Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu
(QS Al-Hujurat:6)
Zaman sekarang terjadi keberlimpahan informasi. Hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya penggunaan piranti perangkat lunak dan perangkat keras. Jika 50 tahun yang lalu, waktu efektif berkomunikasi jarak jauh dalam rentang hitungan pekan, sekarang bahkan dalam hitungan milidetik. Kita bisa memperoleh ribuan ton informasi yang bisa diakses lintas benua melalui ujung jari. Dan keberlimpahan dan otomasi itu, sebagaimana bahasa Daniel H. Pink membuat banyak pilihan-pilihan. Otomati-sasi seperti call centre dan tele market berupa bisnis online juga banyak bermunculan.
Kita bisa memahami bahwa, satu sisi ini adalah kemudahan dan kemajuan dalam kehidupan. Akan tetapi, di satu sisi yang lain, ada hal yang juga mesti diwaspadai. Keberlimpahan dan otomasi membuat dunia sibuk. Ada kecenderungan baru yang tercipta dalam struktur sosial masyarakat. Di mana hal-hal yang instan semakin menjamur, seiring dengan itu, budaya hidup instan pun juga menyebar.
Derasnya informasi yang datang setiap hari melalui TV, Gadget, koran dan internet memang perlu untuk dicermati. Semua berita yang datang sebagaimana dalam ayat di atas (QS. Al-Hujurat: 6) menjelaskan bagaimana seorang muslim harus meneliti dan mengecek kebenaran berita yang datang kepada mereka.
Informasi layaknya makanan, ada unsur-unsur yang dibutuhkan dan diserap tubuh, ada pula unsur yang harus dibuang. Unsur-unsur yang bermanfaat itulah yang harus dikonsumsi, dicerna dan disebarkan. Sebalikanya unsur-unsur racun harus dibuang, tidak boleh disebarkan, atau bahkan harus dikritik dan diluruskan.
Berita yang keliru, sangat berbahaya jika disebar. Selain persoalan etika jurnalistik, juga terkait dengan tanggungjawab ilmiah. Apalagi, dalam hal menyampaikan informasi, manusia cenderung ‘menambah-nambah’ agar rasa dari berita itu lebih gurih untuk dikonsumsi. Padahal tidak jarang, berita yang ditambah-tambah, bisa berakibat fatal. Ustadz Abu Umar Basyier pernah menceritakan tentang berita tsunami aceh 2004. Seorang yang tinggal di dekat pusat bencana alam tersebut ternyata mendapati dinding rumah seseorang ‘retak’ akibat gempa. Ia pun menyempaikan ke keluarganya yang lain, dan berita itu pun dinukil ke orang lain, sampai berita rumah korban tersebut menjadi ‘retak-retak’. Berita tersebut menyebar, dan akhirnya dari beberapa kali penukilan, beritanya menjadi rumah korban itu ‘runtuh’.
Kita bisa melihat, akibat dari ketidak hati-hatian memilih dan menyebarkan informasi. Hal itu disinyalir oleh Nabi Shalllahu alaihi wasallam,
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ.
“Cukuplah seseorang telah berdosa jika menyampaikan seluruh yang ia dengar”
Kita bisa mengambil pelajaran dari perkataan seorang Ulama, Ibnul Mubarak, “Man katsuro kalaamuhu, katsuro kadzibuhu, wa man katsuro kadzibuhu katsurot dzunuubuhu, wa man katsurot dzunuubuhu tawallat ‘alaihin naaru”, (Orang yang banyak bicaranya akan banyak bohongnya. Orang yang banyak bohong, akan banyak dosanya. Dan orang yang banyak dosanya, akan dikuasai oleh Neraka).
Jika tanpa ada niat dalam membesar-besarkan masalah, mungkin tidak menjadi masalah. Karena persoalan miskomunikasi. Akan tetapi, jika sebuah berita justru dengan sengaja disebar untuk menyudutkan, memfitnah, atau membuat kegaduhan maka itu bisa jadi masuk ke dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam,
“Dan sesungguhnya kedustaan mengantarkan kepada perbuatan fujur dan perbuatan fujur mengantarkan kepada neraka” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Fikih Informasi
Dalam mengelola informasi pun, selain menjadi masyarakat yang sadar hukum, kita juga menjadi masyarakat yang sadar informasi. Perlu ada pengetahuan yang baik terhadap “fikih informasi”. Perlu kita mengetahui bagaimana media mengelola berita, sudut pandang media tertentu, ideologi media, begitu pula syarat-syarat media elektronik mengudara.
Kita seharusnya menjadi konsumen yang aktif, bukan pasif. Konsumen berita yang aktif adalah, konsumen yang tidak serta merta menerima sekaligus, semua berita yang datang kepadanya. Ada upaya cek dan ricek (tabayyun). Serta punya sudut pandang yang kuat dalam menilai berita-berita di media elektronik. Karena diantara kesalahan yang umum disebarkan, dan seakan sudah menjadi “memori kolektif” kita, adalah bahwa media tidak membawa kepentingan. Padahal, jika tanpa kepentingan, media apa pun tidak akan mampu bertahan. Setiap media punya sudut pandang, ritme, dan linguistic sense (rasa bahasa) bahkan ideologi terhadap berita yang sama. Kita sudah bisa berkaca, ketika Pemilu Presiden tahun lalu, dua media mainstream menyajikan hasil polling yang berbeda.
