Ungkapan ini, tentu jangan dipahami sepintas. Sebab kekuatan tidak identik dengan kekuatan senjata. Sebab kekuatan tidak selamanya harus menyikut dan menyikat lawan. Kekuatan itu tidak identik dengan kata ‘berdarah-darah’. Kekuatan yang kita maksud di sini adalah kekuatan yang mengeksiskan. Semua sarana yang sanggup menggolkan ide-ide besar kita adalah kekuatan. Kekuatan yang dengannya kita menggapai cita-tita mulia kembalinya ‘izzul islam wal muslimin (kemuliaan Islam dan kaum Muslimin). Tanpanya mustahil rasanya harapan mulia itu terwujud. Sunnah kehidupan juga mengajarkan kepada kita bahwa yang kuatlah yang akhirnya bisa eksis. Yang kuatlah yang akhirnya akan meraih harapan-harapannya. Sebaliknya, yang lemah pasti akan terhempas. Mereka yang bermental ‘kalah’ akan tersudut di pojok-pojok kehidupan.
Sisi lain dari kekuatan itu adalah kemampuan menghadapi ‘virus’. Semacam penyakit melenakan. Ini biasanya muncul ketika kita sudah meraih sebagian atau keseluruhan yang kita cita-citakan. Ketika buah kerja sudah mewujud satu demi satu dalam dunia nyata. Di antara virus itu adalah ‘virus cepat puas’. Terlalu cepat bangga dengan capaian yang sesungguhnya masih sangat sedikit. Ini semakin mengganas jika pintu-pintu dunia semakin menganga lebar. Saat itu, boleh jadi, dunialah yang datang mengejar-ngejar, mendekap dan mempreteli kekuatan kita. Di sini, tidak sedikit yang berguguran. Dalam kondisi seperti ini kita dituntut untuk tetap kebal. Keprimaan harus terus terjaga. Sebab perjalanan masing panjang. Kita butuh anfasun thawilah (napas panjang) untuk terus membawa bahtera shahwah ini ke pulau impian. Di sini sekali lagi, semakin meyakinkan kita, bahwa kekuatan itu adalah niscaya, mutlak harus ada pada diri setiap muslim mujahid.
Lalu apa rahasianya agar kita tetap kuat?. Nampaknya, Ruh yang hidup adalah kuncinya. Ruh hiduplah yang memberi sokongan kepada fisik untuk terus berbuat dan berbuat. Ruh hidup inilah yang mensuplai energi kepada tubuh untuk terus beramal dan beramal. Dengan ruh hidup raga akan mendapatkan daya dorong untuk terus berpacu dan berpacu. Meski tubuh ringkih. Betapapun fisik cacat. Akan tetapi, ia memiliki ‘daya dobrak’ yang meluluh lantakkan semua tembok penghalang kemenangan. Setebal apapun!. Karena itu, orang-orang kuat sepanjang sejarah salaf kita, mereka adalah orang yang memiliki perhatian besar atas hidupnya ruh-ruh mereka, sebab di situlah letak kekuatan mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ketika beliau ditanya mengapa beliau betah duduk berlama-lama di masjid setelah shalat fajar hingga terbit matahari. Beliau berkata: “ Inilah ‘gizi’ku, kalau aku tidak mengambilnya maka tubuhku kehilangan tenaganya”. Itulah sebabnya, rentang usia beliau hanya bertabur amal shaleh dan jihad. Tidak ada yang lain.