Kiranya salah satu manfaat dan hikmah penting yang dapat dipetik dari setiap Ramadhan yang kita lalui adalah bahwa kita menjadi lebih ringan beribadah. Ibadah menjadi aktivitas yang lebih mudah kita lakukan dibanding waktu sebelum Ramadhan. Mirip dengan olahragawan yang melewati sebuah program latihan panjang, kita menjadi lebih terlatih dan terbiasa melaksanakan ibadah.
Selama sebulan penuh, 29 atau 30 hari Ramadhan, setiap pribadi Muslim digembleng dengan beragam ibadah, mahdhah atau sosial. Puasa, shalat sunnah, tilawah Al-Qur’an, zikir, qiyam lail, witir, doa, shalat dhuha, sedekah, amar ma’ruf nahi mungkar, dll.
Setiap ibadah itu menjadi lebih ringan kita tunaikan. Tentu yang dimaksud di sini tidak sekadar ringannya gerak fisik yang tanpa makna. Lebih dalam daripada itu, penghayatan yang mengiringi setiap ibadah yang kita lakukan. Penghayatan yang melahirkan kenikmatan dalam menjalankan prosesi setiap ibadah, dan berdampak nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Bukankah Hadits Rasulullah menyebut shalat sebagai terminal istirahat (arihnaa bis shalah) yang memberikan ketenteraman bagi pelakunya (HR. Abu Dawud)? Ibadah, dalam konteks ini melahirkan ketenangan jiwa. Dan bukankah Rasulullah menjadi sangat dermawan di bulan Ramadhan, ketika Jibril mendatanginya setiap malam untuk membaca Al-Qur’an? Ibadah, dalam contoh Rasulullah, berdampak langsung terhadap pola perilaku manusia yang melaksanakannya.
Setelah Ramadhan berlalu, kita tentu ingin agar stamina ibadah tersebut terpelihara dan tidak menguap begitu saja. Kita ingin agar perasaan ringan beribadah beserta kenikmatan yang dikandungnya bisa kita bawa ke bulan-bulan berikutnya.
Apakah ini berarti intensitas ibadah harus persis seperti di bulan Ramadhan? Tidak juga. Tidak salah apabila intensitas ibadah di bulan Ramadhan lebih tinggi daripada ibadah di bulan-bulan lainnya. Sebab, sebagaimana keterangan dari Aisyah, istri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau giat beribadah pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan, yang tidak dilakukan pada waktu-waktu lainnya (HR. Muslim). Ibnu Abbas juga menceritakan bahwa Rasulullah “adalah manusia yang sangat dermawan, tapi puncak kedermawanannya adalah pada bulan Ramadhan” (HR. Bukhari-Muslim).
Imam al-Syafi’i rahumahullah berkata,
Aku menganjurkan untuk lebih dermawan di bulan Ramadhan, mencontoh teladan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, karena manusia juga membutuhkannya. Juga karena banyak manusia yang disibukkan oleh puasa dan shalat dari pekerjaannya mencari rezeki. (Lihat: al-Bayhaqi, Ma’rifah al-Sunan wa al-Atsar)
Untuk itu, Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk melestarikan ibadah, walau itu sedikit. Berkesinambungan melaksanakan amal shalih tertentu lebih baik daripada kuantitas amal yang banyak, tapi terputus dan tidak lestari.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang puasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari pada bulan Syawal, seakan-akan dia telah puasa setahun penuh.” (Shahih, HR. Ibn Majah)
Dari segi bilangan, bisa jadi ibadah Rasulullah terhitung sedikit. Tapi beliau melakukannya secara berkesinambungan. Aisyah radhiyallahu anha bercerita, “Rasulullah tidak pernah menambah (jumlah rakaat qiyam lail), baik itu di bulan Ramadhan atau bukan, dari sebelas rakaat.” (HR. Bukhari)
*****
Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam beramal adalah melestarikan amal tersebut (HR. Muslim). Beliau juga menyebutkan bahwa sebaik-baik amal di sisi Allah adalah perbuatan yang dilakukan secara konsisten oleh pelakunya (HR. Muslim).
(أن أحب الدين إلى الله ما داوم عليه صاحبه)
Oleh karena itu, ungkapan Aisyah di atas bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lebih giat beribadah pada sepuluh terakhir Ramadhan bukan berarti bahwa di luar itu beliau tidak giat. Hadits tersebut justru bermakna bahwa Rasulullah, di luar Ramadhan, juga giat beribadah. Sebagaimana keterangan Ibnu Abbas di atas, bahwa Rasulullah sepanjang masanya adalah manusia yang sangat dermawan.
