Setiap kita meyakini bahwa gempa bumi adalah salah satu ayat atau tanda kebesaran Allah Ta’ala yang Dia perlihatkan pada hamba-hamba-Nya dengan menetapkan baginya suatu hikmah dan tujuan tertentu. Allah ‘Azza wa Jalla tidaklah menakdirkan sesuatu kecuali ada hikmah besar di balik itu, hanya saja kita manusia yang selalu berburuk sangka terhadap berbagai musibah yang menimpa kita, sehingga kita pun dihalangi dari mendapatkan hikmah-hikmah tersebut di balik berbagai musibah yang menimpa. Imam Ibnul-Qayim rahimahullah berkata: “Allah Ta’ala Maha Pemberi hikmah, Dia tidak pernah melakukan sesuatu secara sia-sia, atau tanpa tujuan dan maslahat tertentu. Hikmah-Nya adalah tujuan utama perbuatan-Nya, bahkan seluruh perbuatan Allah ada karena adanya hikmah luar biasa, yang untuk tujuan itu Dia mengerjakannya.” (Syifa’ Al-‘Alil: 190)
Gempa bumi sebagai salah satu fenomena alam merupakan sebuah risalah ilahi kepada seluruh umat manusia. Dia takdirkan keberadaannya untuk memberi peringatan kepada manusia agar mereka lebih mendekatkan diri kepada-Nya, mengerjakan seluruh perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya. Ia sebuah penyadaran bahwa Dia yang sanggup menggoncang bumi tentu lebih sanggup lagi untuk untuk menggoncang seluruh apa yang di atas bumi beserta alam semesta: “Dan Kami tidak mengirim ayat-ayat (tanda-tanda kebesaran Kami) kecuali sebagai peringatan.” (Terjemahan QS Al-Isra’: 59)
Dia yang selalu kita durhakai dan langgar perintah-Nya menakdirkan bencana berupa gempa bumi atau lainnya demi mengingatkan kita bahwa kita yang pendosa ini adalah orang-orang lemah dan bahwasanya tidak akan ada seorang pun yang akan menyelamatkan kita dari berbagai musibah kecuali Dia sendiri: “Dan jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang sanggup menghilangkannya selain Dia sendiri.” (Terjemahan QS Al-An’am: 17)
Ketahuilah wahai saudaraku! Musibah gempa bagi manusia, bisa berfungsi sebagai hukuman bagi kemaksiatannya, atau penyucian atas dosa-dosanya, atau pemuliaan Allah terhadap dirinya. Tiga fungsi musibah inilah yang mesti ditanamkan oleh seorang muslim dalam dirinya setiap saat, agar ia tidak menentang takdir dan ketetapan Allah Ta’ala berupa musibah dan bencana yang menimpanya.
Semakin seorang muslim taat kepada Allah Ta’ala, maka musibah atau ujian yang menimpanya akan menjadikan dirinya lebih mulia di sisi Allah lantaran adanya sifat sabar dan keridhaannya dalam menghadapi musibah tersebut. Dalam hadis disebutkan: “Manusia yang paling dahsyat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang-orang saleh.” (HR Ibnu Majah: 4024, hasan)
Dalam hadis lain, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya besarnya pahala berasal dari besarnya cobaan. Dan sesungguhnya Allah Ta’ala bila mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Maka siapa yang ridha (dengan musibah itu), niscaya ia mendapatkan keridaan (dari Allah), dan siapa yang murka (dengan musibah itu), niscaya ia mendapatkan kemurkaan (dari Allah).” (HR Tirmizi: 2396 dan Ibnu Majah: 4031).
