Qiyam Ramadhan (2-selesai) : Beberapa Catatan Seputar Shalat Tarwih

Date:

tangan-shalat-jamaah

Pada tulisan sebelumnya (http://wahdah.or.id/qiyam-ramadhan-1/) telah diterangkan keutamaan shalat malam dan bagaimana pelaksanaan Qiyamul Lail pada bulan Ramadhan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa Qiyamul Lail (Shalat malam) yang dilakukan pada bulan Ramadhan disebut Qiyam Ramadhan, atau Shalat Tarawih. Berikut ini beberapa catatan penting terkait pelaksanaan shalat tarawih, baik yang berkenaan dengan jumlah raka’at dan bagaimana praktik shalat tarawih yang dijalankan para sahabat.

Beberapa Catatan Seputar Shalat Tarwih

Ada beberapa catatan yang perlu diingatkan terkait dengan shalat Tarawih:

Pertama: Mengenai jumlah (raka’at) shalat tarwih. Ulama berbeda pendapat mengenai jumlah rakaat shalat tarwih, mulai dari 11 raka’at sampai 49 raka’at . Yang penting bagi kita dalam masalah ini adalah beberapa hal;

1.Berapa raka’at yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam?

Yang paling shahih dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah apa yang diriwayatkan oleh syaikhain dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata;

ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة

“Rasulullah tidak pernah menambah dari sebelas rakaat di dalam bulan ramadhan dan di luar bulan Ramadhan.”(HR. Bukhari dan Muslim). Tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memperpanjang dan memperbagus shalatnya sebagaimana dituturkan Aisyah dalam hadits yang sama.

2.Apa yang Dilakukan Oleh Sahabat Setelah Itu?

Ketika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam telah meninggal dunia, hilanglah kekhawatiran bahwa shalat tarwih akan diwajibkan. Maka Umar Radhiyallaahu ‘anhu berinisiaitif memerintahkan agar kaum muslimin berkumpul (berjamaah) dalam shalat (tarwih). Dimana ketika masuk masjid, beliau menjumpai para sahabat terpencar-pencar, masing-masing shalat sendirian, ada pula yang shalat dan turut shalat bersamanya satu atau dua orang atau bahkan lebih (tidak cukup 10 orang [rahth]). Maka Umar memandang perlu untuk mengumpulkan mereka pada satu Imam. Beliau memerintah Ubay bin Ka’ab dan Tamim in Aus Ad Dariy untuk mengimam mereka.

Ada dua riwayat yang berbicara tentang masalah ini. Keduanya shahih dan melalui jalur As Saib bin Yazid.

Riwayat pertama: Bahwa Umar menyuruh Ubai bin Ka’ab dan Tamim bin Aus Ad Dariy radhiyallahu ‘anhuma untuk shalat sebelas raka’at.

Riwayat kedua: Bahwa Ubai bin Ka’ab dan Tamim bin Aus Ad Dariy shalat bersama orang-orang sebanyak 21 raka’at , dalam riwayat lain 23 raka’at. Adapun riwayat 11 rakaat terdapat dalam Kitab Muwatha karya Imam Malik,1sanadnya shahih.

Sedangkan riwayat 21 raka’at terdapat dalam Mushannaf ‘AbdurRazzaq sanadnya shahih juga. Sementara riwayat 23 raka’at terdapat dalam Sunan al Baihaqiy2, sanadnya juga shahih.

Lalu bagaimana sikap terhadap hal ini?

Para ahli ilmu (ulama) menilai (menghukumi) riwayat 21 dan 23 raka’at sebagai riwayat yang syadz (janggal). Tetapi sebenarnya tidak perlu menghukumi nya sebagai riwayat yang syadz selama masih memungkinkan mengumpulkan semua riwayat yang ada. Maka kita mengumpulkan (mengkompromikan) semua riwayat seperti pengkompromian yang dilakukan al Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah.

Beliau mengatakan, “Kesemua riwayat ini dibawa kepada keragaman jumlah raka’at dan sesuai kondisi dan kebutuhan orang-orang (makmum). Kadang mereka shalat 11 raka’at, kadang 21 raka’at, kadang pula 23 raka’at. Tergantung semangat dan kekuatan makmum/jamaa’ah. Kalau 11 raka’at maka mereka memanjangkannya hingga mereka bertumpu pada tongkat karena (saking) lamanya berdiri.”

Kalau pun mereka shalat 21 raka’at maka mereka meringankannya, sehingga hal itu tidak berat bagi makmum. Menurut Syekh, DR. Salman al-‘Audah Ini adalah pengkompromian yang bagus, semoga dapat diterima.

