Tulisan ini hadir untuk lebih mendalami mana sih yang lebih sunnah antara merenggangkan dan merapatkan kedua kaki saat sujud?
Sebelum mengkaji lebih jauh ada baiknya penulis menukil pernyataan dua ulama kontemporer yang juga berbeda pendapat dalam masalah ini.

Pernyataan Syaikh Al-Albani rahimahullah

Dalam kitab Ashli Shifah Shalaah Al-Nabi shallallahu’alaihi wasallam (2/736), ketika beliau menjelaskan tentang tatacara sujud dan sampai pada pembahasan ini, beliau berkata : “Dan beliau shallallahu’alaihi wasallam (dalam sujud) merapatkan kedua tumitnya”. Dalam catatan kaki, beliau menyertakan takhrij hadis “merapatkan kedua tumit ini” dengan berkata: “Dalilnya berasal hadis Aisyah radhiyallahu’anha yang berkata:

فقدت رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -وكان معي على فراشي-؛ فوجدته ساجداً، راصّاً عقبيه ،مستقبلاً بأطراف أصابعه القبلة، … الخ.

Artinya: “Saya kehilangan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam (padahal awalnya beliau bersama saya ditempat tidur)… ternyata (setelah mencarinya dalam gelap), saya mendapatinya sedang sujud (dalam shalat), sambil merapatkan kedua tumitnya, dan menghadapkan ujung-ujung jari kakinya kekiblat…”.
Lalu beliau menyebutkan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Al-Thahawi dalam Al-Musykil (1/30), Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya (no,654), Al-Hakim dalam Mustadrak (1/228), dan Al-Baihaqi dalam Sunan Kurba (2/116) semuanya dari jalur Said bin Abi Maryam, dari Yahya bin Ayub, dari ‘Umarah bin Ghaziyyah, dari Abu Al-Nadhr, dari ‘Urwah, dari Aisyah radhiyallahu’anha. Beliau lantas menilai hadis ini shahih sesuai dengan syarat keshahihan menurut Muslim. Dan hadis ini dinilai shahih oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Al-Talkhis (3/475).
Tambahan Penulis: Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya (no.1933), dari jalur Said bin Abi Maryam, dengan sanad diatas.

Pernyataan Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah

Ibnu Baaz rahimahullah dalam acara Nur ‘Ala Al-Darb ditanya: Bagaimanakah cara menempatkan kedua kaki ketika sujud, apakah keduanya dirapatkan atau direnggangkan?

Beliau menjawab: “Keduanya direnggangkan, yang sunnah merenggangkan kedua kaki. Sebagaimana ia merenggangkan kedua tangan ketika sujud, maka harusnya ia juga merenggangkan kedua kakinya. Adapun hadis yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau : sujud (dalam shalat), sambil merapatkan kedua tumitnya, dan menghadapkan ujung-ujung jarinya kekiblat…”. Maka lafadz hadis ini lemah, yang benar adalah bahwa hadis ini (lafadz : sambil merapatkan kedua tumitnya-pent) adalah syaadz : menyelisihi hadis-hadis shahih (yang sepertinya tapi tanpa lafadz ini). Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Hakim dan sekelompok penyusun kitab hadis, akan tetapi yang mahfudz (benar) adalah Bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menegakkan kedua kakinya ketika sujud, dan masing-masing kakinya tegak secara terpisah (tidak dirapatkan)”. (Fataawa Nur Ala Al-Darb : 8/294).

Dari dua pernyataan ini, kita bisa menyimpulkan bahwa titik perbedaan keduanya adalah sebagai berikut:

Yang berpendapat sunnahnya merapatkan kedua kaki; berhujjah dengan hadis diatas yang lengkap dengan lafadz: ” sambil merapatkan kedua tumitnya…”. Bahwa tambahan lafadz ini adalah shahih.
Hadis ini diriwayatkan dari jalur yang disebutkan oleh Syaikh Al-Albani diatas, dan beliau menilainya sesuai dengan syarat keshahihan Shahih Imam Muslim. Bahkan Imam Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/228) menyatakan: “Hadis ini shahih sesuai dengan syarat keshahihan dalam kitab Shahihain (Bukhari Muslim) namun mereka berdua tidak meriwayatkannya dengan lafadz ini, dan saya tidak mengetahui seorang rawi pun yang menyebutkan tambahan lafadz “merapatkan kedua tumit” dalam sujud kecuali dalam hadis ini saja”.

