“Refleksi dan Aktualisasi Nilai-Nilai Islam Wasathiyah
Menuju Indonesia yang Damai”
Oleh : Fauziah Ramdani
“Dan demikianlah Kami telah menjadikan kamu semua, umat yang ‘wasatha’ agar kamu menjadi saksi atas sekalian manusia.” (QS.Al-Baqarah:143)
Islam adalah agama mulia yang dibawa oleh Nabi terakhir utusan Allah; Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan agama inilah Allah ta’ala menutup agama-agama sebelumnya, Allah telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-hambaNya sekaligus dengan agama Islam ini pula Allah menyempurnakan nikmat atas mereka. Sebagaimana didalam Alquran Allah ta’ala berfirman yang artinya
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku pun telah ridha Islam menjadi agama bagi kalian.” (QS. Al Maa’idah: 3)
Islam adalah identitas keagamaan, simbol yang menunjukkan kemuliaan dan bagaimana hubungan transendental antara Pencipta dan hamba terbangun dari sebuah rangkaian ritual-ritual keagamaan yang diatur didalam pedoman Al Qur’an dan Hadist Nabi. Juga way of life; jalan hidup seorang hamba yang akan mengantarnya pada satu kata; keselamatan. Keselamatan karena telah bersaksi dengan syahadat dan keimanan kepada Allah ta’ala dan RasulNya.
Akan tetapi bukan hanya itu saja ,Islam sebagai identitas agama juga menggambarkan kesempurnaan ajaran dan tuntunan yang holistik dan berkesinambungan. Terbukti dimana setiap masa, tempat dan masyarakat ,agama yang mulia ini akan cocok diterapkan kapan dan dimana pun. Bahkan dengan Islamlah ummat akan menjadi baik dan seimbang dalam berkehidupan,dengan Islamlah masyarakat akan menjadi teratur dan hanya dengan Islamlah negeri ini dapat mewujudkan tatanan hidup yang damai dan sejahtera. Lalu bagaimana kita merefleksikan dan mengaktualisasi nilai-nilai Islam yang hakiki?
Refleksi dan Aktualisasi Nilai-nilai Islam Wasathiyah
Islam sebagai identitas keagamaan, mengatur penganutnya agar dapat hidup dan berkehidupan sesuai dengan ajaran Allah ta’ala dan Sunnah RasulNya. Membimbing ummatnya agar selamat mengarungi bahtera kehidupan didunia dengan segala problematikanya hingga kelak selamat di akhirat dengan bekal iman, dan Islam . Mengatur setiap ummatnya agar dapat selaras, seimbang dan pertengahan dalam menunaikan hak Allah ta’ala, hak RasulNya, hak diri dan hak-hak segenap makhlukNya.
Seorang hamba Ia tak hanya disibukkan dengan praktek-praktek ubidiyah dengan menghadap kiblat menyujud kepadaNya dalam shalat lima kali sehari. Juga Islam bukan hanya sekedar mengajarkan urgensi pengamalan pada sunnah-sunnah Nabi semisal mendahulukan kaki kiri ketika masuk WC dan kaki kanan ketika keluar. Bukan hanya itu saja Islam mengatur kehidupan ummatnya. Karena sesungguhnya ada multi kepatuhan dan ketakwaan selain pada atensi seseorang dalam memperhatikan hubungannya dengan Allah dan RasulNya. Ada hak diri yang harus ditunaikan diantara sembah dan sujud kita kepadaNya, karena sebagai manusia biasa sebagaimana pesan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kepada para Sahabatnya agar seimbang dalam beribadah, agar tidur, agar menikah, agar bekerja mencari nafkah , agar pertengahan dalam berlomba-lomba pada kebaikan dalam berbagai bentuk dan jenisnya. Dan tentu saja ada unsur yang juga turut menentukan bagaimana masa depan ummat hari ini dan kelak dengan tantangan problematika yang melingkupi setiap sendi kehidupan kita hari ini. Agar senantiasa memperhatikan, menunaikan dan menjaga hak-hak makhluk Allah lainnya meruapakan pengejawantahan dari suatu konsep habluminannas (hubungan kepada sesama manusia).
