keadaan inilah yang kemudian berbuntut pada munculnya kedhaliman pada keluarga dari pihak suami ataupun istri, sehingga berpotensi bagi masing-masing pihak untuk melalaikan kewajibannya sehingga terjadi kemaksiyatan kepada Allah dari sisi ini, jika keadaan keluarga seperti ini, maka perhatikan perkataan Ibnu Qudamah:
وجملة الأمر أن المرأة إذا كرهت زوجها لخلقه أو خلقه أو دينه أو كبره أو ضعفه أو نحو ذلك وخشيت أن لا تؤدي حق الله في طاعته جاز لها أن تخالعه بعوض تفتدي به نفسها منه.
Artinya:”intinya, bahwa seorang istri yang membenci suaminya disebabkan karena buruknya akhlaknya atau wajahnya atau agamanya atau karena usianya yang tua atau lemahnya atau alasan yang semisalnya, dan sang istri khawatir tidak bisa untuk menunaikan hak Allah dalam menaati suaminya, maka boleh baginya untuk melakukan khulu’ (gugatan cerai) kepada suaminya dengan menyerahkan biaya ganti (mahar) untuk melepaskan dirinya”. Al-Mughni 8/174.

Dalil dari pendapat ini adalah riwayat dari shahih Bukhari:
جَاءَتْ امْرَأَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلَا خُلُقٍ إِلَّا أَنِّي أَخَافُ الْكُفْرَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ فَقَالَتْ نَعَمْ فَرَدَّتْ عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا
Artinya:”Datang kepada Rasulullah istri Tsabit bin Qais untuk mengadukan suaminya, ia berkata: wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mencela agama dan akhlak Tsabit bin Qais, namun aku khawatir terjatuh dalam kufur (nikmat), maka Rasulullah bersabda: apakah engkau bersedia untuk menegembalikan kebunnya (maharnya ketika menikah), maka dia menjawab: iya wahai Rasulullah, maka wanita tersebut mengembalikan kebun suaminya, dan Rasulullah kemudian menyuruh untuk bercerai”. HR Al-Bukhari.

Hadits diatas adalah kisah seorang istri yang tidak menemukan cela dan cacat pada agama dan akhlak sang suami, namun ia tidak sanggup untuk hidup bersamanya, dan khawatir untuk bermaksiyat kepada Allah dengan tidak menunaikan hak-hak suaminya jika tetap hidup bersama, maka wanita mengadukan problemnya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan beliau memberi solusi untuk bercerai.

Mungkin itulah yang dirasakan oleh istri anda, kendati nafkah tercukupi, namun mungkin istri anda tidak rela untuk berbagi kebahagiaan dengan wanita yang lain, ia ingin “memonopoli” anda, sehingga “hawanya” ingin uring-uringan terus, sehingga muncul ucapan menuntut cerai, dan hal ini jika ditinjau dari satu sisi adalah “lumrah”.

Solusinya, gunakan jurus “wait dan see” (menunggu dan melihat), jika sikap istri anda bersinambungan seperti yang anda paparkan, bahkan sampai terjadi kedhaliman di dalam rumah tangga, baik bersumber dari anda ataupun dari istri, maka cerai bisa menjadi solusi akhir. Namun jika sikap istri anda hanya temporer, bisa diharapkan lenyap dengan kasih sayang, perhatian dan nafkah yang anda berikan, maka hendaknya anda bersabar sejenak, sampai dapat menaklukkannya, sebab menceraikan istri tanpa ada sebab yang jelas bukan sesuatu yang baik, bahkan haram hukumnya menurut salah satu pendapat madzhab Hambali.
ومكروه : وهو الطلاق من غير حاجة إليه. وقال القاضي فيه روايتان إحداهما : أنه محرم لأنه ضرر بنفسه وزجته وإعدام للمصلحة الحاصلة لهما من غير حاجة إليه فكان حراما كإتلاف المال
Artinya:Thalak makruh adalah talak tanpa kebutuhan. Dan Al-Qadhi (Abul ya’la) mengatakan: (hukumnya) ada dua riwayat, salah satu; hukumnya haram, sebab ia membahayakan dan merugikan diri sendiri dan istri, serta menghilangkan maslahat yang telah dihasilkan dari pernikahan, maka hukumnya haram seperti hukum merusak harta. Al-Mughni 8/235.

Akhirnya, kami selipkan sedikit nasehat, bahwa sebelum melakukan poligami, ada baiknya jika “berhitung” dahulu dampaknya, jika dikhawatirkan berdampak buruk bagi keluarga yang telah kita bina, maka dipikirkan kembali maslahat dan mudharat poligaminya, kendati tidak ada persyaratan ijin dari istri ketika berpoligami, namun kita dapat “berfirasat” terkait implikasi dari praktek tersebut bagi istri dan keluarga kita.
Wallahu A’lam.

Dijawab oleh Ust. Lukman Hakim, Lc, M.A
(Alumni S1 Fakultas Hadits Syarif Universitas Islam Medinah Munawwarah dan S2 Jurusan Dirasat Islamiyah Konsentrasi Hadits di King Saud University Riyadh KSA)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_img

Popular

More like this
Related

Rakyat Gaza Kembali Diserang, Wahdah Islamiyah Respon Kondisi Terkini dengan Aksi Bela Palestina

MAKASSAR, wahdah.or.id - Menjelang sepuluh hari terakhir Ramadan 1446...

Gagas Perubahan: Pemudi Wahdah Perkuat Kolaborasi Antar Komunitas di Ramadan Talk

MAKASSAR, wahdah.or.id - Sebanyak 70 pemuda perwakilan komunitas, remaja...

Perkokoh Silaturahmi, Safari Ramadan Wahdah Bulukumba Sasar 14 Masjid Binaan di Kecamatan Rilau Ale

BULUKUMBA, wahdah.or.id - Dewan Pengurus Daerah (DPD) Wahdah Islamiyah...

DPW Wahdah Islamiyah Sulteng Gelar Pengajian dan Buka Puasa, Tekankan Peran Dakwah dan Ketahanan Keluarga

PALU, wahdah.or.id - Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Wahdah Islamiyah...