Pilar-Pilar Politik Ekspansif Iran di Kawasan Arab

Date:

pillar pillarlogo

“Sebuah laporan penting seputar politik ekspansif Iran di kawasan Arab”

Politik luar negeri Iran berkarakter kompleks. Peneliti yang mencoba mengkaji politik luar negeri Iran bakal menemukan ambiugitas serta manipulasi retorika yang menyelimuti banyak sisinya, sedemikian rupa sehingga kepentingan agama terkait dengan kepentingan nasionalnya, dan semangat revolusi terkait dengan pragmatisme politik. Politik luar negeri Iran juga memiliki karakter provokatif, diplomatis, dan distribusi peran serta manuver yang bertumpu pada faktor waktu.

Kondisi sebagaimana digambarkan ini berdampak langsung pada komunikasi politik Iran terhadap kawasan Arab. Khususnya dengan kemampuan Iran memanfaatkan pilar-pilar politik yang dia miliki. Untuk menelisik politik luar negeri Iran lebih dalam, mari kita telusuri pilar-pilar politik tersebut, khususnya yang bersifat fundamental dan berdampak langsung terhadap pola hubungan Iran terhadap isu-isu dan bangsa Arab.

Pilar Pertama: Geografis

Letak geografis dapat dianggap sebagai pilar paling dominan dalam membentuk kebijakan politik luar negeri Iran di kawasan Arab. Pilar ini merupakan faktor determinan terpenting sekaligus permanen dalam membentuk pola hubungan luar negeri Iran. Dari segi posisi, Iran terletak di bagian barat benua Asia dan menempati wilayah yang luas. Posisi ini memberi keuntungan bagi Iran sebab merupakan wilayah yang terbuka bagi pihak luar. Iran memiliki wilayah pantai yang luas yang terbagi kepada beberapa pelabuhan laut. Dari arah utara terdapat laut Kaspia, dan dari arah tenggara terdapat teluk Arab. Pantai-pantai tersebut menjadi pintu transportasi Iran yang terpenting dengan dunia luar. Lewat pantai itulah Iran mampu menguasai jalan laut yang penting dan dinamis.     

Pintu-pintu laut tersebut berdampak besar terhadap karakter hubungan Iran dengan dunia luar, khususnya negara-negara Teluk Arab. Pintu-pintu tersebut juga mendorong Iran untuk melakukan kontak langsung dengan lautan luas, terutama dari arah selatan. Di sisi lain, Iran juga berhasil mengkapitalisasikan kekuatan angkatan lautnya dengan membangun beberapa pangkalan militer di sepanjang pantai tersebut, khususnya pantai Teluk Arab.[i]

Pilar Kedua: Sejarah

Pilar lain yang juga penting dalam membentuk kebijakan politik luar negeri Iran adalah sejarah. Pilar  ini setali tiga uang dengan pilar geografis dalam kaitannya dengan sikap terhadap kawasan Arab. Pemimpin-pemimpin Iran menjadikan pilar ini untuk menginterpretasikan karakter visi mereka terhadap masa lalu, serta mengeksploitasinya sebagai doktrin pemikiran dan nasionalisme terhadap generasi muda, selanjutnya sebagai determinan dalam membentuk visi masa depan.

Sejarah Iran sendiri, yang dimulai sejak 12 abad pra-Islam, membentangkan kekuasaannya atas wilayah yang luas dan memanjang dari timur ke barat. Lantaran itulah sehingga pilar sejarah ini menjadi penting sepanjang sejarah Iran itu sendiri, dan menjadi fondasi bagi politik ekspansifnya. Dengan beragam bentuk pemerintahan yang pernah ada, tak terkecuali pemerintahan sekarang, Iran senantiasa menggunakan prinsip superioritas-isme dalam interaksinya terhadap bangsa Arab. Prinsip ini berangkat dari faktor sejarah Iran di era imperium Persia, yang ekspansif dan menguasai secara militer banyak negara Arab.

 Pilar Ketiga: Demografis

Pilar demografis masyarakat Iran berpengaruh terhadap politik dalam dan luar negeri Iran. Elit penguasa Iran dalam masa yang lama sadar bahwa kunci kontinuitas eksistensi serta kekuatan negara Persia terletak pada kemampuan untuk mengendalikan sentimen kebangsaan Persia, baik itu dengan mengintrodusir ketakutan atau tantangan eksternal atau bahaya yang mengancam negara Persia. Sebagian besar tantangan tersebut dipersepsikan datangnya dari Barat, kendati yang dimaksud sebenarnya adalah bangsa Arab.

Reaksi Iran terhadap ancaman tersebut diartikulasikan dalam bentuk upaya ekspansi terhadap sebagian wilayah Arab tetangga. Sebagaimana elit politik Iran menjadikan asas ekspansi keluar sebagai alat legitimasi bagi upaya totalitarianisme ke dalam, dalam bentuk politik represif terhadap bangsa-bangsa selain Farsi.

Sebagaimana Iran mengeksploitasi eksistensi beberapa kelompok imigran yang berada di Irak dan negara-negara Teluk Arab, dengan alasan ekonomi. Pemerintah dengan berbagai cara mendorong warganya melakukan imigrasi, khususnya ke wilayah pantai Teluk Arab, sejak abad ke-19 hingga medio abad ke-20.

