Assalaamu’alaykum….!
ustadz/ustadzah, ada Seorang pemuda lajang telah meninggal dunia dalam kecelakaan. Pemuda tersebut meninggalkan sebuah rumah dan sejumlah tabungan. sang pemuda memiliki seorang ibu yang telah janda (memiliki rumah sendiri), dan saudara kandung 2 orang laki-laki dan 2 orang perempuan (masing-masing telah berkeluarga dan telah memiliki rumah)
Karena meninggal dalam kecelakaan, pihak keluarga mendapat santunan dari jasa raharja 50 juta.
Pertanyaan saya, siapakah yang berhak atas rumah dan tabungan Almarhum, dan yang lebih berhak atas santunan 50 juta tersebut.
Wassalam
asma – makassar
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Ketika seorang muslim/ah meninggal dunia, dan setelah semua kewajiban terhadap jenazah si mayyit selesai dilaksanakan, maka kewajiban si mayyit yang berhubungan dengan sesama manusia sebaiknya segara diselesaikan juga, seperti hutang, dll, baru kemudian hartanya dibagikan kepada ahli warisnya.
Dalam kasus ini, pemuda tersebut meninggalkan harta berupa:
– 1 rumah.
– Sejumlah tabungan di Bank.
– Uang tunai Rp 50 juta.
Adapun ahli waris yang ia tinggalkan ada 5 orang; seorang ibu, 2 saudara kandung, dan 2 saudari kandung. Menurut fiqih ilmu waris, mereka semua berhak mendapatkan bagian dari harta warisan yang ditinggalkan.
Untuk lebih mudah, maka harta yang ditinggalkan dihitung nilai nominalnya, kemudian dijumlahkan: Rp (Tabungan di Bank) + Rp 50 juta + Rp (taksiran harga rumah)= harta warisan.
Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
– Ibu, mendapatkan 1/6 dari semua harta yang ditinggalkan.
– Saudara/i kandung menjadi ashabah, yakni mendapatkan sisa harta setelah bagian ibu diambil. Dengan perincian seorang saudara kandung mendapat dua kali lipat dari bagian seorang saudari kandung. Sisa harta setelah bagian ibu diambil dibagikan kepada saudara/i kandung sebagai berikut:
– 1 orang saudara kandung mendapat 2/6 dari sisa harta.
– 1 orang saudari kandung mendapat 1/6 dari sisa harta.
Jika ada sebagian ahli waris ingin menyerahkan bagiannya kepada ahli waris lainnya dengan rida/sukarela, maka hal itu tidak mengapa, tetapi sebaiknya dinyatakan dengan SK resmi bermaterai, agar tidak menimbulkan perselisihan di kemudian hari.
Wallahu A’lam
Dijawab oleh Ustadz Eko Misbahuddin Hsb, Lc, M.A
(Mahasiswa S3 Fak. Tarbiyah- King Saud University, Riyadh KSA)