(Catatan Muktamar I Wahdah Islamiyah, dimuat di kolom Opini Harian Tribun Timur)
Oleh : Syarifuddin Jurdi
Dosen Sosiologi Politik UIN Jogjakarta; Kandidat Doktor Ilmu Politik UGM
Wahdah Islamiyah adalah organisasi sosial kemasyarakatan yang telah berdiri sejak tahun 1980-an, namun saat reformasi politik tahun 1998, Organisasi ini terus menyesuaikan diri dengan perubahan yang berlangsung, hingga tahun 2002 Wahdah Islamiyah bermetamorfosis menjadi Ormas Islam yang memiliki ruang gerak yang mencakup wilayah Indonesia. Pada tanggal 22 Juli 2007, Muktamar I Wahdah Islamiyah telah dibuka oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Muktamar pertama setelah menjadi ormas ini memiliki makna yang penting bagi Wahdah Islamiyah, selain merumuskan agenda-agenda kerja sosial kemasyarakatan dalam kurun waktu lima tahun mendatang, tetapi juga memperkuat jaringan kerja dengan berbagai pihak termasuk pemerintah.
Dalam Muktamar ini, Wahdah Islamiyah mengangkat tema penting yakni Ukhuwah Islamiyah (penguatan persaudaraan) antar sesama manusia. Tema ini sangat sesuai dengan keadaan umat Islam Indonesia dewasa ini, khususnya Sulawesi Selatan menjelang Pemilihan Gubernur yang akan berlangsung akhir tahun ini. Keretakan hubungan antar elite politik akibat pilihan politik yang berbeda, telah melegitimasi kekhawatiran sebagian umat Islam bahwa ukhuwah Islamiyah antar sesama muslim sangat rapuh, seringkali ukhuwah berlangsung hanya karena ikatan-ikatan kepentingan dan pamrih kekuasaan.
Penegasan Wahdah mengenai pentingnya ukhuwah Islamiyah sebenarnya memperlihatkan kepedulian organisasi ini pada kenyataan konkret tentang rapuhnya relasi-relasi kejujuran dan ketulusan yang secara real dan faktual nyata dalam kehidupan kita sehar-hari. Kerapuhan ukhuwah seringkali termanifestasikan secara konkret, ketika ada hajatan politik dan tujuan-tujuan tertentu yang hendak dicapai, kepada siapa yang menghalangi tercapainya tujuan itu, akan dinafikan atau diabaikan – bila perlu “diputus” hubungan silaturrahim.
Penguatan simpul-simpul kejujuran dan ketulusan dalam relasi sosial menjadi penting dalam doktrin ideologi Wahdah, politik dimensi politik terpenting yang dikembangkan wahdah. Umat Islam hanya mungkin dapat bangkit dengan adanya relasi mutualisme positif antar sesama Islam, kendati relasi-relasi kemanusiaan dengan berbagai pihak yang lain patut kiranya dipertimbangkan untuk menciptakan suatu peradaban yang unggul bagi Indonesia. Ukhuwah antar sesama muslim dan ukhuwah kemanusiaan menjadi penting peranannya dalam pembentukan peradaban yang khairah ummah.
Muktamar Wahdah: Banyak Agenda
Selain agenda memperkuat ukhuwah antar sesama muslim, Wahdah memiliki banyak agenda dan tugas yang tampaknya tidak mudah dirumuskan dan dikerjakan dalam waktu yang pendek. Dalam kegiatan pra-Muktamar yang berlangsung tanggal 7-10 Juli 2007 di Pondok Madinah telah dibicarakan sejumlah agenda kerja Wahdah – baik untuk tujuan jangka panjang maupun jangka menengah dan jangka pendek. Salah satu agenda besar yang terungkap adalah keinginan gerakan ini untuk menjadi organisasi sosial kemasyarakatan Islam yang bersifat nasional sebagaimana ormas Islam lainnya.
