Pengaruh Ramadhan dan i’tikafnya bisa kita lihat secara umum pada periode Madinah yang penuh perjuangan. Secara khusus kita bisa lihat di masing-masing tahun, bagaimana Rasulullah menjalani peristiwa-peristiwa besar dan genting.
I’tikaf sendiri adalah semacam ‘uzlah (pengasingan diri) untuk men-charge kembali ruhiyah seorang pejuang. Agar keimanannya kembali prima. Sabarnya menguat, yakinnya bertambah kokoh, tsabat-nya menggetarkan musuh, dan tawakkalnya mengetuk pintu langit hingga turun pertolongan-Nya.
Banyak pertempuran dan peristiwa besar yang membutuhkan ketegaran iman. Kadang terjadi di bulan Ramadhan dan kadang di bulan Syawwal setelah ruhiyyah kembali menguat pasca Ramadhan. Itu artinya, peristiwa-peristiwa tersebut Allah tentukan terjadi pada saat kondisi keimanan para shahabat sedang prima.
Ada yang menarik disini, justru di periode Madinah-lah Allah turunkan perintah puasa Ramadhan. Tepatnya di tahun kedua pada saat kaum muslimin menghadapi gempuran besar pertama dari musyrikin. Yaitu Perang Badar Kubra. Perang penentuan yang para malaikat pun harus turut angkat senjata.
Begitulah, nampaknya ada hikmah ilahiyah di balik itu semua. Seolah Allah ingin tunjukkan bahwa, semakin berat perjuangan, semakin besar pula kebutuhan untuk penguatan ruhiyah. Kekuatan ruhiyahlah yang menjadi dasar tegaknya perjuangan dan pengorbanan.
Berikut Ramadhan dan Syawwal yang hanya 9 kali dijalani oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Tahun Ke-2 Hijriyah
Perang Badar terjadi di bulan Ramadhan, tahun kedua. Perang penentuan, hingga Rasulullah mengatakan seandainya Engkau tidak menolong pasukan ini, Engkau tidak akan disembah lagi di muka bumi. Betapa gentingnya.
Tahun Ke-3 Hijriyah
Perang Uhud terjadi di bulan Syawwal, tahun ketiga. Pengaruh Ramadhan masih terasa saat Rasulullah bermusyawarah dengan mereka radhiyallahu ‘anhum. Hingga semangat menjemput kemenangan atau syahid membuat mereka memlih menyongsong musuh di luar Madinah. Meskipun Rasul menyarankan agar pasukan bertahan di dalam kota.
Tahun Ke-4 Hijriyah
Tahun sebelumnya usai Perang Uhud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengejar pasukan Abu Sufyan hingga tiba di Hamra’ul Asad. Abu Sufyan mengirim surat yang isinya menantang kembali berperang, tempatnya di Badar. Jadi, di bulan Syawwal tahun ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menepati janji beliau kepada Abu Sufyan. Bersiaga menunggu di Badar, namun Abu Sufyan dan pasukan Quraisy tidak jadi datang.
Tahun Ke-5 Hijriyah
Perang Khandaq pun sama. Terjadi di bulan Syawwal. Pengaruh Ramadhan membuat para shahabat begitu tegar. Meskipun besarnya ancaman membuat mereka serasa diguncang dan serasa sesak di dada. Namun saat pasukan Ahzab datang, justru mereka mengatakan, “inilah yang dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya.”
Tahun Ke-6 Hijriyah
Ramadhan dan Syawwal tahun ini, keluarga Rasulullah diuji secara khusus. Pasca Perang Bani Musthaliq, orang-orang munafiq menuduh ummul mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berzina dengan shahabat Shafwan bin Mu’aththal. Wal ‘iyaadzu billah.
Berita hoax terus dihembuskan orang-orang munafiq untuk menjatuhkan kredibilitas Rasulullah. Beliau dan keluarga cukup tertekan. Namun dengan Ramadhan, Allah semakin kuatkan kesabaran beliau dan ummul mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha secara khusus. Hingga akhirnya Allah bersihkan nama ibunda ‘Aisyah dari langit dengan turunnya wahyu.
Di bulan Syawwal ini juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyiapkan pemberangkatan umrah. Setelah beliau bermimpi akan mendatangi Baitullah. Inilah yang menjadi awal adanya Perjanjian Hudaibiyyah.
Tahun Ke-7 hijriyah
Tahun ini, Rasulullah dan para shahabat fokus mentarbiyah orang-orang yang baru masuk Islam. Terhitung banyak, tercatat diantaranya adalah Abu Hurairah, keluarga ‘Asy’ariyyiin yang salah satunya adalahAbu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, dan masih banyak lagi.
Tahun-tahun pasca Perjanjian Hudaibiyyah dan takluknya Khaibar membuat semakin harum Islam di dunia internasional saat itu. Rasulullah banyak mengirim surat kepada para raja. Termasuk juga mengirim satuan-satuan pasukan ke luar Madinah. Rasulullah tinggal di Madinah hingga pasca lebaran beliau bersiap menunaikan umratul qadha’ ke Baitullah.
Ruhiyyah para shahabat ditahun ini benar-benar digodog selama Ramadhan dan disempurnakan dengan umratul qadha’. Dan di tahun inilah awal kaum muslimin berhadapan dengan Romawi, yaitu di Perang Mu’tah. 3000 mujahidin tanpa kehadiran Rasulullah menghadapi 200.000 pasukan Romawi.
Tahun Ke-8 Hijriyah
Fathu Makkah tak jauh beda dengan Perang Badar. Suasana Ramadhan mereka lewati saat berjalan kaki dari Madinah menuju Mekkah. Perjalanan dengan gelora semangat menjemput janji Allah. Janji kemenangan yang ditunggu-tunggu.
Setelah itu di bulan Syawwal, tepatnya tanggal 6 mereka tidak mudik ke madinah namun justru berangkat untuk “berlebaran” di Hunain. Peperangan yang penuh pelajaran. Keteguhan iman dan kesabaran yang membuat mereka mampu melewati masa-masa kritis.
Tahun Ke-9 Hijriyah
Setahun setelah Fathu Makkah, Rasulullah kembali melewati Ramadhan dalam suasana perjuangan. Di bulan Ramadhan tahun ini, pasukan yang telah melewati masa-masa berat kembali ke Madinah. Jaisyul ‘Usrah kembali dari Tabuk. Mereka kembali dari jihad qital dan menyempurnakannya dengan mujahadatun nafs dengan Ramadhan dan i’tikaf.
Tahun Ke-10 Hijriyah, Ramadhan Terakhir
Tahun ini adalah tahun kesembilan Rasulullah menjalani Ramadhan. Di Ramadhan terakhir inilah beliau persiapkan diri secara khusus dengan beri’tikaf selama 20 hari. Persiapan untuk berjumpa dengan Allah ta’ala. Perjumpaan setelah sekian lama memendam rindu. Perjumpaan setelah tunai tugas dan amanah.
Itulah Ramadhan dan Syawwalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana dengan kita?
Murtadha Ibawi
Aktifis dakwah, tinggal di Jakarta