Aku dan Wahdah Islamiyah
(Sesudah Kesulitan itu ada Kemudahan)
Cuplikan naskah peserta lomba menulis Wahdah Islamiyah 2016
Oleh Nurhidayah
“Al-Qur;an adalah penerangan bagi seluruh manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. ( TQS. Ali Imran : 138)”
Kehidupan ini, adalah sebuah perjalanan yang membutuhkan pedoman. Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai Kitab terakhir kepada ummat manusia, melalui Nabi terakhir Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia adalah petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman yang meyakini hari akhir. Allah juga memerintahkan manusia untuk mengikuti Sunnah Rasulullah melalui hadist beliau.
Ini adalah kisah tentang perjalanan hidupku, yang sebenarnya. Jujur, aku sangat malu untuk berkisah. Namun, aku berharap, tulisan ini dapat memberikan hikmah dan pelajaran, bagi orang-orang, khususnya mereka yang terlambat hijrah dan memperdalam Ilmu Din dengan Tarbiyah karena memiliki masa lalu yang kelam. Olehnya, hanya satu nama yang kucantumkan dalam tulisan ini. Nama Murabbiyahku yang MasyaAllah, begitu menginspirasiku dan selalu memberikan nasehat bijaksana, Ummu Sumayyah yang saat ini tinggal di Kabupaten Pangkep.
Allah menjadikan kehidupan ini sebagai tempat untuk beramal yang baik, agar setiap orang dapat mengumpulkan bekal terbaik yang akan ia pertanggungjawabkan di padang Mahsyar kelak. Sebagaimana Firman Allah :
“ (Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”( TQS. Al-Mulk :2)
Kuawali kisahku dengan sepenggal cerita tentang masa kecilku yang sangat kelam. Bahkan, ia senantiasa mengganggu pikiranku sampai hari ini. Banyak orang selalu membicarakan masa kecilnya yang menyenangkan, tapi bagiku ia adalah fase yang sangat memalukan, bahkan memiriskan hatiku. Dan ketika perasaan itu muncul, kutemukan Surat Cinta Allah yang mengatakan :
“… Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (TQS. Al-Baqarah:216)
Tahun 2002, Saat ini aku masih kelas 2 SD. Aku adalah anak yang dibesarkan dalam sebuah keluarga yang sederhana. Ayah seorang petani, dan ibu mengurus keluarga. Kedua orang tuaku adalah tipe orang tua yang mengasuh anak dengan pola demokrasi. Kami dibiarkan tumbuh dengan pengawasan yang tidak terlalu ketat. Bagiku, mereka adalah karunia Allah yang begitu berharga. Semoga Allah merahmati keduanya.
Dengan latar belakang keluargaku, aku menjadi anak yang terbuka, bersemangat dan sangat senang bergaul dengan siapapun, meski ia jauh lebih tua dariku. Dari sinilah, awal kesedihanku. Di luar pengawasan orang tuaku, sebuah kenyataan pahit telah terjadi. Seorang lelaki tetangga rumah kami telah menghancurkan sesuatu yang paling berharga yang aku miliki. Ia telah mematahkan dan memetik bunga yang bukan haknya. Ia telah menodai kesucianku. Astagfirullah… Ampuni aku Ya Allah. Sungguh, aku telah terpedaya oleh tipuan dan permainan orang tersebut. Aku pernah menyalahkan takdir, bahkan orang yang melukaiku. Tetapi, ketika kubuka kalam Allah ini, aku tak ingin menyalahkan siapa pun lagi terhadap apa pun yang terjadi dalam hidupku.
“ Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri…” (TQS. An-Nisaa: 79)
Tahun 2008, “Demi Masa..”, Allah bersumpah dengannya dalam QS. Al- Asr. Begitu cepatnya waktu berlalu. Dan waktu, tidaklah bisa menjadikan apa yang telah terjadi kembali utuh seperti semula. Kutemukan diriku yang berbeda setelah peristiwa yang memilukan itu. Aku menjadi anak yang temperamen, tertutup, dan tidak bersemangat. Ini berlanjut hingga aku tamat SMP. Keluargaku, yang biasa saja dalam hal agama tidak dapat memberikan solusi atas masalahku. Apalagi, aku memang menyembunyikan semua aib itu kepada mereka. Di tengah perjuangan menghadapi ujian SMP, kubulatkan tekad untuk menjadi lebih baik dengan mendekatkan diri kepada Allah. Aku mulai shalat meskipun masih belum lengkap dalam melaksanakannya. Dan aku, mulai agak tenang.
