Bulan suci Ramadhan kembali menyapa kaum muslimin. Bulan yang mulia, bulan yang sangat diagungkan dan ditunggu-tunggu, serta senantiasa dirindukan. Bulan yang penuh berkah, bulan Al-Quran, bulan kesabaran, bulan ampunan, bulan rahmah, serta bulan tarbiyah bagi orang-orang beriman. Bulan yang sarat dengan keutamaan dan lautan pahala yang berlipat ganda. Oleh karena itu, sudah selayaknya kaum muslimin menyambutnya dengan penuh kegembiraan dan kesyukuran.
Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya memberi kabar gembira kepada para shahabatnya dengan bersabda,’Telah datang kepada kalian bulan suci Ramadhan, bulan yang penuh berkah, Allah telah mewajibkan kalian berpuasa Ramadhan. Pada bulan ini pintu-pintu langit dibuka dan pintu-pintu jahannam ditutup, tangan-tangan syetan dibelunggu, dan di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, maka barangsiapa yang dijauhkan (diharamkan) dari kebaikannya, maka benar-benar telah dijauhkan.” (HR. an-Nasa’i)
Puasa di bulan Ramadhan merupakan amalan yang wajib dikerjakan kaum muslimin. Puasa Ramadhan merupakan rukun Islam ketiga, setelah syahadat dan shalat 5 waktu. Bagi mereka yang mengingkari kewajiban ini, bisa dikategorikan keluar dari agama Islam.
Mengerjakan puasa dimulai sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Selama waktu itu, kaum muslimin dilarang untuk mengerjakan hal-hal yang dapat membatalkan puasa, yakni makan, minum, dan berhubungan intim.
Demikian indahnya bulan Ramadhan. Alangkah meruginya mereka yang tidak memanfaatkan kehadiran bulan mulia tersebut dengan beramal dan beribadah sebanyak-banyaknya. Jika itu terjadi, hanya penyesalan yang akan diperolehnya. Menyesal karena telah menyia-nyiakan kesempatan emas yang dihadirkan Allah Subhanahu wa ta’ala untuk hamba-hamba yang dikasihi-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri.Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hasyr:18-19)
Konsumtif Dalam Pandangan Islam
Islam sebagai agama yang syamil dan kamil telah mengajarkan umatnya bagaimana tuntunan hidup yang baik. Salah satunya adalah dengan mengajarkan cara bersikap dan hidup sederhana serta menjauhi segala bentuk pemborosan dan berlebih-lebihan.
Salah satu sikap yang tergolong pemborosan adalah konsumtif. Konsumtif secara umum dapat diartikan sebagai perilaku yang lebih mengutamakan keinginan daripada kebutuhan, tanpa adanya skala prioritas yang jelas. Dengan kata lain, konsumtif adalah perilaku berlebih-lebihan atau boros dalam mengonsumsi barang dan jasa. Secara sederhana, konsumtif bisa juga disebut dengan gaya hidup bermewah-mewahan.
Pelaku prilaku ini, bahkan terkadang tak peduli jika harus mengorbankan banyak hal agar bisa mengikuti gaya hidup tersebut. Padahal, barang dan jasa yang dikonsumsi tersebut tidak terlalu diperlukan. Semuanya dilakukan hanya untuk memenuhi kepuasan nafsunya saja.
Tentu saja, Islam melarang gaya hidup konsumtif seperti ini. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya,
“Dan makan dan minumlah kalian, tetapi janganlah kalian berlebih-lebihan karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31).
Meski larangan yang disebutkan di atas hanyalah makan dan minum, tetapi hal ini juga berlaku keseluruhan. Kaum muslimin dilarang berlebihan serta menghambur-hamburkan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat serta tidak diperintahkan dalam agama. Sebaliknya, dalam setiap kondisi, umat Islam selalu diajarkan untuk sederhana dan menghindari terjadinya kemubasiran.
Bukan hanya itu, sikap menghambur-hamburkan harta secara boros disikapi dengan menggolongkan pelakunya sebagai saudara-saudara syaitan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (Terjemahan QS. Al Isro’: 26-27).
