Di artikel ramadhan sebelumnya kita sudah membahas bahwa awal Ramadhan (salah satunya) ditentukan dengan hasil ru’yah hilal Ramadhan oleh seseorang yang ‘adl (shalih). Namun, bagaimana jika seseorang atau sebuah organisasi telah melihat hilal Ramadhan atau Syawal, lalu persaksiannya ditolak oleh penguasa (pemerintah), apakah yang melihat tersebut mesti puasa atau mesti berbuka? Ataukah keputusannya diserahkan kepada pemerintah atau penguasa?
Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di antara para ulama.
Pendapat pertama, menyatakan bahwa ia mesti puasa jika ia melihat hilal Ramadhan dan ia mesti berbuka jika ia melihat hilal Syawal. Namun keduanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi1 agar tidak menyelisi mayoritas masyarakat di negeri tersebut. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, salah satu pendapat dari Imam Ahmad rahimahullah dan pendapat Ibnu Hazm rahimahullah . Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya : ”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Pendapat kedua, menyatakan bahwa hendaklah orang yang melihat hilal sendiri hendaklah berbuka berdasarkan hilal yang ia lihat. Namun hendaklah ia berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.
Pendapat ketiga, menyatakan bahwa orang tersebut tidak boleh mengamalkan hasil ru’yahnya, ia harus berpuasa dan berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya. Dalil dari pendapat terakhir ini adalah sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam :
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
Artinya : “Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.” 2
Ketika menyebutkan hadits tersebut, Abu Isa At-Tirmidzi rahimahullah menyatakan, ”Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, “Puasa dan hari raya hendaknya dilakukan bersama jama’ah (yaitu pemerintah kaum muslimin) dan mayoritas manusia (masyarakat)”.
Pendapat terakhir ini menjadi pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga merupakan salah satu pendapat dari Imam Ahmad3 . Pendapat inilah pendapat yang rajih (kuat). Wallahu a’lam.
1 Bukan terang-terangan sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang atau sebagian organisasi Islam di negeri ini ketika mereka telah menyaksikan adanya hilal amun berbeda dengan pemerintah.
2 HR. Tirmidzi no. 697. Beliau mengatakan hadits ini hasan gharib. Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini shahih
3 Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 92 dan Majmu’ Al Fatawa, 25/114-115