Komentar Al-Hakim ini bisa diklasifikasikan dalam dua bagian:
Pertama: Komentarnya bahwa hadis ini sesuai dengan syarat Shahihain adalah tidak benar, karena salah seorang rawi yang bernama Umarah bin Ghaziyah -sebagaimana dalam sanad hadis diatas- bukan merupakan rawi dalam Shahih Bukhari. Sebab itu Al-Albani rahimahullah menilai hadis ini hanya sesuai dengan syarat Muslim saja.

Kedua: Komentar beliau bahwa tambahan lafadz “merapatkan kedua tumit” hanya ada dalam hadis dengan jalur ini, dan tidak ada dalam hadis-hadis dari jalur lain, tidak mengisyaratkan bahwa ziyaadah/tambahan lafadz ini syaadz karena sanadnya hasan/shahih. Namun, bagi yang tidak sependapat menjadikan komentar ini sebagai hujjah kuat untuk meruntuhkan shahihnya tambahan lafadz ini, karena dalam jalur-jalur lain tidak pernah satupun menyebutkan ziyaadah/tambahan ini, sebagaimana dalam pembahasan selanjutnya.
Atas shahihnya tambahan lafadz ini, maka sebagian ulama berpendapat harus merapatkan tumit tatkala sujud, diantaranya: Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya (no,654), Al-Baihaqi dalam Sunan Kurba (2/116), dan Ibnul-Mundzir dalam Al-Awsath (3/172), semuanya meletakkan hadis ini dalam bab: merapatkan kedua tumit dalam sujud. Diantara ulama kontemporer yang berpendapat seperti selain Syaikh Al-Albani adalah Syaikh Ibnu Al-‘Utsaimin rahimahullah sebagaimana dalam kitabnya Al-Syarh Al-Mumti’ (3/121-122)

Adapun yang berpendapat sebaliknya: maka berhujjah bahwa ziyaadah/tambahan lafadz tersebut: syaadz/dhoif karena menyelisihi hadis-hadis dari jalur lain yang tanpa ada tambahan lafadz tersebut.
Ini merupakan madzhab syafii sebagaimana disebutkan Imam Syafi’iyah dalam Al-Umm (1/137) dan Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ (3/341) dan Raudhah Al-Thalibin (1/259), juga madzhab hanabilah sebagaimana disebutkan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (1/374), dan Ibnu Muflih dalam Al-Mubdi’ Fi Syarh Al-Muqni’ (1/401) dan (1/404), juga madzhab Imam Al-Syaukani dalam Nail Al-Awtahr (2/297) dan Ibnu Baaz sebagaimana disebutkan sebelumnya. Dalam Madzhab Syafi’iyah, disebutkan dalam Raudhah (1/359) bahwa jarak antara kedua kaki adalah sejengkal.

Olehnya, untuk menentukan mana yang benar, maka kita harus mengkaji apakah tambahan lafadz diatas shahih ataupun tidak.

Takhrij Hadis Dari Berbagai Jalur Dan Lafadznya:

Hadis diatas diriwayatkan dari beberapa jalur :
1-Jalur Yahya bin Said, dari Muhammad bin Ibrahim Al-Taimi, dari Aisyah: HR Malik dalam Al-Muwatho (no: 150), Tirmidzi dalam Jami’ (no.3493), Nasai dalam Sunan Shughra (2/222).
2- Jalur AbdurRahman Al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari Aisyah: HR Muslim dalam Shahih (2/51), Ahmad dalam Musnad (6/201), Abu Daud dalam Sunan (no.879), Nasai dalam Sunan Shughra (2/210), Ibnu Majah (no.3841), dan Ibnu Khuzaimah (no.655).
3-Jalur Ibnu Abi Maryam, dari Yahya bin Ayyub, dari Umarah bin Ghaziyyah, dari Abu Al-Nadhr, dari Urwah bin Zubair, dari Aisyah: HR Ibnu Khuzaimah dalam Shahih (no.654), Ibnu Hibban dalam Shahihnya (no.1933), Al-Hakim dalam Mustadrak (1/228), dan Al-Baihaqi dalam Sunan Kurba (2/116).. INI ADALAH SATU-SATUNYA JALUR DENGAN TAMBAHAN LAFADZ “merapatkan kedua tumitnya” sebagaimana disebutkan sebelumnya.
4-Hisyam bin Urwah, dari Urwah dari Aisyah: HR Baihaqi dalam Khilafiyyat (no.495)
5-Jalur Masruq dari Aisyah: HR Nasai dalam Shughra (8/283).
6-Jalur Ibnu Abi Mulaikah dari Aisyah: HR Muslim dalam Shahih (2/51), Ahmad (6/151), Nasai dalam Shughra (2/223), dan Abu Awanah dalam Mustakhraj (1/489).
7-Jalur Amrah, dari Aisyah: HR Daruquthni (no.35), dan Thahawi dalam Syarh Al-Ma’ani (1/234).
8-Jalur Hilal bin Yasaaf dari Aisyah: HR Ahmad dalam Musnad (6/147) dan Nasai dalam Sunan (2/220).
9-Shalih bin Said, dari Aisyah: HR Ahmad dalam Musnad (6/209).