Tahun 2010, Alhamdulillah, Allah memberikan karunia berupa kecerdasan terhadapku. Sejak awal sekolah, aku selalu mendapat posisi terbaik di kelas. Aku dimudahkan Allah melanjutkan sekolah di kota. Tepatnya, di SMA terbaik di kabupaten Takalar. Aku tinggal bersama nenek, karena jarak yang jauh dari rumah.
Di sinilah, Allah menakdirkanku bertemu dengan Hidayah melalui Tarbiyah yang diusung oleh Lembaga Muslimah Wahdah Islamiyah Takalar. Hari itu, mereka menjadi pemateri Pesantren Kilat saat bulan ramadhan di sekolah. Aku sangat terkesan dengan mereka, penampilan mereka berbeda, bahkan sangat asing bagiku. Jilbab mereka lebar, ada juga yang bercadar. Awalnya, aku takut, namun semua hilang ketika mereka menyampaikan materi dengan lembut dan bersahaja. Di akhir pertemuan, kami dibentuk ke dalam beberapa kelompok belajar Islam intensif atau Tarbiyah. Aku dipilih sebagai ketua yang nantinya aku tahu disebut naqibah dalam halaqah ( kelompok) di kelasku. Aku sangat bahagia dan bersemangat dalam menjalaninya. Banyak hal yang aku dapatkan, tentang luasnya makna Syahadat dan lainnya. Sebuah bagian yang telah lama kubutuhkan sudah kudapatkan. Tarbiyah menjadi sebuah kebutuhan bagi ruhiyahku. Ia seperti air yang membasahi hatiku yang telah lama kering, dengan Al-Qur’an dan hadist yang Shahih yang kami pelajari di sana. Semuanya berjalan dengan kemudahan dan rahmat Allah.
Perjalanan tarbiyah ini, dipenuhi dengan suka duka. Satu persatu teman-temanku mulai gugur dan tidak datang lagi. Hingga akhir SMA, yang bertahan hanya 5 orang di seluruh kelas yang ada. Alhamdulillah, aku termasuk di dalamnya.
Tahun 2013, tarbiyah kulanjutkan di bangku kuliah di sebuah Universitas yang melahirkan sosok Guru di kota Makassar. Di halaqah tarbiyahku yang baru, kami dikumpulkan dari banyak daerah. Murobbiyah kami, bernama Ummu Sumayyah.
Dalam sebuah pertemuan, seorang teman bertanya tentang kasus orang yang melakukan dosa besar lalu ia bertaubat. Apakah taubatnya diterima ? Dan apakah hukuman rajam tetap berlaku padanya ? Mendengar pertanyaan itu, tulang-tulangku seakan remuk. Aku sangat ketakutan. Kenangan di masa lalu berkelabat dalam ingatanku. Bagaimana dengan diriku?
Murabbiyahku menjawab: “ Allah itu Maha Pengampun nak, Allah akan mengampuni dosa hambanya, kecuali dosa orang yang menyembah selain Dia atau syirik. Coba kalian buka Al-Qur’an Surah An-Nisaa ayat 48 dan ayat 116”. Kami pun membaca Mushaf masing-masing. Aku berusaha mencari makna ayat tersebut, hatiku bergemuruh. “Nah, kalau pezina sudah bertaubat dengan taubat yang sebenarnya. Maka, Allah akan mengampuninya, dan hukuman itu tak harus dilakukan. Kalian bisa lihat kembali di Surah An- Nur ayat 1-5” Ujarnya melanjutkan. Lalu, ia pun menceritakan kisah seorang gadis pelacur yang diampuni Allah hanya karena memberikan seekor anjing air minum. Kurasakan ketenangan merasuki jiwaku. Tanpa terasa, air mataku jatuh, inilah jawaban yang aku cari selama ini.
Aku bersyukur dapat Tarbiyah, aku bersyukur dipertemukan dengan orang-orang di Wahdah Islamiyah. Dan, satu hal yang paling menjaga kami di lembaga ini, adalah batas dan pergaulan antar laki-laki dan perempuan yang sangat dijaga. Dulu, aku sempat bertanya-tanya mengapa setiap kegiatan, tempat duduk lawan jenis mesti dipasangi hijab yang tinggi. Dan hari ini, aku mengetahui bahwa itu semua demi menegakkan Sunnah (tidak bercampur baur) dan agar hal-hal yang mengarah kepada zina dapat terhindari. Alhamdulillah…MasyaAllah.