Adapula satu cara pengkompromian yanga lain yang terbesit di dalam pikiran saya (Syekh Salman), yang nampaknya masuk akal juga. Bahwa Umar Radhiyallaahu ‘anhu menyuruh mereka berdua untuk shalat bersama orang-orang (mengimami) sebelas raka’at. Ini tidak terdapat perbedaan riwayat. Tetapi Ubai dan Tamim shalat bersama orang-orang 21 raka’at atau 23 raka’at. Jadi perintah dari Umar 11 raka’at sedangkan pelaksanaan oleh mereka berdua 21 atau 23 raka’at.

Boleh jadi hal ini disebabkan oleh faktor lain yang menjadi pertimbangan. Mereka memandang bahwa yang maslahat adalah shalat 21 atau 23 raka’at karena kebutuhan orang-orang (makmum/jamaa’ah ) terhadap hal itu. Seperti jama’ah merasa kepanjangan berdiri, ruku’, sujud dan sebagainya, jika mereka shalat 11 raka’at. Sehingga mereka memandang (memilih) untuk shalat 21 atau 23 raka’at dengan meringankan berdiri, ruku’ ,dan sujudnya agar mereka lebih nyaman dalam beribadah. Pengkompromian yang semacam ini mungkin pula dilakukan, sehingga dengan demikian nash-nash saling melengkapi (tidak bertentangan).

Jadi, tidak masalah; entah shalat 11, 21, atau 23 raka’at, karena pada sesungguhnya persoalan yang perlu dikoreksi adalah anggapan sebagian ahli Ilmu bahwa tidak boleh menambah dalam shalat tarawih lebih dari 11 raka’at adalah pendapat yang sangat lemah. Karena dua sebab (alasan):

1.Karena orang a’rabiy (Arab gunung) yang datang kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bertanya tentang shalat malam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “dua-dua..”.3 Orang Arab kampung ini tidak mengetahui sama sekali tata cara shalat malam apalagi jumlah raka’atnya.Namun demikian Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, “dua dua.” Maksudnya anda bersalam setiap dua raka’at, saat itu Nabi tidak membatasi jumlah tertentu. Tetapi beliau biarkan seperti itu.

2.Shalat-shalat sunnah mutlaqah boleh secara mutlak, entah ia dilakukan pada malam hari atau siang hari, kecuali di saat saat terlarang shalat. Andaikan seorang shalat sebelum dzuhur atau setelahnya, atau setelah maghrib, setelah isya, atau pada waktu dhuha. Dia shalat sekehendaknya yakni dua raka’at, empat, sepuluh, atau duapuluh pun tidak ada apa-apa. Sebab ini adalah shalat nafilah muthlaqah. Sementara menurut mayoritas umat (termasuk di dalamnya Imam yang empat) memandang bahwa shalat sunnat mutlak tidak dibatasi dengan jumlah tertentu yang tidak boleh dilampaui. Meskipun diantara mereka ada yang mengatakan ada jumlah yang lebih afdhal dari jumlah yang lain.

Kedua; Sesungguhnya shalat secara umum (termasuk shalat sunnah) disyariatkan untuk mendidik jiwa, mensucikan hati dan membersihkannya dari dengki, hasad, kebencian serta menjadikan jwa-jiwa tersebut bersaudara, saling mencintai dan saling dekat satu sama lain.Inilah diantara maksud terbesar dari ibadah-ibadah yang diperintahkan.

Hal ini sesuatu yang sangat nampak. Karena ketika seorang hamba mengerjakan shalat maka saat itu hatinya menjadi lembut, dan jiwanya meninggi. Maka bagaimana mungkin dibolehkan atau secara syar’i dan akal jika sesuatu yang disyariatkan untuk maksud yang mulia ini menjadi alasan untuk menyulut perselisiahan, permusuhan, kebencian diantara sesama penuntut ilmu.

Sebagian mereka menyebarkan tulisan-tulisan atau buletin yang menyulut pertengkaran (permusuhan) dalam masalah shalat tarawih, saling menyerang, membantah dan menyalahkan satu sama lain. Sebagaimana hal ini terjadi pula di masjid-masjid pada awal Ramadhan. Sebagian orang ada yang berkata kepada Imam, “Shalatlah 11 rakaa’t!” Yang lain mengatakan bahwa 20 raka’at. Ada pula yang mengatakan ringankan shalat, yang lain mengatakan, “Percepat! Perlambat!” Demikian seterusnya.

Mereka berselisih (dalam mengatur) Imam. Sehingga ibadah yang asalnya disyariatkan oleh Allah untuk mendidik umat secara pribadi dan kolektif, mewujudkan persatuan, di zaman ini berubah menjadi medan yang bertentangan dengan maksud dan tujuannya. Kita memohon kepada Allah semoga mengembalikan umat kepada pemahaman (yang benar) terhadap agamanya dan persatuan diatasnya.