Dari Semua jalur periwayatan ini, tidak ada yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam merapatkan kedua tumitnya atau kakinya, kecuali riwayat Said bin Abi Maryam, dari Yahya bin Ayyub, dari Umarah bin Ghaziyyah, dari Abu Al-Nadhr, dari Urwah bin Zubair, dari Aisyah, sebagaimana dalam jalur no.3 diatas. Kesimpulannya, hanya pada jalur ini saja (riwayat Urwah dari Aisyah) yang menyebutkan tambahan lafadz ini, adapun riwayat lain: seperti: Muhammad bin Ibrahim Al-Taimi (lihat no.1), AbdurRahman Al-A’raj, dari Abu Hurairah (no.2), Masruq (no.5), Ibnu Abi Mulaikah (no.6), Amrah (no.7), Hilal bin Yasaaf (no.8), dan Shalih bin Saiid (no.9). Tujuh rawi dari Aisyah ini meriwayatkan dari Aisyah tanpa tambahan lafadz (merapatkan kedua tumitnya atau kakinya).

Namun, ternyata murid-murid Urwah sendiri tidak sama persis meriwayatkan lafadz tambahan ini dari Urwah. Sebab ini hanya ada dalam riwayat Umarah bin Ghaziyyah, dari Abu Al-Nadhr, dari Urwah bin Zubair, dari Aisyah. Buktinya, Hisyam bin Urwah, meriwayatkan dari ayahnya Urwah, dari Aisyah tanpa tambahan lafadz (merapatkan kedua tumitnya atau kakinya). (lihat jalur no.4 diatas).

Pembahasan; Apakah Tambahan Lafadz Ini Shahih Dari Riwayat Urwah, atau Tidak?

Pembahasan sanad Hisyam bin Urwah: Dalam sanadnya terdapat Sulaiman bin Abi Karimah, yang merupakan murid Hisyam bin Urwah. Penulis tidak mendapatkan komentar yang banyak dari para ulama Jarh wa Ta’dil tentangnya kecuali dari Abu Hatim dan Ibnu Adi :
Komentar Abu Hatim: Hadisnya dhoif. Al-Jarh Wa Ta’dil (4/138).
Komentar Ibnu Adi: Kebanyakan hadisnya munkar. Al-Kaamil (4/250)
Ini menunjukkan bahwa Jalur sanad dari Hisyam bin Urwah ini dhoif karena didalamnya terdapat Sulaiman bin Abi Karimah yang dinilai dhoif.

Pembahasan Sanad Abu Al-Nadhr: Dalam sanadnya terdapat rawi yang diperselisihkan oleh ulama yaitu Yahya bin Ayyub Al-Ghafiqi Al-Mishri. Berikut komentar para ulama:

Komentar yang menilainya tsiqah:
-Ibnu Adi: Shoduq La Ba’sa bihi (Artinya: Derajatnya Shoduq). Al-Kaamil (9/59)
-Bukhari, Al-fasawi, dan Ibnu Main: Tsiqah. Tarikh Darimi, tarikh Kabir (2919), Al-Ma’rifah wa tarikh (2/449), dan (719), Al-jarhwa Ta’dil (9/128 ).
-Ibnu Main dan Abu Daud juga berkata: Shalih. .Al-jarh (9/128 ), Tahdzib Al-Kamal (31/236).
-Al-Tirmidzi: Shoduq. Al-‘Ilal Al-Kabir (hal.117)
-Juga dinilai tsiqah oleh Ibnu Hibban (Ats-Tsiqat: 7/600), dan Al-‘Ijliy (Ats-tsiqat: hal.468 ).

Komentar yang menilainya dhoif/mendekati :
-Nasai: Laisa Bil Qawiy (Tidak kuat hafalannya/dhoif). Al-Dhu’afaa’ (626)
-Ibnu sa’ad: Munkarul Hadits (Hadisnya Munkar). Al-Thabaqaat (7/357)
-Ibnul-Qaththan: Laa Yuhtajju bihi (Tidak bisa dijadikan sebagai hujjah). Bayaan Al-wahm (4/69).
-Abu Hatim: Yuktabu Haditsuhu wa laa yuhtajju bihi (Hadisnya ditulis, dan dijadikan penguat, dan bisa dikuatkan bila ada jalur lain yang menopangnya,, akan tetapi ia tidak dijadikan hujjah bila hanya tafarrud/sendiri dalam meriwayatkan hadis). Al-jarh Wa Al-Ta’dil (9/128 ).
-Imam Ahmad: Yukhthiu Khothaan Katsiiran (Memiliki kesalahan yang banyak dalam riwayatnya). Al-‘Ilal (2/131)
-Daruquthni: Fi Ba’dhi Hadiitsihi Idhthirob (Dalam hadisnya terdapat banyak kontradiksi). Al-Sunan (1/68)
-Ibnu Hazm: Saaqith (Artinya: Jatuh sisi tsiqahnya dan tidak bisa dijadikan hujjah sama sekali, atau sama dengan: dhoif jiddan). Al-Muhalla (4/180)
-Abu Ahmad: Kalau ia meriwayatkan hadis dari hafalannya maka ia banyak salah, bila dari kitabnya maka: laisa bihi ba’sun. Al-Tahdzib (11/187).
Banyak ulama yang menilainya dhoif seperti Al-Uqaily (Al-Dhu’afaa’: 4/391), Ibnul-jauzi (Al-Dhu’afaa’: 3/191), AdzDzahabi (Al-Mughni: 2/731), dan Ibnul-Qayim (Zaad Al-Ma’aad 5/683) dan selain mereka, bahkan Al-Uqaily, Ibnu Hazm dan Ibnul-Qayim menukil bahwa Imam Malik mengomentarinya: “Kadzaab”. Al-Dhu’afaa’ (4/391), Al-Muhalla (6/124) dan Zaad Al-Ma’aad (5/683).
-Ibnu Hajar; Shoduuq Rubbama Akh’thoa. At-Taqrib (7511).
Lihat juga: tahdziib Al-Kamaal (31/233) dan Al-Tahdzib (11/186 dan halaman setelahnya).

Dari komentar para ulama ini dapat disimpulkan bahwa: Hujjah yang menilainya dhoif adalah kelemahan hafalannya, sebab itu Abu Ahmad menyatakan bahwa bila ia meriwayatkan dari hafalannya maka salah, bila dari kitabnya maka: laisa bihi ba’sun. Bila rawi seperti ini sifat hafalannya maka hukumnya adalah sebagaimana dalam ucapan Abu Hatim: yuktabu hadiistuhu wa laa yuhtajju bihi. (Hadisnya ditulis, dan dijadikan penguat, dan bisa dikuatkan bila ada jalur lain yang menopangnya,, akan tetapi ia tidak dijadikan hujjah bila hanya tafarrud/sendiri dalam meriwayatkan hadis).
Komentar penilaian dhoif ini begitu terperinci, dan begitu jelas penafsiran, dan penjelasan dhoifnya. Sedangkan para ulama yang menilainya tsiqah/shoduq: tidak memberikan penjelasan rinci akan sebab tsiqah/shoduq-nya.
Dan dalam kaidah Jarh Wa Ta’dil adalah “Al-Jarh Al-Mufassar Muqaddamun ‘Alaa Al-Ta’diil Al-Mubham” (Jarh/penilaian dhoif yang terperinci dengan sebab-sebabnya, lebih dikedepankan daripada Ta’dil/penilaian tsiqah-shoduq yang tanpa penyebutan sebab-sebabnya). Lihat; Dhowabith Al-Jarh Wa Al-Ta’dil (hal.58- 62).
Imam Ahmad berkata: “Setiap rawi yang ‘adalah/sisi tsiqahnya telah jelas, maka jarh/penilaian dhoif atasnya tidaklah diterima kecuali harus dengan penjelasan yang gamblang akan sebab-sebabnya yang mana hal tersebut tidak bermakna kecuali memang sisi jarh/penilaian dhoifnya”. Al-Tahdzib (7/273).

Dan ini pula ditegaskan oleh Ibnu Hajar dalam halaman yang sama dalam kitabnya Al-Tahdzib.
Dalam sanad ini: Rawi Yahya bin Ayyub Al-Ghafiqi telah dinilai tsiqah atau shoduq oleh beberapa ulama tanpa ada penjelasan terperinci akan sebab tsiqahnya, lalu datang dari ulama lain bahkan lebih banyak, menilai bahwa ia dhoif dari segi hafalannya, dengan menjelaskan sebab dhoifnya secara terperinci dan gamblang, sehingga penilaian jarh ini harus diterima dan lebih dikedepankan dalam hukum rawi ini, sebagaimana ucapan Imam Ahmad dan Ibnu Hajar.
Jadi: yang rajih dan benar dari derajat Yahya bin Ayyub Al-Ghafiqi ini adalah: (Hadisnya ditulis, dan dijadikan penguat, dan bisa dikuatkan bila ada jalur lain yang menopangnya,, akan tetapi ia tidak dijadikan hujjah bila hanya sendiri dalam meriwayatkan hadis).

Kesimpulan:
Tambahan lafadz (merapatkan kedua tumitnya dalam sujud) adalah ziyaadah syaadzah/ tambahan yang tidak shahih, sebagaimana disinggung oleh Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah diatas dengan beberapa sebab:

1.Riwayat Abu Al-Nadhr dalam sanadnya terdapat yahya bin Ayyub yang tidak bisa dijadikan dalil bila meriwayatkan hadis secara tafarrud/sendiri.apalagi sampai menyelisihi rawi-rawi atau riwayat-riwayat yang lain.

Bahkan, apabila kita menilai bahwa Yahya bin Ayyub ini tsiqah/shoduq (sebagaimana pernyataan Al-Hakim dan Al-Albani bahwa sanadnya sesuai dengan syarat Muslim), maka sangat diyakini bahwa tambahan lafadz tersebut berasal darinya (karena kelemahan hafalannya) sehingga meriwayatkan hadis ini dengan makna, yang akhirnya terjatuh dalam kesalahan menambahkan lafadz tersebut. Dan kita telah ketahui bahwa ia memiliki sisi hafalan yang dhoif.

2. Bahkan andai sanad ini shahih dari riwayat Urwah, dan kita tetap ngotot bahwa Yahya bin Ayub ini tsiqah atau shoduq, maka ziyaadah/tambahan lafadz tersebut tetap dinilai dhoif, karena para rawi dari Aisyah yang banyak sekali yaitu sekitar tujuh rawi tidak menyebutkan tambahan lafadz ini, padahal mereka adalah para ulama ahli hadis yang sangat tsiqah dan kuat hafalannya serta diantara mereka merupakan murid yang dekat sekali dengan Aisyah. Ini menunjukkan bahwa pasti ada rawi setelah Urwah yang menambahkan lafadz ini, karena kesalahan hafalan atau lainnya. Wallaahu a’lam.

Nah, dengan kesimpulan ini, maka kita bisa merajihkan bahwa pendapat yang benar adalah tambahan lafadz ini tidak shahih, dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil. Sehingga yang benar dalam posisi kaki ketika sujud adalah tetap direnggangkan. Wallaahu a’lam.

Dalil Lain Yang Dijadikan Sebagai Penguat Pendapat Ini:
HR Abu Daud dalam Sunannya (no.735) dari Abi Humaid dengan sanad shahih bahwa:
إذا سجد فرج بين فخذيه غير حامل بطنه على شيء من فخذيه
Artinya: “Apabila beliau shallallahu’alaihi wasallam sujud maka beliau menjauhkan antara kedua pahanya, tidak menempelkan perutnya pada pahanya”.
Dalam Syarah Hadis ini, Imam Al-Syaukani menyatakan: lafadz “beliau menjauhkan antara kedua pahanya” artinya adalah menjauhkan kedua paha, kedua lutut, dan kedua kakinya”. Nail Al-Awthar (2/297).

Tambahan:
Sebagian ulama yang berpendapat sunatnya merapatkan kedua kaki juga berpendapat dengan lafadz lain dari hadis ini yaitu dalam Jalur AbdurRahman Al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari Aisyah: HR Muslim dalam Shahih (2/51), dengan redaksi:

فقدت رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة من الفراش فالتمسته فوقعت يدي على بطن قدميه وهو في المسجد -وفي رواية: وهو ساجد- وهما منصوبتان…

Artinya: “Saya kehilangan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pada suatu malam ditempat tidur, lalu sayapun mencarinya dengan meraih-raih tanganku (karena gelap), hingga tanganku menyentuh kedua telapak kakinya, sedangkan ia dalam sujud, kedua kakinya tersebut ditegakkan”.

Dari lafadz hadis ini sebagian ulama menyatakan bahwa tidak mungkin satu tangan Aisyah menyentuh dua kaki Nabi yang masih sedang sujud, kecuali kaki beliau sedang dirapatkan. Dan ini merupakan dalil sunnahnya merapatkan dua tumit atau dua kaki ketika sujud.

Menjawab pernyataan sebagian ulama ini, Syaikh Al-Tharifi dalam kitabnya “Shifat Shalat Nabi (hal.132-133) menyatakan: “Ucapan Aisyah bahwa tangannya menyentuh kedua kaki beliau shallallahu’alaihi wasallam, tidak menunjukkan bahwa kedua kaki beliau dirapatkan ketika sujud, bahkan kemungkinan besar redaksi hadis yang ada dalam Shahih Ibnu Khuzaimah (yang ada tambahan lafadz “merapatkan kedua tumitnya”) adalah yang dipahami sebagian rawi dari hadis ini (lafadz : menyentuh dua kaki beliau), sehingga iapun meriwayatkannya dengan pemahamannya tersebut (yaitu dengan mengganti redaksinya menjadi “beliau merapatkan kedua tumitnya”).

Redaksi hadis (hingga tanganku menyentuh kedua telapak kakinya) dari riwayat Aisyah, tidaklah bisa dijadikan sebagai dalil (bahwa beliau merapatkan dua kakinya) karena beberapa alasan:
Pertama: Bahwa Aisyah menyebutkan redaksinya dalam bentuk berlebihan, artinya bahwa ketika ia menyentuh satu kaki beliau, maka otomatis kaki beliau yang lain ada disebelahnya, walaupun ia tak menyentuhnya. Namun untuk lebih memberikan keyakinan, ia mengucapkannya “menyentuh dua kaki”, bukan “satu kaki’. Hal ini merupakan hal biasa (dalam ungkapan bahasa arab).

Kedua: Bisa saja satu tangan, menyentuh langsung kedua kaki, walaupun kaki tersebut tidak dirapatkan satu sama lainnya, seperti ujung telapak tangan menyentuh kaki kanan, sedangkan ujung tangan lainnya/pangkal telapak tangan menyentuh kaki kiri, sehingga dibahasakan: Tanganku menyentuh kedua kakinya.
Sebab itu, yang lebih benar sesuai sunnah adalah kedua kaki sesuai kebiasaannya dalam sujud, tanpa harus sengaja berlebihan dalam merenggangkan, dan tanpa sengaja dalam merapatkan”.

Pernyataan beliau ini begitu jelas bahwa redaksi/lafadz (hingga tanganku menyentuh kedua telapak kakinya) memiliki beberapa kemungkinan yaitu bisa saja kakinya disatukan/dirapatkan dan bisa saja dipisahkan/direnggangkan. Karena keduanya sama-sama bisa dijadikan kesimpulan dari redaksi hadis ini, maka sisi pendalilan dari redaksi ini dibatalkan dan tidak shahih, sebab kaidah fiqh menyatakan: “Maa Tathorraqa Ilaihi Al-Ihtimaal Bathula Bihi Al-Isidlaal” (Jika suatu dalil memiliki kesimpulan-kesimpulan yang berbeda dalam bentuk pendalilannya, maka pendalilan dengan dalil tersebut batal/tidak shahih). Jadi, dengan demikian, kita kembali ke hal semula, bahwa kaki tetap direnggangkan dengan memperhatikan ucapan Syaikh Al-Tharifi, yaitu tanpa sengaja merenggangkan secara lebar, dan tanpa berlebihan merapatkannya, namun harus pada pertengahan, dan tanpa harus adanya takalluf/membebani kaki dalam melakukannya. Wallaahu ta’ala a’lam.

Oleh: Maulana La Eda, Lc. MA.

Artikulli paraprakMuawiyah bin Muawiyah Al-Muzani Radiyallahu ‘anhu; Dishalatkan 140.000 Malaikat
Artikulli tjetërIMBAUAN: Pelaksanaan Shalat Gerhana Bulan Sabtu, 14 Dzulqa’dah 1439 H/ 28 Juli 2018 M

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini