Puasa Sya’ban: Gerbang Menuju Ramadhan
Oleh Ustad Maulana La Eda, Lc. Hafizhahullah
Memperbanyak puasa dibulan Sya’ban merupakan petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, beliau telah melakukannya sebagaimana dalam hadis Aisyah radhiyallahu’anha :
ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم استكمل صيام شهر قط إلا رمضان وما رأيته في شهر أكثر منه صياما في شعبان
Artinya : ” Saya tidak pernah melihat rasulullah shallallahu’alaihi wasallam berpuasa sebulan penuh kecuali dalam ramadhan dan saya tidak melihat beliau berpuasa lebih banyak daripada dibulan Sya’ban”. (HR Bukhari : 1969 dan Muslim : 1156)
Dari hadis diatas dapat dipahami bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tidak pernah berpuasa satu bulan penuh kecuali dalam bulan ramadhan, adapun puasa beliau dibulan sya’ban maka jumlah harinya melebihi puasa dibulan lainnya walaupun tidak sampai berpuasa sya’ban satu bulan penuh.
Hadis ini juga menunjukkan fadhilah memperbanyak puasa dibulan sya’ban ,namun ini bukan berarti fadhilah puasa sya’ban lebih utama daripada puasa muharram, karena bagaimanapun juga puasa Muharram tetap yang lebih utama setelah Ramadhan dengan beberapa alasan:
1.Adanya hadis yang shahih:
( أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم )
Artinya : “Puasa yang paling utama setelah puasa ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram”. (HR Muslim : 1163).
2.Memperbanyak puasa Sya’ban tidak menunjukkan bahwa ia lebih utama daripada puasa Muharram ,karena Rasulullah melakukannya dengan suatu alasan yaitu persiapan untuk menghadapi bulan Ramadhan.
3.Keutamaan puasa Muharram bersumber dari sunnah qauliyah (ucapan beliau) sedangkan puasa sya’ban bersumber dari sunnah fi’liyah (amalan beliau) ,dan jika keduanya kontradiksi maka sunnah qauliyah lebih diutamakan daripada sunnah fi’liyah.
4.Lagipula dalam bulan Muharram terdapat hari ‘asyuraa yang mana keutamaan puasa didalamnya dapat menghapuskan dosa satu tahun sebelumnya.
Adapun alasan beliau memperbanyak puasa dibulan sya’ban maka sebagian ulama mengatakan bahwa alasannya adalah:
1- untuk berlatih puasa sehingga terasa mudah menjalani puasa ramadhan karena telah terbiasa dengan puasa sya’ban,
2-atau beliau melakukannya untuk mengingatkan para sahabatnya dengan dekatnya bulan ramadhan,
3-atau sebagai rasa syukur atas dekatnya kedatangan ramadhan.
Lalu apakah dibolehkan berpuasa setelah pertengahan bulan sya’ban ?
Jawabannya adalah tetap dibolehkan berpuasa karena dalil larangan berpuasa selepas pertengahan sya’ban adalah dhoif lagi munkar yaitu hadis Al’Alaa’ bin AbdurRahman dari ayahnya dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
إذا انتصف شعبان فلا تصوموا
Artinya : “Jika bulan sya’ban telah memasuki pertengahan maka janganlah kalian berpuasa” (HR Ahmad : 2/442 dan Empat imam ahli sunan1).
Imam Ahmad mengomentari hadis ini : “ia adalah hadis munkar”, juga dinilai dhoif oleh Yahya bin Ma’in, Ibnu Mahdi, Abu Zur’ah, Nasai, Abu Bakr Al Atsram, Al Khalili, dan selain mereka. Hadis ini didalam sanadnya terdapat ‘Alaa’ bin AbdurRahman ; rawi yang tsiqah, namun para imam dan hufadz mengingkari hadis ini karenanya. Ibnu Mahdi berkata : “Al ‘Alla’ tsiqah, hadisnya tidak diingkari kecuali hadis ini”. Abu Hatim juga berkata : “ia ; shalih, para tsiqat telah meriwayatkan darinya, namun saya mengingkari beberapa hadisnya’, dan termasuk yang Abu Hatim ingkari dari riwayatnya adalah hadis ini2.
