Assalamu’alaykum, ustadz izin bertanya, bagaimana hukumnya jika seorang anak tidak ridho orangtuanya menikah lagi? Yang notabenya orangtuanya adalah janda. Apakah termasuk durhaka kepada orangtua? Terimakasih

Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.

Diantara hal yang wajib bagi seorang anak kepada orang tuanya, adalah birrul walidain. Menghormati mereka, menyayangi mereka, dan memberikan yang dukungan terbaik bagi mereka dalam hal yang bukan kemaksiatan kepada allah subhanahu wata’ala.

Sebagaimana Firman Allah subhanahu wata’ala :

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya” [QS. Al Isra: 23]

Dan berbakti kepada kedua orang tua merupakan kebaikan yang sangat besar pahalanya disisi Allah, bahkan rasulullah shallallahu alaihi wasallam menempatkannya sebelum urutan pahala jihad fi sabilillah, sebagaimana hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika bertanya kepada rasulullah shallallahu alaihi wasallam :

أيُّ العَمَلِ أحَبُّ إلى اللَّهِ؟ قالَ: الصَّلاةُ علَى وقْتِها، قالَ: ثُمَّ أيٌّ؟ قالَ: ثُمَّ برُّ الوالِدَيْنِ قالَ: ثُمَّ أيٌّ؟ قالَ: الجِهادُ في سَبيلِ اللَّهِ قالَ: حدَّثَني بهِنَّ، ولَوِ اسْتَزَدْتُهُ لَزادَنِي

“Amal apa yang paling dicintai Allah ‘Azza Wa Jalla?”. Nabi bersabda: “Shalat pada waktunya”. Ibnu Mas’ud bertanya lagi: “Lalu apa lagi?”.Nabi menjawab: “Lalu birrul walidain”. Ibnu Mas’ud bertanya lagi: “Lalu apa lagi?”. Nabi menjawab: “Jihad fi sabilillah”. Demikian yang beliau katakan, andai aku bertanya lagi, nampaknya beliau akan menambahkan lagi (HR. Bukhari dan Muslim).

Sedangkan kebalikannya, yaitu durhaka kepada orang tua termasuk dosa besar. Sebagimana sabda rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu :

أكبرُ الكبائرِ : الإشراكُ بالله ، وقتلُ النفسِ ، وعقوقُ الوالدَيْنِ ، وقولُ الزورِ . أو قال : وشهادةُ الزورِ

“Dosa-dosa besar yang paling besar adalah: syirik kepada Allah, membunuh, durhaka kepada orang tua, dan perkataan dusta atau sumpah palsu” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kemudian kita sebagai anak harus memahami bahwasanya setiap orang yang normal pasti memiliki kebutuhan biologis yang harus tersalurkan.

Bahkan dalam hal ini Umar bin Khattab radhiyallahu anhu ketika menjadi khalifah, pernah menyuruh para pasukan yang sudah lama meninggalkan keluarganya agar pulang mengambil cuti, baru bisa kembali lagi ke barisan mujahidin.

Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwasannya Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bercerita, Katika malam hari, Umar bin Khattab radhiyallahu anhu berkeliling kota. Tiba-tiba beliau mendengar ada seorang wanita kesepian bersyair,

تَطَاوَلَ هَذَا اللَّيْلُ وَاسْوَدَّ جَانِبُهُ

وَأَرَّقَنِى أَنْ لاَ حَبِيبٌ أُلاَعِبُهُ

فَوَاللَّهِ لَوْلاَ اللَّهُ إِنِّى أُرَاقِبُهُ

تَحَرَّكَ مِنْ هَذَا السَّرِيرِ جَوَانِبُهُ

“Malam yang panjang, namun ujungnnya kelam”

“Yang menyedihkan, tak ada kekasih yang bisa kupermainkan”

“Demi Allah, andai bukan karena Allah yang mengawasiku”

“Niscaya dipan-dipan ini akan bergoyang ujung-ujungnya”

Umar menyadari, bahwa wanita shahabiyah ini kesepian karena ditinggal lama suaminya pergi berjihad fi sabilillah. Akan tetapi dia masih tetap bersabar dan tetap menjaga kehormatannya. Seketika itu, Umar langsung mendatangi Hafshah  radhiyallahu anha putri beliau,  kemudian Umar radhiyallahu anhu bertanya :

كَمْ أَكْثَرُ مَا تَصْبِرُ الْمَرْأَةُ عَنْ زَوْجِهَا؟

“Berapa lama seorang wanita sanggup bersabar untuk tidak kumpul dengan suaminya?”

Jawab Hafshah,

“Enam atau empat bulan.”

Kemudian Umar berkata :

لاَ أَحْبِسُ الْجَيْشَ أَكْثَرَ مِنْ هَذَا

“Saya tidak akan menahan pasukan mujahidin lebih dari batas ini.” (HR. Baihaqi dalam Al-Kubro)

Lalu Umar memerintahkan kepada suami dari wanita shahabiyah ini untuk pulang. Dan beliau juga menetapkan setelah hari itu, bahwa pasukan kaum muslimin hanya boleh keluar berjihad selama selama maksimal 6 bulan. Perjalanan berangkat 1 bulan, di lokasi perbatasan 4 bulan, dan perjalanan pulang 1 bulan.

Ketika orang tua ingin menikah lagi, apalagi penanaya mengatakan kalau ibunya seorang janda, maka yang pertama harus kita katakan kepada diri kita adalah, bahwa orang tua kita juga manusia biasa layaknya kita, yang ketika masih hidup ada kebutuhan biologis yang harus ditunaikan.

Bahkan sebenarnya anak tidak memiliki hak untuk menghalangi orang tua (yang sudah menjanda) untuk menikah lagi.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :

أنت ومالك لأبيك

“Kamu dan semua hartamu milik ayahmu.” (H.R. Abu Daud)

Kecuali jika calon suami dari ibu kita itu adalah seseorang yang buruk akhlaknya, pemabuk misalnya, atau penjudi, atau yang lain maka tidak mengapa kita melarang menikah dengan orang tersebut, untuk kebaikan beliau.

Adapun ketika yang akan menikahi ibu penanya adalah seseorang muslim yang sholih. Maka sekali lagi kita sebagai anak tidak memiliki hak untuk menghalangi pernikahan tersebut.

Wallahu a’lam.

Oleh : Ustadz H. Yoshi Putra S.H.
(MAHASISWA UIM KSA & ALUMNI STIBA MAKASSAR)

Artikulli paraprakJangan Mengungkit Masa Lalu Seseorang
Artikulli tjetërUstadz Zaitun Hadiri Konferensi Internasional Ilmu Fiqih di Oman

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini