Sampai Bertemu di Surga, Insya Allah!

kenangan bersama ustadz ahmad said

(Mengenang Ustadz Ahmad Said Ambo Tatta Rahimahullah)

Jangan tanyakan tentang hidupku
Karena ia adalah sekumpulan rahasia
Ia adalah ujian sekaligus karunia
Ia adalah gugusan-gugusan obsesi
Aku telah menjualnya kepada Allah
Dan kini kuberjalan di atas jalan petunjukNya

Jalanku adalah al-Qur’an, pedang dan ujian
Allah memberkahinya, dan para nabi jauh lebih dulu menjalaninya
Lalu barisan para syuhada menyiraminya dengan limpahan darah
Duhai, ternyata ia adalah taman suci yang diliputi cahaya!

Tujuanku adalah apa yang diridhai dan dikehendaki oleh Ilah-ku
Raih kemenangan gemilang atau syahid dalam keabadian
Maka bila jasadku telah terbujur di tanah, sebab umur memang terbatas
Semoga itu adalah sebuah kepahlawanan di jalan hidayah
Karena jika tidak, sungguh celaka berada di dunia ini

(Adaptasi dari syair nasyid La Tas’aluni)

Ketika jiwa-jiwa para pejuang Islam diliputi lara dan duka atas tragedi kaum muslimin Rohingnya…
Ketika jiwa-jiwa para pejuang dakwah diliputi lara dan duka atas tragedi umat Islam Suriah…
Saat air mata belum lagi mengering menyaksikan darah kaum muslimin tumpah di bumi Kinanah, Mesir…
Saat hati kaum mukminin diliputi kemarahan terhadap misi-misi licik Pendeta Peter Youngren di bumi Serambi Madinah…
Selasa subuh, 20 Agustus 2013, sms-sms duka bertubi-tubi masuk: “Ustadz kita, Ahmad Said Ambo Tatta meninggal dunia…”
Innaa lillaah wa innaa ilaihi raji’un…
Air mata kembali mengalir, mengiringi kepergian seorang pejuang Islam menghadap Sang Khaliq yang menciptanya. RahimakaLlah rahmatan wasi’ah… Semoga Allah merahmatimu dengan RahmatNya yang luas…

***

Ahmad Said Ambo Tatta…
Saya mula mengenalnya saat ditakdirkan melanjutkan pendidikan ke LIPIA Jakarta pada pertengahan 1993. Harus diakui, bahwa meski merantau sejak tamat SD, tahun itu untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di ibukota Indonesia itu. Perasaan sepi…sendiri…itulah perasaan yang mengusik jiwa dan hati kala itu.
Alhamdulillah, perkenalan dengan beberapa ikhwah dari Sulawesi dapat sedikit mengusir dan mengobati rasa sepi itu. Allah mengizinkan saya berkenalan dengan Ustadz Yusran dan beberapa kawan mahasiswa LIPIA lainnya. Termasuk salah satunya dengan Ustadz Ahmad Said…
Beliau bisa dikatakan senior saya di LIPIA.
Namun pertemuan itu tidak lama. Seingat saya, kami hanya sempat bertemu 2 atau 3 kali…dan setelah itu kami berpisah. Saya ke Madinah dan Ustadz Ahmad Said masih di LIPIA dan di kemudian hari saya dengar beliau melanjutkan studi di Kairo.

Dan Subhanallah…tanda pernah diduga…kurang lebih setahun kemudian, Allah Ta’ala mempertemukan kami kembali. Ternyata setelah berada di Kairo, Allah Ta’ala memberikannya kesempatan untuk menginjakkan kaki dan melanjutkan studinya di kampus kami, Universitas Islam Madinah.
Sebuah pertemuan yang indah…di kota Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hampir setiap hari kami bertemu dan berbicara lebih dalam…
Saya tentu saja tidak melupakan ungkapan sapaan kami setiap kali bertemu: “Maga tu, Sappo?”; sebuah ungkapan khas Bugis yang berarti: “Bagaimana (kabar), wahai Sepupu(ku)?”
Yah, “Sepupu” di jalan Allah…Bahkan lebih dari itu: kami adalah saudara di jalan Allah!

Satu hal yang luar biasa dari Ustadz Ahmad Said adalah kelapangan hatinya menerima kebenaran dari manapun datangnya. Jika Anda mengetahui bagaimana latar belakang pendidikan beliau sebelumnya, pasti tahu betul tentang hal itu…
Beliau dengan mudah menerima dakwah dan manhaj al-Salaf, lalu mengubah pandangan hidupnya 180 derajat menjadi seorang da’i Salafy…seorang da’i yang teguh mendakwahkan Manhaj Ahlussunnah dan memerangi berbagai bentuk bid’ah hingga akhir hayatnya…Rahimahullah.

***

Tahun 1999, saya dengan beberapa ustadz kembali ke tanah air…
Ustadz Ahmad Said menyusul kami setahun kemudian. Kami bertemu kembali di Makassar. Bergulat bersama menjalani dakwah dengan para ustadz yang mulia dalam sebuah wadah perjuangan yang kami namai: Wahdah Islamiyah.
Tidak lama kemudian, beliau terlibat aktif dalam mengurus para da’i yang dikoordinir oleh AMCF (sebuah bagian dari Yayasan al-Birr yang berpusat di Qathar?). Namun yang luar biasa, beliau tetap aktif dan merasa bagian dari kami. Seolah-olah lisannya ingin berucap: “Jangan khawatir, hati saya tetap bersama Antum semua!”
Siang-malam, beliau mengurusi para da’i yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Beliau menjalani banyak kota tanpa peduli kecil atau besar, tanpa peduli naik kendaraan apa untuk menjangkau kota itu…Semua beliau jalani dengan keteguhan seorang mujahid fi sabiliLlah…
Bahkan tidak jarang, saat orang-orang terlelap tidur, beliau dengan sabar menerima telpon “anak-anak”nya, para da’i, yang ingin curhat atau menyampaikan keluhan mereka…
Saya pernah tersenyum saat beliau mengatakan tentang dirinya: “Saya ini Abu al-Du’at, ayahnya para da’i…” Maka sekarang saya mengatakan: “Na’am, innaka haqqan Abu al-Du’at!” Iya, engkau sungguh ayahandanya para da’i…

***

Semua perjuangan itu dengan tegar dijalaninya dengan penuh kesabaran. Meski penyakit gula yang cukup berat menggerogotinya. Pelosok negeri tetap ia sambangi. Tanpa kenal lelah.

Dan kemarin, pada hari Selasa, 20 Agustus 2013…kelelahan itu berakhir.
Engkau akhirnya beristirahat dari kepenatan dunia ini, ya Ustadzana…
Perjuanganmu akhirnya tunai dan tumpas di titik ini… setelah engkau memuaskan dirimu dalam umrah Ramadhan, beri’tikaf di Masjidil Haram, dan –yang luar biasa- berbakti kepada sang ibu dengan membawanya serta dalam perjalanan umrahmu…Perjalanan umrahmu yang terakhir…
Kini, tidak hanya putra-putrimu yang kehilanganmu…
Para du’at, anak-anakmu itu, mereka kini telah menjadi “yatim” setelah kepergianmu…
Apakah mereka, para du’at itu akan mendapatkan seorang “ayah” yang sepertimu? Entahlah…

Yang pasti, kita tidak akan pernah bertemu lagi di sini…
Tapi semoga kelak, di kehidupan abadi akhirat, kita diperkenankan bertemu di dalam Jannah-Nya…
Betapa rindunya hati ini untuk menyapamu kembali: “Maga tu, Sappo?
Semoga kelak Allah mengizinkan kita saling menyapa dengan sapaan khas Bugis itu, saat kita –aku dan kau- telah duduk di atas dipan-dipan pembaringan kita di Surga…
Amin. Amin. Amin.

Jalanku adalah al-Qur’an, pedang dan ujian
Allah memberkahinya, dan para nabi jauh lebih dulu menjalaninya
Lalu barisan para syuhada menyiraminya dengan limpahan darah
Duhai, ternyata ia adalah taman suci yang diliputi cahaya!

Makassar, 21 Agustus 2103
Muhammad Ihsan Zainuddin

sumber: www.kuliahislamonline.com