Di dalam Al-Quran, Alla Ta’ala berfirman yang artinya
“Dan demikianlah Kami telah menjadikan kamu semua, umat yang ‘wasatha’ agar kamu menjadi saksi atas sekalian manusia.” (Surah Al-Baqarah, 2: 143)
Islam adalah agama yang wasathan, agama yang mencintai persatuan ,keadilan dan membenci perpecahan. Konsep Islam wasathiyah bukanlah istilah baru, ia merupakan produk Ilahiah yang diturunkan kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam untuk segenap ummatnya agar dapat menjalani kehidupan dengan baik, seimbang, harmonis, adil, damai dan sejahtera. Konsep inilah yang disebutkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam ketika menegur seorang Sahabat Abdullah bin Amr radhiallahu’anhu agar beribadah tidak dengan berlebih-lebihan.
Sebagaimana Sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam
“Jauhkanlah diri kamu dari berlebih-lebihan dalam agama karena orang-orang sebelum kamu hancur hanya sebab berlebih-lebihan dalam agama”. (Diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majjah, Al-Hakim, Ibnu Huzaimah dan Ibnu Hibban dari Ibnu Abbas sebagaimana di dalam shahih Jami’ (2680).
Sebagaimana pesan Nabi, maka menjadi sebuah kemestian bagi kita untuk tidak bersikap melampui batas atau berlebih-lebihan atau bersikap mengurangi porsi kepatuhan dan ketaatan kita kepada agama ini. Konsep Islam Wasathiyah ini hadir untuk mencerahkan segenap ummat Islam agar memperhatikan hak-hak makhluk Allah lainnya baik manusia, hewan hingga tumbuhan sekalipun. Hubungan interpersonal dan juga secara kolektif harus dijaga, menghindari perdebatan terhadap suatu hal meskipun diyakini setiap orang memiliki alur pikir yang berbeda-beda. Jika tengah berdiskusi agama, maka sebagaimana generasi terbaik setelah kematian Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam Salafus Shaleh, mereka kembali kepada landasan utama Alqur’an dan Sunnah, membangun asas bermusyawarah dan saling menasehati, walau terkadang mereka berselisih pendapat namun ukhuwah Islamiyah, kecintaan terhadap sesama muslim dan persatuan ummat tetap terjaga.
Mewujudkan Indonesia Damai
Alangkah indahnya Indonesia, jika setiap jiwa yang menduduki tanah air ini tumbuh dan berkembang dengan cinta dan toleransi,saling bahu-membahu, mengutamakan persatuan serta menghindari perpecahan dan perdebatan. Ditengah fenomena negeri dimana sebagian orang dan kelompok tertentu disayangkan turut menggunakan simbol keagamaan untuk menegakkan prinsip kebenaran menurut versi keyakinan kelompok masing-masing hingga pada akhirnya tidak sedikit yang terjebak dalam arus fanatisme kelompok. Padahal para ulama diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa (XXII/405) menjelaskan sekaligus juga mengkritisi orang-orang fanatik terhadap hal-hal yang bersifat ijtihadiah hingga memusuhi siapa saja yang meyelisihi pendapat mereka. Syaikh berkata: “ Adapun fanatik terhadap permasalahan ijtihadiah atau yang semisalnya, maka ketahuilah bahwa ia termasuk benih-benih perpecahan dan perselisihan ummat, dan Islam melarang hal demikian. Sebab yang mendorong perbuatan tersebut adalah keinginan untuk memunculkan tanda-tanda perpecahan di tengah masyarakat muslimin. Padahal apabila dicermati, masalah-masalah ini merupakan perkara yang paling gampang dan ringan selama ia lahir bukan dari bujuk rayu syaitan yang selau ingin menyemai benih-benih perselisihan.”
Sesungguhnya ketika kita masih memiliki satu syahadat yang sama, Nabi yang sama ,percaya pada enam rukun iman, lima rukun islam serta mencintai para Sahabat terkasih Nabi shallallahu’alaihi wasallam maka, tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk tidak bersikap adil, pertengahan (wasath) kepada makhluk maupun kelompok. Karena sesungguhnya Indonesia yang damai adalah visi besar yang hanya akan diraih dengan memperhatikan tiga unsur utama,hak Allah sebagai Pencipta, hak diri dan hak-hak segenap makhluk Allah lainnya.
“Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Alqur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS.Annisa:59)