Dalam rangka mencapai cita-cita sebagai gerakan yang bersifat nasional dan tersebar di seluruh Indonesia, Wahdah merumuskan visi 2015. Visi ini menugaskan kepada elite-elite Wahdah untuk mengusahakan agar tahun 2015 itu, Wahdah telah memiliki cabang-cabang di seluruh Indonesia. Tampaknya, agenda ini merupakan agenda besar Wahdah Islamiyah yang harus diwujudkan oleh pengurus Wahdah yang terpilih dalam Muktamar, setidaknya elite Wahdah masih memiliki waktu delapan tahun untuk merealisasikan visi itu.
Selain visi 2015, Wahdah juga “memboyong” isu moralitas dan kejujuran. Isu ini memperoleh perhatian yang signifikan dari para peserta Muktamar, bagaimanapun persoalan moralitas dan kejujuran pribadi para elite dan warga masyarakat telah menjadi “momok” yang menakutkan, sebab elite-elite berkuasa tidak lagi memperhatikan rambu-rambu moralitas dalam menjalankan aksi-aksi politik dan bahkan para penguasa dalam mengambil kebijakan terkadang mengabaikan aspirasi politik rakyat. Fenomena sosial ini harus direspons oleh Wahdah Islamiyah dan menjadi point yang diputuskan dalam Muktamar.
Isu tentang ekonomi umat, pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan menjadi domain yang banyak dibahas oleh elite-elite Wahdah. Apabila melihat kiprahnya selama ini, Wahdah telah menunjukkan pemihakannya pada penguatan peran-perannya pada bidang-bidang tersebut. Wahdah Islamiyah dapat dipandang sebagai ormas yang merepresentasikan politik umat untuk pembebasan manusia dari ketidak-berdayaan secara akidah, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Politik representasi Wahdah harus menyentuh segala aspek yang terjadi dalam masyarakat.
Agenda Pencerahan dan Pemberdayaan
Agenda pencerahan dan pemberdayaan merupakan keniscayaan bagi gerakan sosial keagamaan termasuk Wahdah Islamiyah, hanya dengan pemberdayaan, otonomi masyarakat dapat diciptakan, masyarakat yang otonom adalah masyarakat yang melek politik, sosial, ekonomi dan keagamaan. Karena itu, Wahdah harus mengambil peran dalam proyek pemberdayaan, penyadaran dan pencerahan, terutama segmen masyarakat yang menjadi basis utama kekuatan Wahdah saat ini adalah generasi muda dan mahasiswa.
Perhatian Wahdah Islamiyah pada bidang sosial yang berorientasi pada pembinaan moral dan kesadaran umat dan generasi muda akan menjadi investasi bagi masa depan Wahdah. Para founding fathers dahulu telah memberikan perhatian pada generasi muda, bahkan ada ucapan yang sangat meyakinkan mengenai posisi kaum muda dari pendiri bangsa ini, katanya “berikan kepadaku sepuluh generasi muda, maka aku akan merubah dunia”, tentu saja ini menarik dipertimbangkan dalam merekonstruksi peradaban masyarakat.
Perhatian Wahdah pada generasi muda dan mahasiswa menurut penulis sudah menjadi modal sosial yang besar bagi pengembangan gerakan ini di masa depan. Kegiatan tarbiyah yang dilakukan Wahdah di beberapa kota besar seperti Makassar, Yogyakarta, dan Bandung telah memberi kesan kuat bahwa gerakan ini memiliki perhatian pada penguatan akidah, akhlak atau moral dan kejujuran generasi muda.
Mahasiwa dan generasi muda yang kini menjadi segmen terbesar kader Wahdah tentu memiliki napas yang panjang, gerakan ini bukan gerakan “musiman” yang muncul dan setelah itu mengalami kematian, seperti yang lazim terjadi dibekar negara-negara otoriter. Setelah keruntuhan rezim otoriter, muncul dan menjamur gerakan-gerakan sosial keagamamaan, tapi napasnya sangat pendek. Namun Wahdah bukanlah tipologi gerakan Islam yang tiba-tiba muncul dan kemudian tenggelam, karena tidak memiliki napas untuk hidup.