Selain itu, kita juga harus paham, bahwa frekuensi siaran media elektronik adalah milik rakyat. Dan seharusnya digunakan untuk kepentingan mereka. Media yang dikenal juga dengan istilah ‘pers’ Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999, fungsi pers adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.
Sebagai pelaku Media Informasi, Pers itu memberi dan menyediakan informasi tentang peristiwa yang terjadi kepada masyarakat. Dengan Fungsi Pendidikan, menjadi sarana sarana pendidikan massa (Mass Education) sehingga masyarakat bertambah pengetahuan dan wawasannya. Dengan Fungsi Hiburan, Pers juga memuat hal-hal yang bersifat hiburan untuk mengimbangi berita-berita berat (hard news). Dan dengan Fungsi Kontrol Sosial, Pers melakukan upaya, Social participation (keikutsertaan rakyat dalam pemerintahan), Social responsibility (pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat), Social support (dukungan rakyat terhadap pemerintah), dan Social control (kontrol masyarakat terhadap tindakan-tindakan pemerintah) (id.wikipedia.org/wiki/Media_massa).
Kesemua ini penting untuk diketahui, sehingga sebagai konsumen informasi, tidak hanya mencerna informasi, tetapi juga memilah dan memilih, mana yang patut dipercaya dan disebar. Dalam mengonsumsi informasi TV pun, kita seharusnya tidak hanya menjadi “penonton TV” tetapi juga “pembaca TV”. Maksudnya, ada tanggapan yang kita lakukan terhadap berita dengan analisa dan pembacaan.
Selain itu, kita juga mesti tahu, bahwa informasi yang beredar tidaklah bebas nilai. Karena semua informasi dalam sajian berita, analisis, atau apa pun disebar melalui media massa yang sudah melalui proses pemilihan, penyuntingan, dan lay-out, serta tersaji dalam sudut pandang yang sarat dalam kepentingan nilai penulis, pihak manajemen media, atau bahkan pemegang saham media tersebut.
Sikap Ilmiah
Nabi Shallallahu alaihi wasallam dalam mengelola berita mengisyaratkan sikap ilmiah. Bahwa seseorang dilarang untuk menceritakan semua apa yang ia dengar tanpa terlebih dahulu memahami isinya dan yakin akan kebenarannya. Karena itu, agar sebuah berita tidak menjadi fitnah bagi kaum muslimin, Peneliti INSIST, Kholil Hasib menyebutkan setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan jika kita sebagai penyebar berita.
Pertama, Merujuk berita kepada yang ahli, jika tidak memahami. Kedua, Memikirkan isi beritanya, artinya dari segi baik buruknya. Ketiga, Jika informasinya sudah dipastikan keberannya, maka hendaknya dipikirkan efek dari disebarkannya berita tersebut.
Adapun jika kita menjadi objek (penerima berita), maka perlu diperhatikan berdasarkan kaidah ahlul ilmi. Diantaranya, Jika berkaitan dengan pribadi seorang muslim, maka sikap yang dikedepankan adalah Huznuddzan, sebelum datang bukti yang sebaliknya. Jika terdapat bukti yang buruk, maka hendaknya diverifikasi dan dicek keabsahan bukti-buktinya. Dan jika beritanya, diluar batas kemampuan kita memahami, maka hendaknya diserahkan kepada ahli ilmu di bidangnya (Republika, Kamis 16 April 2015).
Demikianlah penjelasan ringkas tentang ‘fikih informasi’. Semoga bermanfaat. Apalagi di zaman keberlimpahan informasi sekarang, yang sangat mudah kita memperoleh informasi. Dan berita-berita juga sangat mudah menjadi ‘sampah’ yang tidak kita butuhkan. Keberlimpahan informasi itu, jika diibaratkan makanan, maka ada makanan yang boleh dan ada pula yang tidak boleh kita konsumsi. Ada yang halal dan bahkan ada yang haram. Kesemuanya kembali kepada konsumen. Ada yang menjadi zat yang bermanfaat untuk kesehatan dan pertumbuhan, ada juga racun yang mengadung virus dan bakteri penyakit. Seperti itu pula informasi. Ada yang sangat kita butuhkan, dan membantu kita dalam bersikap. Ada pula yang tidak perlu dan tidak penting untuk kita konsumsi.
Disitulah yang Penulis ingin sampaikan. Bahwa keberlimpahan informasi yang mengalir melalui TV, Gadget (Social Media), dan media massa lainnya, mudah-mudahan bisa kita manfaatkan sebaik-baiknya. Bisa menambah iman kita, mengokohkan aqidah dan mengingatkan kita tentang kebaikan-kebaikan akhirat, selain membantu kita dalam urusan-urusan dunia. Berita yang kita konsumsi, jangan sampai adalah “sampah informasi”, yang tidak menambah ilmu, justru membuat pikiran menjadi keliru, sakit dan bahkan membawa lari iman kita. Wallohu a’lam bi ash-Showaab.
Oleh Syamsuar Hamka (Mahasiswan Prodi Pendidikan Islam UIKA Bogor, dan Peserta Kaderisasi 1000 Ulama DDII-BAZNAS 2014)