Bahkan bila seorang yang saleh wafat dalam menghadapi musibah dan bencana ini, maka ia akan diampuni dosanya oleh Allah Ta’ala, ditinggikan derajatnya serta dimasukkan ke dalam surga. Dari Ummi Salamah radhiyallahu’anha bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Bila maksiat telah menyebar, Allah Ta’ala akan meliputi mereka dengan azab yang berasal dari-Nya.” Ia bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah pada saat itu di antara mereka ada orang-orang saleh?”. Beliau menjawab: “Tentu.” Ia bertanya lagi: “Lalu bagaimana Allah menyikapi mereka?”. Beliau menjawab: “Mereka mendapatkan musibah (wafat) sebagaimana manusia lainnya, namun mereka setelah itu mendapatkan ampunan dan ridha Allah Ta’ala.” (HR Ahmad: 6/304, hasan).
Adapun orang-orang kafir atau ahli maksiat yang wafat karena ditimpa bencana tersebut, maka itu merupakan bentuk hukuman Allah Ta’ala atas mereka sebagaimana ditunjukkan dalam hadis di atas, sebab semakin seseorang itu jauh dari Allah, maka musibah yang menimpanya adalah bentuk hukuman baginya dari Allah Ta’ala. Adapun orang kafir maka mereka tentunya kekal dalam neraka, sedangkan seorang muslim yang pendosa namun tidak berbuat kasyirikan maka di akhirat kelak keselamatannya tergantung dari kehendak Allah Ta’ala, bila Dia berkehendak menyelamatkan dirinya, maka ia diampuni, dan bila tidak, maka ia akan dijerumuskan ke dalam neraka untuk mencuci dosa-dosa yang telah ia lakukan, lalu setelahnya dimasukkan ke dalam surga. Dalam suatu hadis, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sungguh suatu kaum akan ditimpa jilatan api neraka lantaran dosa-dosa yang mereka lakukan (di dunia) sebagai hukuman bagi mereka. Lalu Allah memasukkan mereka ke dalam surga dengan karunia rahmat-Nya. Mereka ini disebut Jahannamiyyun.” (HR Bukhari: 7450)
Seorang mukmin yang selamat dari ujian gempa ini, baik yang mengalami berbagai kerugian berupa jiwa, harta atau tempat tinggal atau tidak, hendaknya bersabar dan rida dengan adanya musibah ini, karena dengannya Allah Ta’ala akan meridainya dan menganugrahkannya pahala yang besar. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya besarnya pahala berasal dari besarnya cobaan. Dan sesungguhnya Allah Ta’ala bila mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Maka siapa yang ridha (dengan musibah itu), niscaya ia mendapatkan keridaan (dari Allah), dan siapa yang murka (dengan musibah itu), niscaya ia mendapatkan kemurkaan (dari Allah).” (HR Tirmizi: 2396 dan Ibnu Majah: 4031).
Ia hendaknya mengucapkan dengan seyakin-yakinnya satu ucapan yang Allah perintahkan pada hamba-hamba-Nya yang terkena musibah dan ujian: “Katakanlah: sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (Terjemahan QS At-Taubah: 51)
Juga banyak-banyak mengucapkan “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun“, sebagaimana dalam ayat: ” … Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Terjemahan QS Al-Baqarah: 155-157)
Ia juga hendaknya meyakini bahwa semua musibah ini adalah teguran Allah bagi dirinya agar ia lebih konsisten lagi di atas agama-Nya, atau agar ia sadar dan cepat bertaubat kepada Allah bila sebelumnya ia adalah seorang pendosa. Khalifah yang mulia, Umar bin Abdul’Aziz rahimahullah berkata: “Sesungguhnya gempa ini adalah sarana yang dijadikan Allah Ta’ala untuk menegur para hamba-hamba-Nya.” (Al-Jawab Al-Kafi: 88)
Syaikh Abdul’Aziz Ath-Tharifi hafidzhahullah mengatakan: “Musibah yang membuatmu mendapat hidayah (bertaubat dan rajin beribadah), lebih baik dari pada adanya karunia kenikmatan yang membuatmu sesat dan lupa pada-Nya. Musibah yang dihadapi dengan kesabaran, lebih baik dari pada adanya karunia kenikmatan yang tidak disyukuri. Bila Allah memberimu suatu musibah lalu musibah itu membuatmu dekat kepada Allah, maka musibah itu merupakan kenikmatan yang datang dalam bentuk bencana, sebaliknya bila Dia memberimu kenikmatan, lalu kenikmatan itu membuatmu jauh dari Allah, maka kenikmatan itu adalah suatu bencana yang datang dalam bentuk kenikmatan.” (Asthur: 329).
Selanjutnya ia harus memantapkan diri bahwa di balik musibah ini ada berbagai hikmah yang akan Allah curahkan kepadanya; berupa nikmat hidayah serta hikmah-hikmah lainnya. Sebab, cepat atau lambat semuanya akan berlalu, dan Allah pasti akan sanggup merubah musibah tersebut sebagai rahmat. Syaikh Ath-Tharifi hafidzhahullah juga berkata: “Allahlah yang menjadi pengatur alam semesta ini. Dia membolak-balik kondisi bumi dan manusia sekehendak-Nya (untuk hikmah-hikmah tertentu). Namun ingatlah, bahwa Dia yang yang memodifikasi buah handzhalah (sejenis semangka gurun yang pahit sekali) dalam perut binatang ternak menjadi susu yang paling manisa, pasti sanggup memodifikasi suatu bencana menjadi suatu rahmat.” (Asthur: 328)
Kini, sudah saatnya kita kembali kepada-Nya. Tanpa harus ada kata menunda dan menanti momen tertentu, sebab musibah dan kematian tak akan pernah menanti taubat kita semua. Marilah kembali mentautkan hati pada ibadah, melabuhkan jiwa dalam taubat dan munajat kepada-Nya serta menjauhi berbagai hawa nafsu dan kemaksiatan. Sebab, faktor adanya berbagai bencana adalah dosa-dosa kita sendiri: “Apa saja kebaikan yang engkau peroleh maka dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (Terjemahan QS An-Nisa’: 49).
Dengan konsisten di atas amal saleh dan ketaatan, kita akan diberikan kehidupan bahagia dunia akhirat oleh Allah Ta’ala: “Siapa yang mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan dan ia beriman, maka sungguh akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sungguh akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Terjemahan QS An-Nahl: 97).
Untuk menghindarkan masyarakat kita dari berbagai musibah termasuk gempa bumi ini, mari kita banyak-banyak menghapus dosa-dosa dan kemaksiatan kita tersebut dengan amal-amal saleh yang disertai banyak istigfar dan taubat nashuha kepada Allah Ta’ala, karena Allah Ta’ala berfirman: “… Dan tidaklah Allah mengazab mereka sedang mereka (masih) memohon ampunan.” (Terjemahan QS Al-Anfal: 33).
Bahkan lebih dari itu, istigfar dan taubat yang menuntun kita pada ketaatan dan menjauhkan kita dari maksiat pasti mendatangkan berbagai rahmat dan karunia terbaik dari-Nya, sebagaimana dalam ayat: “Maka aku (Nuh) katakan kepada mereka, “Mohon ampunlah kepada tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Nisaya Dia akan menurunkan hujan kepadamu dengan lebat, membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Terjemahan QS Nuh: 10-12)
Semoga musibah gemba bumi yang menimpa saudara-saudara kita baru-baru ini dijadikan oleh Allah Ta’ala sebagai sumber rahmat dan keberkahan bagi mereka di dunia dan akhirat. Aamiin. Terakhir, marilah kita semua menghalangi azab dan hukuman Allah Ta’ala dengan berbagai amal ketaatan dan taubat kepada-Nya, sebab bila kita selamat dari siksa dunia, maka kita tidak akan pernah selamat dari siksa akhirat. Wallaahu a’lam.[]
Oleh Ustadz Maulana La Eda, Lc. MA.