Pembinaan kader dan umat yang dilakukan Wahdah, tidak seluruhnya berlangsung mulus, tentu ada tarik-ulur di berbagai daerah, Wahdah pada satu sisi menerapkan gerakan purifikasi Islam secara total dengan mengajak kembali pada doktrin Islam periode awal, sementara masyarakat yang menjadi obyek dakwah mencampurkan dengan nilai-nilai magis yang sudah menjadi warisan budaya animisme dan dinamisme masa lalu. Tantangan itu harus direspons dengan jiwa besar oleh para elite Wahdah yang langsung bersentuhan dengan masyarakat pedesaan atau pelosok, tanpa jiwa besar, cita-cita mengembangkan wahdah akan berakhir.
Pemihakan Wahdah pada Mahasiswa harus menjadi domain dalam pengembangan dakwah, sebab mahasiswa merupakan jenis manusia yang senantiasa berpikir (ulul albab), mereka akan menfungsikan akal fikiran untuk membaca bukti dan tanda-tanda akan keberadaan-Nya (wujud). Orang-orang yang selalu berpikir dan memahami alam ini dengan seksama, akan menemukan bahwa dirinya sendiri adalah bagian yang amat kecil, jika dibandingkan dengan kekuasaan-Nya yang luas tak terbatas. Allah SWT berfirman: ”Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, benar-benar ada tanda-tanda bagi ulul albab. Mereka itulah yang selalu menyebut nama Allah, baik dalam keadaan berdiri, duduk, atau ketika berbaring. Dan orang-orang yang memikirkan penciptaan langit dan bumi. ” (QS 3: 191-192).
Mengarahkan Mahasiswa agar menjadi manusia yang memiliki kesadaran keagamaan yang tinggi dan komitmen moral yang kuat akan mendorong perubahan besar pada konstruksi peradaban masa depan. Harapan Wahdah pada generasi muda sangat besar dalam meneruskan perjuangan penyebaran nilai-nilai kebenaran, kejujuran, ketulusan dan pamrih kemanusiaan yang dominan daripada pamrih pangkat, jabatan, harta dan lain sebagainya. Mereka yang dapat melakukan adalah mereka yang memiliki keimanan dengan benar yakni keimanan yang tidak mendua, keimanan yang tidak disertai dengan hawa nafsu, keimanan dikendalikan oleh nilai-nilai kesalehan dan tetap dalam koridor ketaatan kepada Allah dengan sepenuhnya –baik dalam kondisi yang sulit atau senang sekalipun. Inilah yang ditegaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat Yusuf: 53; “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan, kecuali nafsu yang dirahmati oleh Tuhanku, sesungguhnya Tuhanku maha pengampun lagi maha penyanyang”
Mahasiswa Islam adalah mahasiswa yang hati dan jiwanya bersih, sementara hati dan jiwa yang kotor disebabkan oleh ketidak murnian aqidah dan tauhid yang dimilikinya. Amanah dan kejujuran merupakan dari tauhid yang benar. Istilah amanah dan kejujuran menjadi tema kajian menarik dalam kehidupan politik bangsa, sejumlah individu yang memperoleh kedudukan (legislatif, eksekutif dan yudikatif) –dahulu merupakan sosok Mahasiswa yang idealis, menuntut penyelenggara negara berlaku jujur dan amanah, berbuat adil dan memperhatikan nasib rakyat, tetapi setelah mereka memperoleh kekuasaan –mereka jauh lebih berbahaya dari para pejabat yang mereka kritik, hujat, dan caci-maki ketika mereka masih Mahasiswa. Menurut Vilfredo Pareto seorang sosiolog berkebangsaan Italia mengatakan ketika seseorang (Mahasiswa) belum memperoleh kedudukan, maka ia kritik, koreksi, hujat dan caci-maki mereka yang berkuasa, tetapi ketika mereka itu yang berkuasa tidak lebih baik dari penguasa yang mereka kritik dahulu, bahkan jauh lebih buruk.
