SAHABAT, AHLUL BAIT DAN IMAMAH

Tanggapan Balik Atas Tulisan Ismail Amin; Imamah dan Ahlul Bait

Oleh: Rahmat A. Rahman

Ketua MUI Kota Makassar dan Sekretaris Forum IJABISAH

 

Jika anda bertanya tentang siapakah yang paling mengetahui tentang agama ? tentu jawabannya adalah Rasulullah saw. sebab selain menerima al-Qur’an beliau juga dituntun mengaplikasikan wahyu tersebut dalam kehidupan nyata.

Dan jika anda bertanya lagi siapakah yang paling memahami praktek Rasulullah saw. dalam beragama ? maka jawabannya adalah mereka yang paling dekat dengan beliau dalam kehidupan sehari-hari dan yang dimaksud tentulah para sahabat beliau saw. apalagi jika kita secara penuh memahami bahwa para pendamping hidup Rasululah saw. tersebut adalah ketetapan dan pilihan Allah swt. yang tentu bukan tanpa alasan. Olehnya itulah kita mendapatkan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah betapa banyak pujian Allah swt. dan Rasulullah saw. terhadap perilaku kehidupan para sahabat, sebutlah sebutlah sebagai contoh bersama ayat-ayat yang telah kami angkat dahulu yaitu Qs. at-Taubah:100 dan al-Fath:18, Qs. al-Hasyr:8-9

“(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”

Bahkan secara khusus Rasulullah saw. menetapkan generasi beliau dan para sahabat sebagai generasi terbaik dari seluruh umat manusia sebagaimana yang diriwayatkan secara shahih dari Abdullah ibn Mas’ud ra. oleh Imam al-Bukhari ( no. 2652, 3651, 6429) dan Imam Muslim (no. 2533) dan hal itu sesuai dengan firman Allah swt. dalam Qs. Ali Imran:110

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”

SAHABAT DAN AHLUL BAIT

Para sahabat Rasulullah saw. adalah orang yang paling menghormati dan mencintai keturunan dan keluarga Rasulullah saw. -yang beriman tentu saja- sebab selain mereka sangat faham bahwa di antara tuntutan cinta kepada Rasulullah saw. adalah juga cinta kepada keluarga beliau yaitu istri, anak, paman, sepupu, cucu dan kerabat dekat Rasulullah saw. lainnya, juga mereka -dan seluruh umat Islam- mendapatkan wasiat khusus dari Rasulullah saw. untuk tidak menyakiti keluarga beliau saw. sebagaimana yang diriwayatkan dari Zaid ibn Arqam ra. oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih beliau (no. 2408). Di dalam sejarah, perkataan dan sikap para sahabat Rasulullah saw. terhadap Ahlul Bait menunjukkan akan pelaksanaan wasiat tersebut, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari (7/98) perkataan Abu Bakar as-Shiddiq ra.:

“Sungguh, keluarga Rasulullah saw. lebih aku cintai dari keluargaku sendiri”

Bahkan Zaid ibn Tsabit ra. ketika bertemu dengan Abdullah ibn Abbas ra. di sebuah jalan, beliau turun dari kendaraan dan mempersilahkan beliau untuk mengendarainya sambil berkata: “Demikianlah Rasulullah saw. memerintahkan kami untuk memperlakukan keluarga beliau”

Demikian pula Ahlul Bait menghormati dan menghargai para sahabat Rasulullah saw. selain mereka yang bukan dari kerabat beliau saw. Lihatlah perkataan Ibnu Abbas ra. sebagaimana disebutkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam penjelasan hadits no. 3891:

“Saya berdiri di tengah kerumunan orang yang telah mendoakan Umar ibnul Khatthab ra. (setelah beliau ditikam) di saat beliau dibaringkan di pembaringan, tiba-tiba seseorang yang ada di belakang saya sambil meletakkan lengannya di atas pundak saya berkata: Semoga Allah merahmatimu wahai Umar, saya berharap Allah mengumpulkanmu kembali bersama kedua sahabatmu, sungguh saya sangat sering mendengar Rasulullah saw. berkata: adalah saya bersama Abu Bakar dan Umar, saya berbuat bersama Abu Bakar dan Umar, saya pergi bersama Abu Bakar dan Umar, maka saya sungguh berharap Allah mengumpulkanmu kembali bersama keduanya. Saya (Ibnu Abbas) lalu menoleh ke belakang ternyata orang tersebut adalah Ali ibn Abi Thalib”

Seluruh riwayat dari dua sisi ini menunjukkan bahwa tidak ada konflik antara para sahabat Rasulullah saw. dan keluarga beliau saw. dalam persoalan pemahaman agama sehingga kita harus membedakan antara konsepsi tersebut yang akhirnya hanya menimbulkan perpecahan di tengah umat sebagaimana yang sering dihembuskan oleh kaum ekstrimis (ghulat) terhadap Ahlul Bait padahal generasi awal Ahlul Bait sama sekali tidak mengakui apa yang mereka serukan tersebut, wallahul musta’an.
Perbedaan ijtihad dan pengamalan hasil ijtihad tersebut sama sekali tidak menunjukkan perbedaan dalam konsep pemahaman terhadap dalil-dalil syar’i, sebagaimana yang ada dalam khazanah fiqh kita kaum muslimin sebab tingkatan interpretasi (Maratibul Idrak) para ulama kita dari para sahabat Rasulullah saw. berbeda-beda dan beliau saw. tidak pernah menutup pintu tersebut di antara mereka dengan syarat dalil syar’i memang memberi kesempatan untuk berbeda sebagaimana yang kami jelaskan pada tulisan yang lalu.

IMAMAH
Tidak dapat disangkal bahwa imamah dan khilafah adalah kedudukan yang tinggi dalam agama, namun bukan berarti bahwa siapa yang telah tiba di sana adalah orang terbaik ataupun maksum sehingga tidak pernah atau bahkan tidak boleh salah (kemaksuman adalah milik Allah dan diberikan kepada para Nabi dan Rasul dari kalangan manusia dalam menyampaikan risalahNya kepada sesama manusia), sebab dasar didirikannya imamah dan khilafah selain dalil syar’i adalah maslahat umum bagi umat dan masyarakat sebagaimana yang dijelaskan oleh ulama Siyasah Syar’iyah seperti Imam al-Mawardi dan Ibnu Taimiyah. Seorang imam dalam daulah Islamiyah tidaklah kebal kritik dan teguran, bahkan Rasullah saw. pun pernah diinterupsi oleh sahabat dalam keputusan duniawi beliau yang bukan maslahat terbaik (rajihah) seperti pada peristiwa pemilihan lokasi pasukan dalam perang Badar, atau yang pernah dilakukan oleh Abu Said al-Khudri ra. terhadap Marwan ibnul Hakam di saat menyelisihi sunnah Rasulullah saw. pada khutbah hari raya. Meskipun tentu saja Islam memberikan aturan yang jelas dalam inkarul munkar yang dilakukan oleh seorang imam atau penguasa tidak sebablas yang diajarkan oleh sistem demokrasi buta yang tanpa batas.
Dan yang perlu diperjelas dalam hal ini adalah bahwa kata “imam” lebih luas dari sekedar pemimpin atau penguasa suatu negara, kata “imam” yang tersebut dalam Qs. al-Baqarah ayat 124 adalah bermakna panutan yang dicontoh oleh segenap manusia sebagaimana yang dijelaskan oleh mufassirin di antaranya adalah Ibnu Jarir ath-Thabari dan Ibnu Katsir, dan ini sama dengan firman Allah dalam Qs. al-Furqan ayat 74:

“Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”

Sehingga dapat dipahami dengan jelas bahwa bukanlah maksud permintaan Nabi Ibrahim saw. dalam ayat di Qs. al-Baqarah tadi agar keturunan beliau juga dijadikan “imam” adalah sebagai penguasa atau pemimpin yang menduduki jabatan politis, tetapi yang beliau minta adalah agar mereka semua dapat dijadikan panutan bagi seluruh manusia, olehnya itu Allah swt. menolak permintaan tersebut pada keturunan beliau yang zhalim karena mereka memang tidak boleh dijadikan uswah tauladan.

Adapun keturunan Rasulullah saw. maka tidak ada satu dalil pun yang kuat menunjukkan akan posisi imamah atau bahkan khilafah harus dijabat oleh mereka, bukan karena kebencian atau diskriminasi terhadap mereka atau bahkan hasad dan dengki karena mereka adalah Ahlul Bait, sama sekali bukan, tetapi karena Allah dan Rasulullah saw. sendiri yang mengajarkan kita untuk bersikap obyektif dan membangun segala urusan kehidupan di atas dalil syar’i yang benar datang dari Allah swt. Adapun hadits yang berbunyi:

“Agama (Islam) akan selalu tegak kukuh sampai tiba saatnya, atau sampai berlalu dua belas khalifah, semuanya dari Qurays”

Makna “Qurays” lebih umum dari sekedar Ahlul Bait sebagaimana yang kita pahami dari sejarah bangsa Arab, ia juga mencakup Bani Abbas dan Bani Umayyah yang pernah memimpin umat ini dan tidak ada seorang pun dari Ahlul Bait yang menolak kepemimpinan mereka dengan dalih Qs. al-Baqarah ayat 124 atau bahkan dengan Qs. an-Nisa’ ayat 54:

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya ? “

Untuk mengungkapkan akan keberhakan keturunan Rasulullah saw. menjadi pemimpin, yang ada adalah mereka menerima sebagaimana kaum muslimin lainnya bahkan saling membantu agar maslahat yang diharapkan untuk masyarakat dapat tercapai.
Akhirnya, semoga Allah membukakan mata dan hati kita semua agar berhenti membentur-benturkkan pemahaman para sahabat Rasulullah saw. dengan pemahaman keluarga beliau (Ahlul Bait) dalam masalah agama apalagi persoalan krusial dari agama seperti perkara kepemimpinan (imamah dan khilafah) sebab hal tersebut di samping keliru juga sama sekali tidak membawa manfaat bagi umat.
 

Artikulli paraprakKetua Umum Isi Kajian Umum dan Resmikan Website DPC Jakarta
Artikulli tjetërArab Saudi Tetapkan 1 Dzulhijjah 29 November, Wukuf 7 Desember

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini