POTRET CINTA SAHABAT KEPADA RASULULLAH
Bagian I
Diantara perkara aksiomatik dalam Islam adalah perkara mencintai Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-, sesungguhnya kaum muslimin telah sepakat tentang wajibnya mencintai beliau, bahkan hal tersebut merupakan salah satu dari cabang iman yang merupakan konsekwensi dari syahadat Muhammadur Rasulullah, diantara buktinya adalah bab yang disusun oleh Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i dalam kitab Shahih Muslim, beliau mengatakan:”Bab tentang wajibnya mencintai Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam- melebihi dari cinta kepada istri, anak-anak, orang tua, dan semua manusia…”, bab ini terselip di tengah ((Kitabul Iman)) di dalam Shahih Muslim.
Membahas tentang cinta Nabi –shallallahu alaihi wasallam- laksana membahas tentang masalah keimanan, sebab keduanya saling berkaitan, Rasulullah bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Artinya:”Tidak (sempurna) iman salah seorang hamba, hingga mencintai aku (Nabi Muhammad) melebihi cintanya kepada orang tuanya, anaknya, dan semua manusia di Muka bumi”.[HR. Bukhari dan Muslim].
Hadits diatas menegaskan dua hal:
Pertama: Cinta Nabi Muhammad –shallallahu alaihi wasallam- merupakan salah satu cabang iman, bahkan ia merupakan cabang yang hukumnya wajib sebagaimana yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi ketika membuat bab untuk hadits ini, maka hal ini tentunya menunjukkan keagungan dan kemuliaan amalan ini.
Kedua: Hadits ini memaparkan tentang kadar cinta seorang hamba kepada Nabinya, bahwa cinta yang berkwalitas adalah cinta yang kadarnya melebihi cinta kepada seluruh makhluk di muka bumi ini, termasuk cinta kepada orang tua, istri dan anak-anak.
Keagungan amalan ini bahkan berpengaruh bagi “cita rasa” iman seorang hamba, yang mana “manis dan getirnya” iman seorang hamba tergantung kuat dan lemahnya rasa cintanya kepada Allah dan RasulNya, sebagaimana sabda Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam-:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا…
Artinya:”Tiga hal jika berkumpul pada seseorang maka akan merasakan manisnya iman, (salah satunya adalah) mencintai Allah dan RasulNya melebihi dari segalanya”.[HR Bukhari no: 16 & Muslim no: 165].
Al-Imam An-Nawawi mengatakan:”Para Ulama mengatakan: yang dimaksud dengan manisnya iman adalah mengecap lezatnya ibadah dan berdiri kokoh diatas kesabaran ketika menghadapi ujian dan cobaan demi mendapatkan keridhoan Allah –subhanahu wata’ala-“.[Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim 2/13].
Puncak keutamaan dari amalan ini terpampang dengan jelas apabila hari kiamat datang menjelang, pada hari itu manusia dikumpulkan bersama orang-orang yang dicintainya ketika hidup di dunia, sebagaimana yang diinformasikan oleh Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam- yang diriwayatkan oleh imam Muslim no: 2639, Anas bin Malik mengatakan:
جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله متى الساعة؟ قال:((وما أعددت للساعة)) قال: حب الله ورسوله، قال:((فإنك مع من أحببت)).
Artinya:”Telah datang seseorang kepada Rasulullah, dan bertanya:Wahai Rasulullah, kapan datangnya hari kiamat? Maka Rasulullah menjawab: Apa bekal yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?, orang itu menjawab: Cinta kepada Allah dan RasulNya, maka Rasulullah bersabda: sesungguhnya engkau akan (dikumpulkan) bersama yang engkau cintai”.
Buncah kegembiraan memenuhi dada Anas bin Malik ketika mendengarkan hadits ini, dengan binar keriangan yang menghiasi wajah beliau, beliau mengatakan:
فما فرحنا بعد الإسلام فرحا أشد من قول النبي صلى الله عليه وسلم فإنك مع من أحببت قال أنس فأنا أحب الله ورسوله وأبا بكر وعمر فأرجو أن أكون معهم وإن لم أعمل بأعمالهم
Artinya:”Maka tiada rasa gembira yang lebih tinggi yang kami rasakan setelah bergembira dengan kenikmatan memeluk islam, kecuali setelah mendengar sabda Nabi ((sesungguhnya engkau akan dikumpulkan bersama yang engkau cintai)), Anas bin Malik mengatakan: maka sesungguhnya aku mencintai Abu Bakar dan Umar, dan aku berharap untuk berkumpul bersama mereka (di surga) kendati amalanku tidak sebanding dengan amalan mereka.[Shahih Muslim no 2639].
Diantara perkara yang sangat penting untuk ditanamkan kepada umat terkait tema ini, bahwa cinta kepada Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam- bukan hanya direfleksikan dengan ucapan lisan semata dan bukan sekedar pengakuan seorang muslim tanpa ada realisasi nyata, namun sesungguhnya cinta yang sejati kepada beliau –shallallahu alaihi wasallam- akan terealisasi dengan persaksian yang diucapkan lisan, dan perasaan cinta yang terpatri dalam sanubari, lalu diterjemahkan dalam amal nyata anggota tubuh kita.
Hasan Al-Bashri –rahimahullah- mengatakan:
لَيْسَ الْإِيمَان بِالتَّمَنِّي وَلَا بِالتَّحَلِّي، وَلَكِنْ مَا وَقَرَ فِي الْقَلْب وَصَدَّقَهُ الْعَمَل
Artinya:”Iman itu bukan dengan angan-angan dan hiasan belaka, namun iman adalah sesuatu yang terpatri di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.[Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah 13/504].
Cinta adalah cinta, Tidak ada deskripsi kalimat cinta yang lebih cocok daripada kalimat cinta itu sendiri, semua definisi tentangnya hanya menambah kerumitan dan kekeringan maknanya. Adanya cinta telah menunjukkan definisinya, Tidak ada ciri yang lebih jelas untuk menandai cinta daripada cinta itu sendiri, manusia –ketika membahas tentang makna cinta- hanya bisa berbicara tentang sebab, konsekuensi, ciri-ciri, bukti, buah, dan hukumnya saja, definisi cinta menurut mereka hanya berkutat sekitar enam hal ini saja, papar Ibnul Qoyyim dalam bukunya yang fenomenal Madarijus Salikin.
Salah satu problematika umat dewasa ini adalah ketimpangan dalam mengekspresikan rasa cinta kepada Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam-, sebagian kaum muslimin mengaku beriman dan cinta kepada beliau, namun yang aneh bin ajaib, bukannya mengagungkan dan menghormati sunnah warisan beliau, namun justru mencari aib dari sunnah-sunnah yang diwariskan, bahkan ironisnya, sebagian cenderung untuk mencela dan melecehkannya.
Dan sebagian kaum muslimin yang lain –sebenarnya fenomena ini adalah problematika klasik-, menampakkan cinta kepada Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan mengekspresikan kecintaannya dalam bentuk amal sholih, namun yang patut yang dikoreksi adalah ekspresi rasa cinta yang berlebihan dan melampaui batas, diantaranya adalah memuji beliau dengan sifat-sifat ketuhanan yang merupakan kekhususan bagi Allah –subhanahu wata’ala-, seperti mengatakan:
فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتها ***** وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ اللَّوْحِ وَالقَلَمِ
Artinya:(Wahai Nabi Muhammad) sesungguhnya dunia beserta seluruh isinya adalah bagian dari sifat dermawanmu, dan Yang ada di Lauhul Mahfudh merupakan bagian dari luasnya ilmumu.
Sebenarnya jika kita ingin mengambil contoh aplikatif dalam merealisasikan rasa cinta kepada Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka sudah ada generasi SHAHABAT yang layak untuk dijadikan panutan dan qudwah dalam perkara ini, mereka adalah generasi salaf yang dipuji oleh Rasulullah dengan sabdanya:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Artinya:”Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) pada zamanku (zaman sahabat), kemudian generasi yang setelahnya, kemudian generasi yang setelahnya”.[HR Bukhari&Muslim].
Sejatinya hadits diatas bersifat informasi, namun di dalamnya terselip pesan-pesan yang sangat bernilai bagi setiap generasi baru kaum muslimin, diantaranya:
- Hadits tersebut mengandung pujian terhadap tiga generasi utama dari umat ini, generasi sahabat Rasulullah, generasi Tabi’in dan generasi Atba’ut Tabi’in, bahwa mereka adalah generasi yang terbaik dari umat ini.
- Secara tersirat, terselip pada redaksi hadits diatas perintah untuk berqudwah dan menapaki jalan yang telah mereka jalani, khususnya dalam masalah agama, karena mereka adalah umat terbaik dari umat ini, dan secara logika mengikuti jalan generasi terbaik merupakan sebuah tuntutan dan keutamaan.
Oleh Ust. Lukman Hakim, Lc
(Alumni S1 Fakultas Hadits Syarif Universitas Islam Medinah Munawwarah dan Mahasiswa S2 Jurusan Dirasat Islamiyah Konsentrasi Hadits di King Saud University Riyadh KSA)
Bersambung ke POTRET CINTA SAHABAT KEPADA NABI – Bagian II