Sahabat… Kita Semua Mencari Kebahagiaan Bukan ?!
Ada suatu kisah yang terjadi di Inggris, sebuah negeri yang penuh dengan kemajuan peradaban, dan teknologi. Suatu saat polisi memasuki sebuah rumah milik seorang insinyur besar dan populer di negeri itu, namun ternyata mereka mendapatkannya telah meregang nyawa. Setelah mengusut dan melakukan investigasi terhadap kasus ini, polisi mendapatkan dalam rumahnya sepucuk surat wasiat dari insinyur tersebut yang menyebutkan bahwa ia mati dengan cara bunuh diri, bukan dibunuh orang lain. Seketika mereka yang membaca surat tersebut tertegun, karena sulit untuk dipercaya bila seorang yang memiliki kekayaan berlimpah dan kedudukan yang tinggi seperti sang insinyur ini akan mati bunuh diri, namun jawaban keheranan mereka dijawab sendiri oleh sang insinyur lewat surat wasiatnya tersebut yang berbunyi: “Saya telah lama merenungi nasib diriku, aku bergumam: kenapa aku belajar dan memiliki prestasi luar biasa ?, Namun jawaban yang selalu saya dapatkan dari hatiku adalah: Agar aku bisa memperoleh profesi dan pangkat tinggi, harta yang banyak dan popularitas yang besar. Lalu aku berpikir lagi dan bergumam pada diriku: Kenapa aku sangat antusias untuk memperoleh harta, pangkat dan ketenaran ?, Namun jawaban yang aku dapatkan: Agar aku bisa hidup semauku. Lalu aku berpikir lagi: Kenapa dan untuk apa aku hidup ?, Setelah lama berpikir dan merenung aku tidak mendapatkan jawaban apapun kecuali satu yaitu; aku hidup agar nanti menemui kematian, sebab itu aku pun memutuskan untuk mempersingkat hidupku dan mati sejak sekarang saja.”
Onasis, seorang puteri miliarder asal Yunani yang sangat poluler, ia telah mewarisi dari ayahnya miliaran dolar, selama hidupnya ia berusaha mencari kebahagiaan, sehingga ia pun melakukan semua usaha yang bisa dilakukan oleh seorang wanita. Ia menghabiskan hidupnya dengan melakukan wisata, membangun istana-istana megah, membeli mobil-mobil paling keren, mentenarkan dirinya lewat berbagai media, hingga melakukan berbagai dosa dan kemungkaran. Namun diakhir hidupnya, ia terus terang bahwa ia tidak pernah mendapatkan kebahagiaan yang ia cari, lalu iapun bunuh diri.
Kalian juga pasti mengenal seorang Dale Harbison Carnegie, seorang ilmuwan psikologi dan motivator ulung asal Amerika Serikat pada zamannya, ia memiliki nama besar, harta yang banyak dan karya tulis yang tidak sedikit, diantaranya: “How to Stop worrying and Start Living”. Namun ternyata ia memiliki akhir hidup yang mengenaskan, ia didapati telah meregang nyawa karena bunuh diri setelah hidup bergelimang dalam ketenaran dan berlimpahnya harta dan materi.
Sungguh suatu hal yang aneh, kenapa mereka dan selain mereka yang bergelimang harta dan pangkat kedudukan melakukan aksi bunuh diri ? Bukankah mereka telah meraih berbagai kenikmatan dunia berupa harta yang berlimpah, pangkat dan popularitas yang besar, dan istana-istana yang megah ?!
Jawabannya adalah: Tentu, mereka telah meraih berbagai kenikmatan dunia tersebut namun mereka sama sekali tidak mendapatkan anugrah terbesar yang mereka cari yaitu kebahagiaan. Apabila Anda bertanya kepada setiap orang, dan bertanya kepada dirimu sendiri: Apa yang engkau inginkan dalam kehidupan ini ? Apa cita-cita terbesar yang engkau kejar ?, Niscaya Anda akan mendapatkan jawaban yang berbeda-beda dari setiap orang, ada yang akan menyebut harta, pangkat kedudukan, profesi, pernikahan, kesejahteraan, dll, namun semua jawaban itu berkisar pada satu perkara abstrak yaitu realisasi kebahagiaan. Jadi, harta, pernikahan, dan pangkat; semuanya hanyalah sarana yang disangka oleh setiap orang bahwa ia bisa mewujudkan suatu kebahagiaan manusia dalam kehidupan dunia ini, sebab itu semua mereka juga sepakat bahwa semua itu tidak memiliki arti dan kebaikan sama sekali bila hanya menjadi faktor adanya kesengsaraan.
Kesimpulannya; cita-cita yang dikejar oleh setiap manusia adalah kebahagiaan, namun pertanyaannya; Apakah jalan kebahagiaan itu hanya ada pada harta, pernikahan, pangkat, dan perkara keduniaan lainnya ?? Kisah-kisah yang disebutkan diatas malah membuktikan bahwa jalan kebahagiaan itu bukanlah terletak dalam perkara keduniaan tersebut, sebab sebaliknya ketika kita membaca biografi orang-orang yang tidak memiliki kekayaan harta, atau ketenaran yang besar, kita dapati mereka berada dalam kebahagiaan yang hakiki, sampai-sampai diantara mereka ada yang berkata: “Kami hidup dalam kebahagiaan, seandainya para raja dan anak-anak mereka mengetahui kadar kebahagiaan kami niscaya mereka akan merebutnya dari kami dengan menggunakan kekerasan pedang.” Bahkan kita juga dapati orang-orang yang hidup dalam kemiskinan, hanya memiliki makanan dan pakaian yang pas-pasan, atau bahkan serba kekurangan namun mereka hidup bahagia dan mati dalam keadaan terpuji.
Sesungguhnya perbedaan inti antara golongan pertama dan golongan kedua ini adalah perasaan yang ada dalam hati, golongan pertama hati mereka kosong dari keimanan, sedangkan yang kedua hati mereka penuh dengan keimanan, sehingga golongan pertama pun tidak mendapatkan bahagia, berbeda dengan golongan kedua yang meraihnya. Oleh karena itu, rahasia kebahagiaan hakiki hanyalah berada dalam hati, dan hati manusia tidak ada yang bisa menguasainya kecuali Allah subahanahu wata’ala. Atau dengan kata lain: Kebahagiaan itu adalah anugrah rabbani dan nikmat ilahi, Allah mengaruniakannya kepada orang yang mengetahui dan meniti jalan kebahagiaan itu terlepas dari kondisi materi dan keadaannya, dan Dia tidak memberikannya kepada orang yang tidak meniti jalan kebahagiaan itu meskipun ia adalah seorang yang paling kaya, terkuat, atau paling tinggi pangkatnya. Orang yang berakal adalah yang meminta kebahagiaan langsung dari Pemberi kebahagiaan itu sendiri yaitu Allah, lewat jalan yang digariskan oleh-Nya kepada manusia, adapun orang yang sengsara adalah yang mencari kebahagiaan itu dengan tidak melewati jalan tersebut.
Allah telah menggariskan kepada kita jalan kebahagiaan, dan menjelaskan pula jalan kesengsaraan, dan seorang hamba dibiarkan untuk memilih jalan apa yang ia inginkan sebagaimana dalam firman-Nya:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS An-Nahl: 97)
Dalam ayat ini Allah menyebutkan dua syarat tercapainya hidup bahagia yaitu; iman dan amal shalih. Allah juga mengisyaratkan bahwa dua syarat ini tidak hanya bisa dicapai oleh laki-laki saja, namun juga mencakup kaum wanita. Ayat ini juga merupakan diantara sedikit ayat yang menyandingkan penyebutan lafaz laki-laki dan wanita.
Dalam ayat ini juga terdapat penjelasan tentang hasil yang pasti terjadi yaitu “maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik“, penegasan ini bersumber dari Dzat yang menguasai hati dan kuasa untuk melakukan segala sesuatu. Adapun golongan lain yang tidak mendapatkan kebahagiaan, maka disebut Allah dalam firman-Nya:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Artinya: “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya penghidupan yang sempit (di dunia) dan Kami akan kumpulkan dia di hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaaha: 124)
Jadi, ketentuan rabbani dalam ayat ini adalah bahwasanya orang yang berpaling dari peringatan dan ayat-ayat Allah ta’ala, akan diberikan kehidupan, namun hanyalah berupa kehidupan yang sempit yaitu tanpa merasakan ketenangan, bahagia dan kenyamanan, ia akan terus hidup dengan kondisi seperti ini hingga ajal datang menjemputnya.
( Disadur dari Terjemahan Buku: I Am Islam )