Dalam sebuah hadis juga disebutkan akan hal ini. Dari Miqdad bin Ma’di Karib radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu alami wasallam bersabda yang artinya,
“Tiada tempat paling buruk selain perut yang diisi oleh manusia. Cukuplah bagi manusia beberapa suapan sekadar untuk menegakkan tulang iganya. Jika dia mengisi perutnya, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumnya, dan sepertiga untuk pernapasan (udara)nya.” (HR. Ath-Thobrani dan Ibnu Abi AD-Dunya)
Puasa dan Budaya Konsumtif
Bulan Ramadhan adalah bulan tarbiyah, bulan pendidikan, dan pengajaran untuk kaum muslimin. Salah satu yang diajarkan adalah bagaimana bersikap sederhana serta bisa berempati dengan nasib saudara-saudara yang kurang beruntung dalam urusan duniawi.
Untuk itu diwajibkannya berpuasa selama sebulan. Puasa akan menjadi pengendali hawa nafsu manusia yang tak pernah berujung. Puasa juga akan menghadirkan kesyukuran atas segala nikmat dari-Nya. Dengan berakhirnya tarbiyah di bulan Ramadhan, diharapkan kaum muslimin akan menjadi umat yang lebih baik dan semakin baik.
Sayangnya, ada sebuah paradoks yang terjadi di bulan ini. Secara logika, dengan berpuasa, yakni adanya larangan makan dan minum di siang hari, tentu akan berdampak pada berkurangnya pengeluaran. Bukankah jatah makan, minum, serta jajan menjadi berkurang dari biasanya.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Di masa ini, tingkat konsumsi meningkat, yang berimbas pada besarnya pengeluaran. Alih-alih berhemat, yang terjadi malah pemborosan di mana-mana. Kaum muslimin pun terlihat lebih konsumtif di bulan ini.
Inilah salah satu fenomena berpuasa di zaman ini. Puasa tak lagi sekadar menahan lapar dan haus di siang hari. Ada godaan yang lebih hebat dari dua hal tersebut, yakni serangan budaya konsumerisme. Godaan ini memang tidak membatalkan puasa, tetapi budaya ini bisa menjebak dan membuat kaum muslimin terperangkap di dalam pusarannya.
Godaan konsumerisme ini merupakan akibat dari semakin berkembangnya budaya kapitalisme. Budaya ini senantiasa menempatkan konsumsi sebagai pusat kehidupan dalam tatanan sosial masyarakat.
Lihat saja, ketika bulan Ramadhan tiba, setiap saat iklan-iklan tampil menggoda di layar kaca, di media cetak, bahkan di layar ponsel yang selalu ada di genggaman. Belum lagi, tawaran promo dan diskon di sana sini. Semuanya sukses memaksa kaum muslimin mengeluarkan isi dompet lebih banyak dari biasanya.
Semua itu telah berhasil membius kaum muslimin. Kita seolah terhipnotis dengan tayangan yang sengaja dibalut berbau agama, mulai dari produk sandang, pangan, bahkan aneka jenis hiburan. Kita juga seolah-olah dihipnotis dan termakan dengan semua rayuan tersebut.
Akibatnya, banyak yang merasa kurang sreg bila di bulan Ramadhan tidak mengonsumsi produk A, tidak memakai produk B, atau tidak menyajikan produk C. Tentu saja, ini adalah sebuah mindset yang keliru karena hanya menjadikan kita sebagai sasaran empuk kapitalis.Umat Islam pun menjadi konsumen potensial untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya bagi mereka.
Nafsu manusia memang bisa diibaratkan seperti air, ia akan terus mengalir tanpa henti. Namun, bukan berarti nafsu ini tidak bisa ditahan atau dikendalikan. Inilah salah satu esensi dari dihadirkannya bulan Ramadhan. Bulan yang seharusnya menjadi pengendali nafsu-nafsu manusia yang tak berkesudahan. Bukan justru sebaliknya, menjadikan kaum muslimin terperangkap dalam jebakan konsumerisme.
Gaya hidup konsumtif terlihat dengan jelas di bulan ini. Dengan dalih untuk mengapresiasi mereka yang berpuasa, dihidangkanlah segala jenis makanan yang lebih istimewa dibanding hari-hari di luar bulan Ramadhan. Porsinya pun lebih banyak dari biasa, seolah-olah orang yang berpuasa tersebut tidak makan selama sebulan. Tentu saja, semua itu menghabiskan dana yang lebih besar dari biasanya.