Ilmu itu, harus dibagikan. Kalimat Tauhid dan Agama ini harus didakwahkan kepada mereka yang belum paham dan malu untuk menjemput hidayah Allah. Dalam tarbiyah, Ummu Sumayyah senantiasa mengingatkan kami untuk menebarkan kebaikan. Beliau pernah mengatakan, bahwa kita perlu saling menasehati, agar bangsa Indonesia dapat aman dari serangan pemikiran dan ancaman orang kafir. Sebagaimana firman Allah, yang memerintahkan kita untuk waspada dan melindungi negeri kita.
“ Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir yang bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka adalah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya” ( TQS. Ali Imran: 196-197).
“ Hai orang- orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung” (TQS. Ali Imran: 200)
Di akhir tahun 2015, Allah mengujiku, Allah menguji keistiqamahanku dalam dakwah ini. Di tengah semangat yang kumiliki dalam setiap aktivitasku. Kesehatanku terganggu, satu pekan lamanya aku terbaring di rumah sakit. Iman yang kumiliki melemah dan semangat untuk tarbiyah itu pun memudar. Dua bulan lamanya, aku tidak ikut tarbiyah. Kurasakan kehampaan, seakan ada bagian yang hilang dalam diriku. Ibadahku mulai menurun, tilawahku tak rutin lagi. Dan, semangat berdakwah pun turut surut.
Di tengah turunnya keimananku, kurasakan kerinduan yang menggebu kepada majelis-majelis ilmu yang pernah kudatangi dulu. Setan dan bala tentaranya tak diam melihatku. Mereka membisikku dengan prasangka, dan takut apabila tidak diterima dengan baik oleh saudariku di sana.
“ Iblis berkata : “ Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang Ikhlas di antara mereka.” ( TQS. Al-Hijr : 39-40)
Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum ia mengubah dirinya sendiri ( firman Allah dalam Al- Qur’an Surah Al- Anfal :53 dan Ar- Rad:11). Aku berusaha memerangi berbagai macam pikiran negatif yang menghalangiku kembali dalam pelukan Ukhuwah (persaudaraan) karena Allah. Selain itu, murobbiyahku juga tak pernah berhenti menghubungiku untuk kembali ke sana.
Hari itu, tepatnya Sabtu 13 Februari 2016. Kulangkahkan kakiku memasuki tempat tarbiyah dengan perasaan tak menentu. Rasa malu dan takut memberatkan langkahku. Alhamdulillah, pikiran itu sirna ketika kudapatkan sambutan yang begitu hangat dari Murobbiyah dan teman halaqahku. Rasa bahagia, haru dan syukur membuncah mengisi relung jiwaku, ketika materi di mulai. Murobbiyahku memberikan tausiyah dengan mengutip Firman Allah :
“ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya…” (TQS. Al-Baqarah: 286)
Ahad, 14 Februari 2016. Lantunan kalam Allah dan semangat perjuangan menegakkan kalimat Tauhid menggema sampai ke sudut- sudut mesjid Raya kota Makassar. “ Sejuta Cinta Untuk Indonesia”, itulah tema Tabligh Akbar kali ini. Ribuan kader maupun simpatisan mengisi masjid untuk satu tujuan, yaitu Indonesia Islami dan yang damai tanpa konflik. Kudapati diriku di tengah riuhnya muslimah di lantai bawah. Kalimat pujian dan syukur tak berhenti dari lisan ini hingga acara berakhir. Aku tidak sendiri. Dan butiran-butiran bening itu kembali jatuh membasahi niqabku.
Dalam sebuah hadist, Rasulullah bersabda, bahwa salah satu waktu terkabulnya do’a adalah ketika bermajelis. Di antara do’a- do’a yang terpanjatkan ke langit hari itu. Keselipkan do’aku kepada Allah.
“ Ya Tuhan kami, janganlah engkau condongkan hati kami kepada kesesatan. Setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami, rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya, Engkau Maha Pemberi” (TQS. Ali Imran : 8)
“ Ya Allah, dengan Al-Qur’an, karuniakanlah kasih sayang-Mu kepada hamba. Jadikan Al-Qur’an sebagai imam, cahaya, hidayah, dan sumber rahmat bagi hamba. Istiqamahkanlah kami ya Rabb dalam dakwah ini”. Aamiin
Saya percaya dengan janji Allah, oleh karena itu tidak terlalu memiliki apa yang Allah titipkan
maha suci allah dengan segala firmannya