Pedoman ini pula yang dicontohkan Salaf dalam ibadah. Salim, seorang budak Ibnu Umar, menceritakan bahwa majikannya tidak pernah tidur malam kecuali sedikit. Ibnu Umar radhiyallahu anhuma menggunakan malamnya untuk qiyam lail. Sejak kapan itu dia lakukan? Itu terjadi sejak Ibnu Umar mendengar hadits Rasulullah lewat Hafshah, saudarinya: “Sebaik-baik laki-laki adalah Abdullah (ibn Umar), andai dia qiyam lail.” (HR. Muslim)
Pada kesempatan yang berbeda, rumah tangga Ali dan Fathimah radhiyallahu anhuma pernah mengeluhkan kepada Rasulullah beratnya pekerjaan rumah yang mereka tanggung. Mereka memohon agar bisa memiliki pembantu yang dapat meringankan pekerjaan rumah mereka. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberi nasehat:
(ألا أعلمكما خيراً مما سألتما؟ إذا أخذتما مضاجعكما: أن تكبرا الله أربعاً وثلاثين، وتسبحا ثلاثاً وثلاثين،
وتحمدا ثلاثاً وثلاثين؛ فهو خير لكما من خادم)
“Maukah kalian aku ajarkan sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kalian minta? Bila kalian hendak tidur, maka bacalah takbir 34 kali, tasbih 33 kali dan tahmid 33 kali. Itu lebih baik bagi kalian berdua daripada seorang pembantu.”
Sahabat Ali ibn Abi Thalib bercerita, “Amalan itu tidak pernah sekalipun aku tinggalkan, sejak aku mendengarnya dari Nabi shallallahu alaihi wasallam.” Ada yang bertanya padanya, “Tidak juga pada malam terjadinya perang Shiffin?” Ali menjawab, “Tidak juga pada malam terjadinya perang Shiffin.” (HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud)
Hadits ini menunjukkan betapa sahabat Ali menjaga amal tersebut secara konsisten, sejak zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hingga masa pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman dan akhirnya dia sendiri radhiyallahu anhum ketika menjadi khalifah.
Dilihat dari segi manfaat, konsisten melaksanakan amal ibadah tertentu memiliki banyak kelebihan, antara lain:
Pertama, ibadah yang konsisten dan berkesinambungan akan menuai berkah ittiba’ kepada Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (QS. Ali Imran: 132; al-Nur: 56).
Kedua, ibadah yang konsisten dan berkesinambungan akan memelihara kelangsungan hubungan antara manusia dengan Allah subhanahu wata’ata (QS. al-Hijr: 99).
Ketiga, kelestarian ibadah akan melahirkan ibadah yang berkualitas. Sebab, “lancar kaji karena diulang” dan “practice makes perfect”. Aktivitas apa pun, bila dilakukan secara berulang-ulang akan membawa kepada kesempurnaan aktivitas tersebut.
Keempat, “Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar, maka dia akan dicatatkan amal seperti pada saat dia mukim dan sehat.” (HR. Bukhari) Keutamaan ini hanya didapatkan oleh mereka yang pada kondisi mukim dan sehatnya tekun dengan amal ibadah tertentu.
*****
Dalam konteks dakwah, bisakah prinsip “melestarikan amal, walau sedikit” kita terapkan? Penulis topik-topik tarbiyah, Muhammad al-Duwaisy, mengaskan bahwa dakwah pun seharusnya menerapkan prinsip tersebut. Pasalnya, dakwah kita yakini sebagai salah satu amal yang paling dicintai Allah. Lantas, mengapa tidak dilakukan dengan cara yang paling Dia sukai?
Menurut al-Duwaisy, penerapan prinsip ini dalam dakwah berarti:
- 1.Dakwah hendaknya memiliki visi dan tujuan yang jelas, bukan sekadar aktivitas yang tergesa-gesa apalagi berantakan.
- 2.Hendaknya program dakwah tidak hanya merupakan reaksi prematur terhadap situasi tertentu. Benar, reaksi (baca: respon) terhadap situasi yang berkembang diperlukan, tapi seharusnya dengan dosis yang wajar.
- 3.Aktivitas dakwah tidak boleh dipersempit menjadi kegiatan musiman atau buat waktu lowong tertentu. Tapi dakwah hendaknya merupakan aktivitas dengan porsi waktu yang utama. Tujuannya, agar seruan kepada kebaikan bisa disebarkan ke seluruh waktu dan tempat.
- 4.Konsisten pada lapangan dakwah tertentu dan tidak tergiur untuk merambah lapangan dakwah lainnya kecuali dengan pertimbangan yang matang. Sebab, setiap waktu seorang dai pasti akan selalu menyingkap lapangan dakwah yang baru dan beragam. Dai yang tidak bisa konsisten dengan bidang yang digelutinya, catat al-Duwaisy, cenderung rendah produktivitasnya.
- 5.Tidak boleh memandang sebelah mata aktivitas dakwah yang kelihatannya lambat membuahkan hasil, kendati sesunggunya punya nilai yang sangat strategis. Ambil contoh bidang tarbiyah, yang dampaknya secara jangka pendek sedikit. Akan tetapi, dalam kerangka dakwah, kegiatan tarbiyah justru sangat
- 6.Terakhir, sebagai aktivis dakwah, setiap dai seharusnya punya amal ibadah tertentu yang secara kontinu dia lakukan, walaupun itu sedikit. Apakah itu amalan shalat, zikir, tilawah, puasa, shadaqah, dll. Alasannya sederhana, kelompok dai adalah manusia yang paling memerlukan kotinuitas hubungan dengan Rabbnya, subhanahu wata’ala. Dan Rasulullah, dalam hal ini, merupakan teladan mereka yang paling utama.***
Dir’iyah, 13 Syawal 1433 H.
Ilham Jaya Abdurrauf