Shalat Seorang Diri Di Belakang Shaf
Oleh: Rachmat Badani, Lc
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا صَلَاةَ لِرَجُلٍ فَرْدٍ خَلْفَ الصَّفِّ
“Tak ada shalat bagi orang yang mendirikannya sendirian dibelakang shaf” (HR. Ahmad nomor 16297 dan dishahihkan Al Albany dalam At-Ta’liqat Al-Hisan nomor 2199).
Usai memimpin ibadah shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat seorang sahabat melaksanakan shalat di belakang shaf seorang diri. Beliau lantas menunggunya hingga selesai dan memerintahnya untuk mengulang shalatnya dengan alasan hadits ini.
Dari sini para ulama seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnu ‘Utsaimin mengemukakan bahwa bila seseorang mendapati shaf dihadapannya masih terdapat tempat kosong lantas ia mengerjakan shalat sendirian di belakang shaf maka shalatnya tidak sah. Namun apabila ia tidak mendapati tempat kosong maka ia mengerjakannya sendiri dibelakang dan shalatnya sah.
Landasan dasar pendapat mereka diantaranya adalah kaidah bahwa suatu kewajiban selalu terikat dengan kesangggupan seorang hamba, bila ia tak sanggup maka kewajiban itu jatuh. Dalam permasalahan ini, seseorang yang tak mendapati tempat kosong di dalam shaf maka ia hendak kemana ? Jika kita mengarahkan pada pendapat lainnya yang mengatakan bahwa shalat seseorang tidak sah jika ia mengerjakannya sendiri dibelakang shaf, walaupun shaf di depannya telah penuh, sehingga dalam keadaan ini, dia boleh maju ke depan dan berdiri disamping kanan imam, atau menarik salah seorang makmum dari shaf tersebut untuk shalat bersamanya di belakang, atau menunggu jamaah lainnya yang akan masuk ke masjid untuk shalat bersamanya, maka hal ini kurang tepat karena beberapa hal:
Pertama, menarik seseorang ke belakang itu berarti kita telah menariknya dari tempat yang lebih utama. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ، ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا
“Andai manusia mengetahui keutamaan seruan adzan dan shaf pertama, kemudian mereka tidak bisa mendapatkannya kecuali dengan mengundi, niscaya mereka akan melakukan undian untuk mendapatkannya” (HR. Muslim nomor 437).
Kedua, mengganggu kekhusyukan sholat orang tersebut.
Ketiga, membuat tempat orang itu menjadi kosong, hingga mengharuskan semua orang yang berada di dalam shaf bergerak untuk menutupinya atau tetap di tempat mereka masing-masing dan membiarkan tempat itu kosong.
Adapun maju kedepan dan shalat di samping kanan imam, maka hal ini juga kurang tepat disebabkan beberapa hal:
Pertama, untuk maju ke tempat imam, ia harus melewati shaf-shaf/atau paling minimal satu shaf di depannya yang artinya akan mengganggu kekhusyukan jamaah yang sedang sholat.
Kedua, seorang yang shalat di samping imam telah menyelisihi sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa seorang imam hendaknya berada di depan para makmumnya dan bukan sejajar bersama mereka bila makmumnya lebih dari 1 orang.
Ketiga, bila kita mengarahkan kepada seorang yang tidak mendapatkan tempat di dalam shaf untuk maju ke depan dan shalat di samping imam, lalu bila datang orang kedua, ketiga dan seterusnya lalu diarahkan dengan arahan yang sama, maka akan terbentuk satu shaf baru bersama imam dan hal ini tentunya menyelisihi sunnah. Namun bila kita arahkan orang pertama untuk mengerjakan shalat di belakang shaf walaupun ia hanya seorang diri saja, maka bila ada orang lainnya yang datang maka Alhamdulillah, tapi bila tak ada orang lain yang datang maka tak mengapa sebab ia memiliki udzur syar’i.
Pendapat lainnya mengatakan bolehnya shalat di belakang shaf seorang sendiri walau tak ada udzur sekalipun, dengan landasan bahwa penafian ibadah shalat dalam hadits di atas adalah penafian terhadap sempurnanya ibadah shalat, bukan penafian sahnya ibadah shalat. Namun dari pendapat ini muncul tanda tanya besar, siapakah yang dengan rela meninggalkan kesempurnaan ibadah shalat tanpa udzur ? sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ، فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ.
“Sesungguhnya amalan seseorang yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah ibadah shalatnya, bila shalatnya baik maka ia telah beruntung dan selamat. Namun bila shalatnya buruk maka ia telah celaka dan rugi” (HR Tirmidzy nomor 413 dan dishahihkan Al Albany dalam Shahih Jami’ Shagir nomor 2020).