Adapun larangan berpuasa dalam bulan sya’ban adalah tanggal 30 sya’ban yang juga disebut sebagai yaum al syaq (hari syaq), karena dikhawatirkan saat itu ramadhan telah masuk. Dalil pengharaman puasa ini adalah hadis ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu’anhuma :
مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya ; “Barangsiapa yang puasa pada hari yang diragukan (masuk dalam ramadhan ; 30 sya’ban) maka ia telah bermaksiat terhadap Abul Qasim (Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam)”. (HR Abu Daud ; 2334, Ibnu Majah ; 1645, AnNasai (4/153) , Tirmidzi 68 6 dan berkata : hadis hasan shahih, juga dinukil oleh Bukhari dalam Shahihnya dari jalur Shilah dari ‘Ammaar radhiyallahu’anhu -sebelum hadis no. 1906- secara mu’allaq ( tanpa sanad yang bersambung ).
Puasa pada 30 sya’ban ini tidak boleh dilakukan kecuali ;
1.Bagi orang yang telah terbiasa puasa misalnya telah terbiasa puasa senin kamis atau puasa daud, maka ia boleh berpuasa pada hari itu jika bertepatan dengan hari puasa kebiasaannya ,ini sesuai sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam :
لا يتقدمن أحدكم رمضان بصوم يوم أو يومين , إلا أن يكون رجل كان يصوم صومه فليصم ذلك اليوم
Artinya : “janganlah seorang diantara kalian mendahului ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari kecuali jika seseorang telah terbiasa dengan puasanya, maka hendaknya ia berpuasa pada hari itu” . (HR Bukhari 1914).
2.Bagi orang yang masih memiliki utang qadha puasa ramadhan sebelumnya, maka ia wajib mengqadha puasanya walaupun bertepatan tanggal 30 sya’ban (yaum al syaq), karena puasa qadha ini adalah kewajiban yang harus ia bayar sebelum masuk bulan ramadhan.
3.Orang yang memiliki puasa nadzar atau puasa kaffaarah/denda, maka ia wajib bersegera membayar puasa nadzar/kaffarahnya ini sesegera mungkin karena ia adalah utang yang wajib ditunaikan dan tidak boleh ditunda walaupun dalam yaum al syaq.
Sebagian ulama berpendapat wajib berpuasa pada hari syaq ini sebagaimana pendapat sebagian ulama madzhab hanbaliyah3, dan sebagian mereka ada yang berpendapat mustahab/sunat, dan ada juga yang berpendapat makruh saja, namun yang benar/shahih adalah keharamannya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu barangsiapa yang melakukan puasa pada hari ini dengan tujuan kehati-hatian / ihthiyaath masuknya Ramadhan ,maka ia telah melakukan perkara haram dan puasanya tidak bernilai disisi Allah ta’ala.
Adapun puasa nishfu sya’ban atau pengkhususan malamnya dengan berbagai macam ibadah maka ia adalah perkara bid’ah yang tidak bersumber dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, namun bersumber dari hadis-hadis palsu dan batil. Walaahu a’lam.
1 .Abu daud (2337), AnNasai dalam Sunan Kubra (2/172), AtTirmidzi (738) dan Ibnu Majah (1651)
2 .Komentar-komentar ulama ahli hadis ini silahkan dilihat di Kitab Fathul-Bari karya Ibnu Rajab ; 4/152, Su-aalaat Al-barda’i 2/388, Lathaaiful-Ma’aarif ; 151, AsSunan Al-Kubra karya AnNasai ; 4/209, dan Al-Irsyad karya Al-Khalili (1/217).
3 .Adapun menisbatkan pendapat ini kepada Imam Ahmad sebagaimana yang terdapat dalam kitab Zaad Al Mustaqna’ atau kitab Haasyiah ArRaudh ,maka ini tidak shahih (Sulaiman Al’Ulwan).