Al- Ghumaisha binti Milhan nama wanita itu. Kita lebih sering memanggilnya Ummu Sulaim. Ia yang dinikahi Abu Thalha al-Anshari dengan mahar keislaman calon suaminya. Kisah agung pernikahan suci mereka berlanjut hingga saat mereka sudah dikaruniai putra. Para penulis hadits mengabadikan kisah sakitnya putra semata mayang dari kedua pasangan mulia ini. Kisah ini memberikan hikmah yang dalam dan pelajaran yang tinggi bagi siapapun yang mencari teladan.
Suatu hari, putra Abu Thalhah dan Ummu Sulaim sakit keras. Semakin hari semakin para saja tampaknya, sedangkan Abu Thalhah harus tetap menjalankan usaha perniagaannya. Ia berangkat dengan hati berat. Tetapi istri tercinta menguatkannya agar menyerahkan semuanya kepada Allah. Dan ternyata, Allah berkehendak mengambil kembali anak kecil itu dari kehidupan Abu Thalhah dan Ummu Sulaim ketika sang ayah tak ada di rumah. Ummu Sulaim berkata kepada keluarganya, “Janganlah kalian memberitahukan kepada Abu Thalhah akan kematian putra kesayangannya. Biar aku sendiri yang akan menyampaikannya.” Jasad sang putra pun ditempatkan di ruangan tertutup.
Kemudian Ummu Sulaim mengenakan busananya yang paling bagus. Dia merias dirinya secantik mungkin dan memasak makanan istimewa kesukaan Abu Thalhah. Ketika pulang. Abu Thalhah segera menanyakan bagaimana keadaan sang putra yang ditinggalkan dalam kondisi sakit.
Ummu Sulaim menjawab, “Dia sekarang jauh lebih tenang daripada sebelumnya.” Jawaban ini sangat melegakan Abu Thalhah, padahal tentu yang dimaksud Ummu Sulaim ‘lebih tenang daripada sebelumnya’ berbeda dari pemahaman Abu Thalhah. Karena merasa tenang, maka Abu Thalhah menyantap makanan yang telah dihidangkan oleh istrinya. Setelah itu sang istri memperlakukannya dengan sangat mesra layaknya pengantin baru. Lalu ‘sedekah’ pun selesai ditunaikan Abu Thalhah, hingga ia merasa tenang dan tenteram. Luar biasa wanita ini. Ia pun sebenarnya dirundung duka begitu dalam, tapi ia ingin agar beban kesedihan dan nestapa yang akan segera didengar suaminya agak terkurangi dengan sambutannya malam ini.
“Wahai Abu Thalhah,” kata Ummu Sulaim kemudian, “bagaimana pendapatmu, sekiranya ada seseorang yang menitipkan sesuatu kepada orang lain untuk suatu masa tertentu. Kemudian ketika si pemilik itu hendak mengambil barangnya kembali, patutkah jika orang yang dititipi itu keberatan?” “sebenarnya tidak boleh begitu,” kata Abu Thalhah, “ia wajib untuk segera mengembalikan barang itu kepada pemiliknya dengan penuh keikhlasan. Bukankah barang itu memang bukan miliknya?” Ummu Sulaim kemudian mengatakan “Kalau begitu, ketahuilah bahwa putra kita adalah milik Allah yang dititipkan kepada kita. Ikhlaskan putramu, karena kini Sang Pemilik telah mengambil barang titipannya.”
Abu Thalhah marah dan dongkol sekali. Bagaimana bisa tadi dia makan dengan sangat lahap kemudian bermesraan bagaikan pengantin baru padahal putra terkasihnya terbujur kaku di kamar sebelah. “mengapa baru sekarang kau katakan? Mengapa sejak tadi kau diam saja? Sampai-sampai keadaan kita berdua sudah seperti ini.” Paginya dengan menahan kesedihan, keharuan, dan kejengkelan pada isterinya, Abu Thalhah pergi menemui Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Dia laporkan apa yang telah dilakukan Ummu Sulaim kepadanya. Sungguh agung, Rasul mulia itu justru bersabda, “Bermalam pengantinkah kalian berdua semalam? Mudah-mudahan Allah memberikan barakah-Nya untuk kalian berdua pada malam yang telah kalian lalui bersama.”
