Pertanyaan :
Seorang suami telah menceraikan istrinya secara syar,i tapi secara administrasi negara belum. Keduanya PNS, bekas suami tetap memberikan gaji kepada bekas istrinya karena dalam daftar gaji ada tunjangan istri 10% sebab itu bekas suaminya tetap memberikan melebihi 10%. Biaya hidup dan sekolah anak-anak mereka dibiayai suami.
Bekas istri tetap menuntut dibiayai hidupnya seperti mesin cucinya, airnya, gasnya dan pakaian, namun bekas suaminya kadang memenuhi jika ada kelonggaran, lebih sering tidak karena ia juga sangat memerlukan uang.
Bekas istri minta dalil dari Al-Quran dan Hadits bahwa bekas suami tidak memiliki kewajiban menafkahi bekas istrinya.
Pertanyaan.
1. Apakah mantan suami masih berkewajiban menafkahi mantan istri?
2. Siapa yg berhak atas pengasuhan anak? Suami atau istri?
3. Mantan suami tidak rela anak-anaknya tinggal pada ibunya, karena ibunya sibuk dengan kerjaanya mulai pagi sampai hampir tengah malam, jika tidak kerja sibuk dengan kuliahnya. Tapi mantan istri memaksakan mengambil anak-anak, apakah suami masih menanggung dosa jika anak-anak terabaikan ditangan istri yg menelentarkannya? Semantara jika suami ingin ambil kadang terjadi pertengkaran. Apakah mantang suami masih berkewajiban menafkahi anak-anaknya walau sebenarnya ia tidak ridah?
Jawaban
Bismillaah… perlu diketahui bahwa untuk menyelesaikan semua permasalahan ini, solusinya adalah melakukan perceraian resmi dihadapan pengadilan, sehingga semua masalah yang dihadapi akan menjadi clear, termasuk hak asuh anak, nafkah yang harus diberikan pada anak-anaknya, dan pengeluaran tunjangan istri dari gaji suami.
Adapun yang berkaitan dengan hukum syar’i-nya adalah sbb:
Pertama: Bila seorang suami mentalak istrinya, maka hukum pemberian nafkah padanya diklasifikasi sbb:
1.Bila ketika ditalak, sang istri itu hamil, maka wajib bagi suami untuk terus memberinya nafkah (biaya kehidupan sehar-hari) hingga istrinya melahirkan. Bila istrinya telah melahirkan maka tidak wajib baginya memberinya nafkah lagi, karena masa ‘iddahnya selesai dan bukan lagi berpredikat sebagai istrinya. Sesuai ayat: “ Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin”. QS. Ath Thalaq: 6
2.Bila istri tersebut tidak hamil dan talaknya adalah talak raj’i (yang masih bisa rujuk), maka ketika masa ‘iddahnya selesai, sang suami tidak berkewajiban memberinya nafkah menurut pendapat yang benar, sesuai hadis Fathimah binti Qois dari Rasulullah, beliau bersabda tentang wanita yang ditalak ba’in;‘’Tidak ada hak tempat tinggal dan nafkah baginya.’’ (HR.Muslim 2717)
Adapun bila istri tersebut masih dalam masa ‘iddah, maka suami tetap wajib memberinya nafkah, karena saat itu masih dianggap sebagai istrinya, sampai masa ‘iddahnya selesai. Atau jika mantan istri tersebut tengah menyusui anaknya, maka ia harus memberikan upah/ imbalan kepada mantan istrinya atas jasa menyusui anaknya berdasarkan kesepakatan yang telah terlebih dahulu disetujui oleh keduanya, sebagaimana dalam QS Ath-Thalaq ayat 6: “” kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya”.
Sebab itu, apabila istri tersebut masih dalam masa ‘iddah dan talaknya talak raj’i (yang masih bisa rujuk), maka suami tersebut tetap memberinya tunjangan sepuluh persen dari gaji tersebut, namun bila masa ‘iddahnya sudah selesai, maka baik perceraian mereka sudah tercatat resmi atau belum, sang suami tidak wajib menafkahi istrinya dan tidak boleh memberikan tunjangan sepuluh persen tersebut karena ia bukan lagi istrinya, bahkan suami tersebut harus mengembalikan uang tunjangan tersebut, dan wajib mengurus surat resmi perceraiannya agar tidak lagi menerima tunjangan yang bukan haknya lagi.
Kedua: Hak pengasuhan anak.
Bila anak-anak tersebut masih kecil, maka hak pengasuhannya adalah pada sang istri, selama istri tersebut pantas untuk merawat mereka dan belum menikah lagi. Sebagaimana dalam hadis Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhu bahwa seorang wanita datang mengeluh kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam setelah ditalak suaminya, dan suaminya tersebut ingin mengambil anaknya, maka Nabi bersabda: “Engkau lebih berhak atas pemelihraannya selama engkau belum menikah lagi”. (HR Abu Daud: 2276).
Dan bila anak-anak sudah sampai umur tamyiiz (berakal) sekitar umur tujuh tahun, maka mereka diberikan pilihan, mau tinggal bersama ayah mereka atau bersama ibu mereka. Sebagaimana dalam HR Abu Daud (2244) bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam memberikan pilihan bagi seorang anak untuk memilih tinggal bersama ayahnya atau ibunya.
Namun bila istri tersebut sibuk dengan pekerjaannya, sehingga pemeliharaan anak-anaknya tidak berjalan dengan baik, atau bahkan terbengkalai, maka ayah mereka harusnya membujuk atau meminta pada mantan istrinya tersebut untuk mengambil anak-anaknya agar mendapatkan pemeliharaan dan perhatian yang lebih baik. Bila mantan istrinya tidak mau, sedangkan ia khawatir anak-anaknya akan tumbuh dalam kondisi pembinaan yang kurang baik, maka ia hendaknya menuntut hak pemeliharaannya ke pengadilan, dengan alasan ibu mereka tidak lagi pantas memelihara dan membina mereka.
Bila tidak demikian, maka keduanya (ibu dan ayah) mereka sama-sama mendapatkan dosa karena menelantarkan pembinaan anak-anaknya. Namun bila ayah mereka sudah berusaha semaksimal mungkin, akan tetapi perkaranya tetap dimenangkan oleh ibu mereka, maka ayah mereka tidak menanggung dosa apapun bila anak-anaknya tidak terbina dengan baik, akan tetapi ia tetap wajib menasehati mantan istrinya tersebut dan memperhatikan anak-anaknya dari jauh, walaupun bila sudah sampai umur tujuh tahun, mereka harus diberikan pilihan, mau tinggal sama ayah atau ibu mereka.
Ketiga: Apakah mantan suami wajib menafkahi anak-anaknya yang tinggal sama mantan istrinya??
Ya, ia tetap wajib menafkahi anak-anaknya yang tinggal dengan mantan istrinya sampai anak-anak tersebut mencapai umur dewasa atau bisa menafkahi diri sendiri, adapun anak wanita, maka ia tetap wajib menafkahinya hingga menikah. Adapun besaran nilai nafkah ini maka berdasarkan hasil kesepakatan yang dilakukan dihadapan pengadilan. Wallaahu a’lam.
Dijawab oleh Maulana La Eda, L.c
Muraja’ah Ustadz Rahmat Abdul Rahman, Lc. MA