Penanaman nilai-nilai kejujuran dan sikap amanah dikalangan Mahasiswa yang akan menjadi pewaris kekuasaan sangat penting agar tidak berbuat yang sama dengan mereka yang kekuasaannya digunakan untuk memperkaya diri. Kata amanah seakar dengan kata iman. Ini berarti sikap amanah mempunyai korelasi erat dengan iman seseorang. Orang beriman pasti memiliki sifat amanah. Orang yang tidak amanah berarti tidak ada iman dalam dirinya, meski-pun lidahnya menyatakan beriman. Allah berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS 8: 27).
Ketika Mahasiswa sudah mampu memegang amanah, bersikap jujur dan segala perbuatannya diikhlaskan kepada Allah SWT, mereka tetap aktif melakukan kegiatan yang dapat mendorong terciptanya peradaban khairah ummah atau peradaban madani. Istilah lain yang terkait dengan amanah adalah keikhlasan, kebenaran dan kejujuran yang merupakan terjemahan dari kata sidq. Lawannya adalah kizb yang berarti dusta atau bohong. Sifat benar dan jujur dalam diri Mahasiswa yang sadar seharusnya menjadi sifat orang beriman dan bertakwa. Sifat ini membawa pemiliknya kepada kebaikan dan segala perbuatan yang dilakukan hanya diikhlaskan kepada Allah. Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya sifat benar membawa kepada kebaikan, kebaikan membawa ke surga. Sesungguhnya yang benar lagi jujur akan digelari Allah dengan siddiq. Sedangkan kebohongan membawa kepada perbuatan dosa, perbuatan dosa membawa pemiliknya ke neraka. Laki-laki yang berbohong akan digelari Allah dengan kazzab (pembohong).” (HR Bukhari-Muslim).
Mahasiswa yang amanah harus menjadi manusia yang kreatif, inovatif, produktif, cerdas, terampil yang mendorongnya pada kegiatan yang bermanfaat. Untuk itu ada beberaap hal yang perlu dipraktikkan dari kata benar dan jujur. Pertama, benar dan jujur dalam ucapan atau lisan, Mahasiswa yang memiliki sifat ini akan selalu memelihara lisan dari perkataan tidak benar dan bohong. Kedua, benar dan jujur dalam niat. Ini dibuktikan dengan selalu ikhlas dalam niat. Niat yang ikhlas berlaku bagi semua aktivitas yang dilakukannya. Ketiga, benar dalam cita-cita. Biasanya, sebelum melakukan pekerjaan selalu diawali dengan cita-cita atau tekad (azam). Misalnya, ada Mahasiswa mengatakan, apabila Allah memberinya rezeki, ia akan menyedekahkan semua atau sebagiannya. Begitu pula, apabila Allah memberinya kekuasaan sebagai pemimpin, ia akan berlaku adil. Keempat, benar dalam memenuhi tekad dan cita-cita. Mahasiswa sering kali mudah berjanji dan menyatakan cita-cita, tekad, dan rencana. Namun, merasa berat mewujudkan janji dan rencananya karena tergoda hawa nafsu yang cenderung mengingkarinya. Perilaku ini bertentangan dan jauh dari nilai-nilai kebenaran dan kejujuran. Kelima, benar dan jujur dalam beramal. Sifat ini ditampilkan secara lahir dan batin. Apa yang ada dalam batin dibuktikan dengan amal secara lahir. Keenam, benar dan jujur dalam menjalankan ajaran Islam, dan ini merupakan tingkatan yang tertinggi. Mahasiswa yang memiliki sifat ini melekat padanya beberapa sifat lain, seperti khauf dan raja (takut dan harap), zuhud, ridha, tawakal, dan hubb (cinta) kepada Allah dan rasul-Nya. Wallahu a’lam bi shawab