Akibatnya, kemubasiran pun terjadi. Tentu saja, meski tidak makan sejak pagi hingga senja, kapasitas perut tetaplah terbatas. Makanan sebanyak itu tidak akan habis dan ujung-ujungnya hanya akan berakhir di tempat sampah. Dan, ini termasuk pemborosan (tabzir) dan perbuatan berlebih-lebihan yang tidak disukai dalam Islam.
Dan, hal ini akan semakin banyak terjadi di penghujung bulan Ramadhan. Dengan dalih menyambut datangnya hari Iedul Fitri, harta pun dibelanjakan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Bukannya fokus meningkatkan amal ibadah karena di penghujung Ramadhan akan hadir satu malam yang sangat istimewa, yakni malam Lailatul Qadar. Kebanyakan kaum muslimin justru melewatkan malam tersebut karena disibukkan dengan hal-hal lain yang melalaikan.
Tentu saja, umat Islam tidak dilarang untuk menghormati bulan Ramadhan dan bergembira menyambut datangnya hari kemenangan, Iedul Fitri yang mulia. Namun, tetaplah dalam kesederhanaan. Berbuka puasalah dengan makanan yang sederhana dan tak perlu berlebihan. Bukankah tujuan makan dan minum dalam Islam adalah agar bisa bertahan hidup. Selain itu, untuk menjaga kondisi tubuh agar selalu kuat dan sehat sehingga maksimal digunakan untuk bekerja dan beribadah, sebagaimana salah satu tujuan penciptaan manusia di muka bumi.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (Terjemahan QS. Adz Dzariyat: 56).
Demikian pula dengan Iedul Fitri, memakai pakaian bagus dan berhias di hari tersebut juga tidaklah dilarang. Bahkan, hal ini dianjurkan karena Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam dan para sahabat juga melakukan hal demikian.
Dari Ibnu Umar Radhliallahu ‘anhuma ia berkata,
“Umar mengambil sebuah jubah dari sutera tebal yang dijual di pasar, lalu ia datang kepada Rasulullah dan berkata, “Ya Rasulullah, belilah jubah ini agar engkau dapat berdandan dengannya pada hari raya dan saat menerima utusan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umar :’Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bahagian (di akhirat-pent)’. Maka Umar tinggal sepanjang waktu yang Allah inginkan. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan kepadanya jubah sutera. Umar menerimanya lalu mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata : ‘Ya Rasulullah, engkau pernah mengatakan : ‘Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bahagian’, dan engkau telah mengirimkan padaku jubah ini’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umar :’Juallah jubah ini atau engkau penuhi kebutuhanmu dengannya”.(HR Bukhari dan Muslim)
Dari hadis di atas, para ulama menetapkan bahwa memperbagus penampilan di hari raya merupakan sesuatu yang disyariatkan. Artinya, di hari tersebut kaum muslimin boleh bersenang-senang dengan berpenampilan yang indah dan terbaik.
Namun, semuanya tetap dalam koridor syariat sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Terlebih bagi para muslimah, hendaknya senantiasa memperhatikan batasan syariat agar tidak tergolong tabarruj, berhias yang dilarang agama.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (Terjemahan QS. Al-Ahzab: 33)
Meski demikian, harap dibedakan antara berlebih-lebihan yang berakibat pemborosan dengan memperbanyak bersedekah di bulan Ramadhan. Pemborosan atau tabzir adalah menggunakan atau menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar, sekalipun jumlahnya hanya sedikit. Adapun, jika seseorang mengunakan atau menginfakkan sesuatu, bahkan seluruh hartanya di jalan yang benar, itu tidak termasuk tabzir.
Oleh karena itu, tetaplah dalam kesederhanaan, yakni tidak boros dan tidak pelit dalam menginfakkan dan membelanjakan harta milik kita.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Terjemahan QS. Al-Furqan: 67).
Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan kebaikan. Setiap saat mengalir pahala yang berlipat ganda, yang tentunya sangat sayang jika tidak dipergunakan dengan mengerjakan amalan shalih. Semua itu adalah anugerah dari Allah dan bukti cinta-Nya kepada makhluk-Nya.
Semoga kita diberi umur panjang untuk berjumpa dengan Ramadhan. Semoga kita dan diberi kekuatan serta kemudahan untuk berlomba-lomba mengerjakan sebanyak mungkin amal kebaikan di bulan suci ini. Aamiin.[]
Oleh: Haeriah Syamsuddin