Sikap Muslim Terhadap Sunnah Nabi
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ï€ merupakan sumber hukum syari’at Islam yang ke dua setelah al Qur’anul Karim. Keberadaan sunnah bisa merupakan pendukung dan penguat kandungan al Qur’an. Bisa pula sebagai tafsir dan penjelasannya. Dan secara terpisah, as-Sunnah juga merupakan landasan tasyri’ (penetapan hukum) yang melahirkan berbagai hukum, serta merupakan nash (ketetapan) untuk menghalalkan ataupun untuk mengharamkan sesuatu yang tidak tercantum di dalam Al-Qur’an. Al Qur’an telah memerintahkan untuk mengambil apa saja yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi apa yang dilarang beliau? Sebagaimana firman Allah, artinya:“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”. (QS. 59:7)
Sementara itu sebagian kaum muslimin juga ada yang menyikapi sunnah Nabi dengan sikap meremeh-kan. Kalau mereka diajak untuk melaksanakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka beralasan, “Ah itu kan cuma sunnah. Padahal yang dimaksud sunnah di sini adalah hadits, perilaku dan jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam ber-Islam, yang boleh jadi itu adalah wajib diyakini dan wajib dilakukan, seperti shalat fardhu berjama’ah, berumah tangga sesuai tuntunan Islam, menjawab salam dan sebagainya. Orang seperti ini, telah salah persepsi, yakni beranggapan kalau menekuni sunnah nabi berarti mengubah hukum dari sunnah menjadi wajib. Demikian pula, jika mereka diingatkan supaya tidak melakukan perbuatan yang dibenci oleh syari’at, mereka berdalih, “Ini hanya makruh saja.”
Kepada mereka perlu ditanyakan, andaikan ada dua pilihan perbuatan, yang satu hukumnya sunnah dan yang lain adalah makruh, maka apakah masih juga memilih yang makruh daripada yang sunnah? Apakah ada shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menanyakan sesuatu, kemudian setelah tahu bahwa itu sunnah mereka meninggalkannya? Dan ketika tahu, bahwa itu adalah makruh, kemudian mereka justru mengerjakan?”
Kedudukan As Sunnah di dalam Al Qur’an
Perlu diketahui bahwa patuh dan ta‘at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah patuh dan tekun menjalankan Sunnahnya, mengamalkan. Dan patuh kepada Sunnah berarti patuh dan taat kepada Allah shubhaana wa ta’ala . Berikut ini dalil-dalilnya:
Kedudukan As Sunnah di dalam Al Qur’an
Perlu diketahui bahwa patuh dan ta‘at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah patuh dan tekun menjalankan Sunnahnya, mengamalkan. Dan patuh kepada Sunnah berarti patuh dan taat kepada Allah shubhaana wa ta’ala . Berikut ini dalil-dalilnya:
1. Perintah ta‘at kepada Allah dan kepada rasul-Nya, disebutkan secara bergandengan di dalam al-Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintahnya)” (QS. 8:20)
Dan di dalam ayat yang lain disebutkan, artinya:
“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu” (Qs.8:24)
2. Allah menegaskan, bahwa petunjuk (hida- yah) itu sangat tergantung kepada ketaatan dan ittiba’ kepada Nabi Nya.
“Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk” (QS. 7:158) Dan firman Nya,
“Katakanlah, “Ta’atlah kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk” (An Nur: 54)
3. Allah telah menetapkan rahmat Nya bagi para pengikut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menjanjikan keberuntungan dan kesuksesan di dunia dan di akhirat atasnya.
“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertaqwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami”. (QS. 7:156)
4. Sahnya iman seseorang sangat tergantung kepada kepatuhan terhadap keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,, menerima dan lapang dada atas keputusan itu.
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. 4:65)
5. Allah telah memperingatkan bahwa menyelisihi Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan sebab kehancuran dan terjerumus dalam fitnah. Sebagaimana yang telah difirmankan, Artinya:
”Maka hendaklah orang- orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. 24:63)
6. Allah telah menetapkan bahwa cinta Allah dan ampunan-Nya hanya bisa diraih dengan mengikuti Rasul -Nya:
Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.”(QS.3:31)
Demikian penjelasan dari al-Qur’an yang mengajak kita semua kaum muslimin untuk berpegang kepada sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena segala ucapan beliau yang berkaitan dengan agama bukanlah berasal dari kemauan hawa nafsunya, tetapi atas bimbingan wahyu Allah.
Penjelasan dari As Sunnah (Hadits)
o Amat banyak hadits Nabi yang memerintahkan setiap muslim untuk mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan melarang berbuat bid’ah (menyelisihi sunnah). Di antara sabda Nabi yang menegaskan hal itu adalah:
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Artinya: “Seluruh umatku akan masuk surga kecu-ali orang yang enggan.” Lalu ditanyakan, Siapakah yang enggan wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Barang siapa yang taat kepadaku, maka masuk surga, dan barang siapa yang bermaksiat kepada-ku maka dia telah enggan (masuk surga)” (HR. Al Bukhari)
o Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Artinya,
“Biarkan aku dengan apa yang telah kutinggalkan untuk kalian (terimalah ia), sesungguhnya yang telah membinasakan orang sebelum kalian adalah (disebabkan) mereka banyak bertanya dan banyak menyelisihi nabi mereka. Jika aku melarang kalian dari mengerjakan sesuatu maka jauhilah, dan jika aku memerintahkan sesuatu maka laksanakanlah sesuai kemampuan kalian.” (Muttafaq Alaih)
o Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah), “Hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ ar Rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham (perpegang eratlah terhadapnya), dan jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR Abu Dawud dan at Tirmidzi dan berkata at Tirmidzi, “Hasan Shahih”)
Sikap Shahabat Nabi terhadap As-Sunnah
o Berkata Abu Bakar as Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, “Tiada sesuatu pun yang pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali aku melakukannya dan tidak pernah aku meninggalkannya. Aku khawatir jika aku meninggalkan sedikit saja yang beliau perintahkan, maka aku akan menyimpang.”
o Berkata Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu ketika memegang hajar aswad, “Sungguh aku tahu engkau hanyalah batu yang tidak memberi madharat dan manfaat, kalau bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, maka tentu aku tidak akan menciummu.”
o Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Sederhana dalam melaksanakan sunnah, lebih baik daripada banyak dan giat di dalam melakukan bid’ah.”
o Ibnu Umar radiyallahu ‘anhuma apabila sedang meniru Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka orang yang melihatnya mengira ada sesuatu yang tidak beres padanya (seperti tidak wajar). Bahkan Nafi’, maula (klien) beliau mengatakan, “Kalau aku melihat Ibnu Umar sedang mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh aku mengatakan, ini adalah sesuatu yang gila.”
o Ibnu Abbas juga pernah berkata, “Wahai manusia, aku khawatir kalau turun hujan batu dari langit, (lantaran) aku katakan pada kalian sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu kalian menyanggah dengan mengatakan “Abu Bakar berkata begini dan Umar berkata begitu!.” Wallahu a’lam (Al Balagh Edisi 18 Muharram)
(Sumber : Kutaib, “Wama Atakumur Rasul fa Khudzuuhu,” Al-Qism al-Ilmi Darul Wathan)