Benarlah yang beliau sabdakan. Tak lama kemudian Ummu Sulaim mengandung dan ketika lahir, sang bayi ini diberi nama Abdullah. Perawi hadits ini berkomentar, “Aku telah mendapatkan informasi bahwa Abdullah bin Abu Thalhah ini memiliki sembilan orang putra yang kesemuanya adalah Qari’ penghafal AL-Qur’an. Inilah barakah malam itu. Inilah yang dilahirkan oleh seorang wanita mukminah lahi sholihah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)
Maha Benar Allah, dan terpercayalah al-Amin, Rasul-Nya. Musibah tetaplah musibah. Sesendok garam tetaplah sesendok garam. Yang berbeda adalah ke mana ia dilarutkan. Jika sesendok garam masuk ke segelas air, tentu asin-mendekati pahit-rasa yang ada. Tetapi jika ia melarut diri ke dalam telaga, apa yang bisa dirubahnya? Tidak ada. Ya, musibah tetaplah musibah. Yang berbeda adalah seberapa besar luasan hati dan kelapangan dada kita. Jika hatiku sekecil dan serapuh gelas kaca, musibah-musibah kecil terasa menjerih-jerih. Jika hatimu seluas samudera teduh, badai sebesar apakah yang mampu mengaduknya?
Kita, suami istri… Tak kita minta pun, bahtera akan diguncang badai. Tapi badai itu akan menguatkan cinta kita, jika kita menatap ke arah yang sama, saling menempel pipi, dan mengeratkan genggaman. Badai itu datang. Dan ia pecah berkeping-keping menghantam karang yang tegak membaja. Dan bahkan ia tak mampu mencerabut rumput yang lemah lembut. Karena ada tali yang menghubungkan kita, dengan keperkasaan Dzat yang Mahatinggi. Inilah barakah di saat musibah. Ia tumbuh dari iman, ia muncul dari takwa.
Lihatlah bagaimana ketegaran Ummu Sulaim dan kecerdasannya menyikapi kondisi. Luar biasa! Ia tak panik, meratap, dan pilu mendapati kematian putra kesayangan. Ia justru berusaha menjadi orang yang paling tenang dan menenangkan, orang yang paling kuat dan menguatkan, orang yang paling tegar dan meneguhkan.
Bayangkan jika kita sedang lelah-lelahnya pulang dari bepergian, lalu di depan kita ada wanita menangis tanpa kita tahu sebabnya. Bayangkan di tengah penat yang serasa memutus aurat, bukan pijatan lembut tapi berita duka yang didapat. Bayangkan jika setelah perjalanan yang membuat kita merindukan canda anak-anak, justru tubuh terbujur kaku yang kita saksikan.
Ummu Sulaim radiallahu ‘anhaa, betapa mulia pribadi ini. Ia tidak berkata apa pun apalagi menangis meraung di depan suaminya yang sedang sangat lelah, dipenuhi kekhawatiran dan gelisah. Ia justru hidangkan yang terbaik, berdandan dengan cantik, serta memberikan waktu dan dirinya agar sang suami kenyang, tenang, puas, dan rileks. Dalam kondisi emosi suami yang paling stabil, baru ia sampaikan berita itu dengan bahasa yang sangat empatik. Perumpamaan yang sungguh membuat sang suami tak bisa berkata apa-apa.
“Ikhlaskanlah putramu, karena kini Sang Pemilik telah mengambil barang titipan-Nya”. Dengarkan ini; Sang Pemilik telah mengambil barang titipan-Nya, MasyaAllah.
Oleh: Dian Rahmana Putri