Sungguh persatuan, selamatnya hati, dan kesucian jiwa merupakan tujuan dari syari’at yang telah disepakati oleh kaum Muslimin. Adapun jumlah raka’at termasuk perkara yang diperselisihkan. Lalu mengapa kita mendahulukan perhatian terhadap perbedaan dari perhatian terhadap urusan yang telah disepakati?

Ketiga: Sesungguhnya yang terpenting adalah memberikan kelonggaran kepada manusia dalam masalah ini. Karena kita tahu bahwa diantara petunjuk Islam adalah kemudahan dan samahah (toleran) serta tidak memberatkan. Salah satu contoh kemudahan tersebut, seperti yang dijelaskan dalam hadits yang muttafaq ‘alaih dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash dan Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri pada haji wada’ lantas para sahabat saling bertanya kepada beliau. Lalu ada seseorang sahabat yang berkata kepada beliau, “Aku belum menyembelih. Bolehkah aku mencukur rambut sebelum menyembelih. Nabi mengatakan, “Menyembelilah! Tidak ada masalah!” Lalu datang yang lain seraya berkata, “Aku belum melontar (jumrah). Bolehkah aku menyembeih sebelum aku melontar (jumrah). Nabi mengatakan, “Melontarlah! Tidak ada ada masalah!” Tidaklah saat itu beliau ditanya tentang sesuatu yang didahulukan, tidak diakhirkan melainkan beliau selalu mengatakan “If’al Wa laa haraj /Lakukanlah, tidak ada dosa bagimu”.4

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyukai kelonggaran terhadap umatnya. Dan kita dapati, sikap seperti ini ditempuh oleh para Ulama Ahlussunnah dari masa ke masa. Demikianlah seharusnya di zaman ini kita menghindari sikap mempersulit manusia dalam shalat tarwih dan yang lainnya. Salah satu contoh sikap tidak mempersulit adalah hendaknya seorang Imam memperhatikan para makmum, kalau 20 raka’at memberatkan mereka , maka ia shalat 11 raka’at. Hal ini lebih tepat dan lebih dekat kepada sunnah.

Jika mereka telah terbiasa shalat 20 raka’at dan itu lebih ringan begi mereka ketimbang 10 raka’at yang berdiri lama, maka tidak mengapa ia shalat bersama mereka 20 raka’at. Sebab, tidak ada batasan (jumlah) shalat tarwih. Hanya saja yang wajib diperhatikan adalah salam setiap dua rak’at.

Pada akhirnya, yang seharusnya dilakukan terkait dengan shalat tarwih adalah memperhatikan keadaan orang-orang sebagaimana yang telah dijelaskan. Asalnya adalah orang awam mengikuti para ulama dan imamnya atau penuntut ilmu ditengah-tengah mereka. Dan asalnya bukan orang-orang awam mengharuskan kepada Imam jumlah tertentu dalam shalat tarwih. Tetapi hendaknya Imam memperhatikan kondisi mereka dan menghindari perselisihan diantara sesama jama’ah shalat, seperti telah dijelaskan. (Selesai)

Sumber: Diterjemahkan oleh Syamsuddin Al-Munawiy dari Risalah Durus Ramadhan; Waqafat Lish Shaim, Karya Syekh. DR. Salman bin Fahd al-‘Audah hafidzahullah.


1 HR. Malik dalam Al-Muwatha’ (248), Al-Faryabi dalam Kitab Ash-Shiyam (174), Ath –Thawawi dalam Syarh Ma’anil Atsar (1/293), Al-Baihaqiy dalam Sunan al-Kubro (4392)

2 Sunan al-Baihaqiy (3270)

3 HR. Bukhari (472), Muslim (749) dari hadits Abdullah bin Umar.

4 HR. Bukhari (83) dan Muslim (1306) dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Imam Bukhari (1307) meriwayatkan pula dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_img

Popular

More like this
Related

Wahdah Islamiyah Papua Barat Gelar Bekam Gratis, Jamaah Sambut dengan Antusias

MANOKWARI, wahdah.or.id — Dewan Pengurus Wilayah Wahdah Islamiyah (DPW...

Perkuat Kaderisasi Luar Negeri, Bidang I Gelar Liqa Maftuh Bersama DPLN Wahdah Arab Saudi

ARAB SAUDI, wahdah.or.id — Dewan Perwakilan Luar Negeri (DPLN)...

MUI Bahas Boikot dan Dampaknya, Ust. Zaitun: Masalah yang Kita Hadapi Sekarang adalah Persoalan Kemanusiaan

JAKARTA, wahdah.or.id - Fatwa boikot terhadap produk-produk yang terafiliasi...