Pilar Keempat: Ideologi

Iran menemukan pada ideologi Syiah tameng bagi identitas kebangsaan dan kebudayaannya, sebagaimana dia bisa menjadi senjata untuk menikam negara-negara Arab dan Islam. Perang Shafawiyah vs Khilafah Utsmaniyah, kasus Irak hari ini, serta insiden-insiden di Teluk Arab dan negeri Syam menjadi bukti kuat bagaimana Iran memanfaatkan pilar ini dengan baik.

Di dalam negeri, Iran memperlakukan warga Arab Ahwaz yang notabene Syiah secara rasis. Sedangkan terhadap Sunni Iran, walaupun itu non-Arab, dari sudut pandang sektarianisme. Sebab, Iran terlanjur memposisikan pemikiran Islam Sunni sebagai proyek arabisasi, dan Arab sebagai rival historis dan budaya yang tidak mungkin diajak akur.

Namun dalam konteks luar negeri, Iran menggunakan sentimen Syiah, tanpa membedakan antara Arab dan non-Arab, demi merangkul semuanya terhadap Iran.

Pembacaan terhadap politik luar negeri Iran akan mengantar kita kepada kesimpulan bahwa keempat pilar yang disebut di atas merupakan pilar-pilar ekspansi Iran dalam perang berdarahnya sepanjang beberapa abad silam dan masa kini.

Institusi Pendukung bagi Proyek Politik dan Keamanan Iran di Kawasan Arab

Politik luar negeri Iran menjadikan pilar-pilar yang disinggung tadi sebagai titik tolak dalam mengekspor revolusi, yang secara harfiah berarti ekspansi dan perluasan pengaruh. Bukan hanya di kawasan Teluk Arab, tapi di seluruh kawasan Timur Tengah. Hal tersebut dilakukan dengan memanfaatkan sejumlah faktor dan situasi, baik itu agama, politik, histori, maupun ekonomi. Tidak ketinggalan pula daerah Asia Tengah dan Afrika Utara, yang dijadikan sebagai titik tolak dalam upaya infiltrasi negara-negara.

Sebagai kamuflase untuk menutupi agenda sesungguhnya, Iran menjadikan isu Palestina dan bantuan terhadap beberapa sayap perlawanan sebagai alat untuk menarik simpati Arab dan Islam. Iran juga menjadikan kelompok-kelompok minoritas Syiah di negara-negara Arab sebagai “kuda troya” bagi memuluskan agendanya. Tidak lupa, Iran mengangkat retorika perlawanan terhadap AS dan Zionisme sebagai slogan manipulatif, sebagaimana proyek-proyek bantuan terhadap negara-negara Arab dan Afrika yang membutuhkan, sebagai pintu masuk bagi pengaruh Iran terhadap negara-negara sasaran.

Iran telah mendirikan sejumlah institusi dan lembaga demi untuk mendukung gerakan kementerian luar negerinya, khususnya dalam memuluskan agenda global Iran. Dapat disebutkan di sini:

  • Al-Mustasyatiyat al-Tsaqafah al-Iraniyah/Lembaga Konsultasi Budaya Iran, yang bekerja menyebarluaskan dan mengajarkan kebudayaan Persia, serta merangkul pihak-pihak yang simpati agar dapat belajar langsung di Iran tentang bahasa, budaya, dan pemikiran Persia. Selanjutnya, mengkader mereka agar menjadi pion lewat bantuan moril dan materil.
  • Al-Majma’ al-‘Alami li Ahl al-Bayt, sebuah organisasi politik dalam kemasan gerakan agama yang kini dipimpin oleh Syekh Muhammad Hasan Akhtari, mantan dubes Iran di Suriah. Organisasi ini mengadakan pertemuan tahunan untuk meletakkan strategi tahunan global bagi gerakan Syiah, dan mengevaluasi hasil-hasil rancangan tahun-tahun sebelumnya.  
  • Majma’ Taqrib Bayna al-Madzahib/Lembaga Pendekatan Antara Mazhab, dipimpin Syekh Muhsin al-Araki, yang sebelumnya menjabat kepala Pengadilan Revolusi di Ahwaz dan anggota di Partai Dakwah Irak. Lembaga ini bekerja dalam menyebarluaskan propaganda untuk menutupi topeng politik Iran terkait isu sektarian dan dukungan atas proyek penyebaran paham Syiah di negara-negara Arab.
  • Lembaga ini juga bergerak menarik simpati kelompok-kelompok Sufi dan gerakan-gerakan politik Islam di bawah isu persatuan Islam. Lembaga ini didirikan tahun 1990 atas instruksi langsung Ali Khamenei.
  • Munazzhamah al-Tabligh al-Islami/Organisasi Tabligh Islam, bergerak dalam supervisi husainiyat dan pusat-pusat agama Syiah di luar Iran. Organisasi ini menyalurkan bantuan dan mubalig (pembaca ratapan) yang telah dilatih dan dididik secara khusus. Tugas lain organisasi ini adalah penerbitan dan distribusi buku-buku agama dan budaya secara gratis dan penyelenggaraan seminar. Tujuan dari itu semua adalah untuk mempromosikan pemikiran Syiah dan tokoh serta pemerintahan Iran.   
  • Sekolah-sekolah Iran di luar negeri, yang berperan menyebarluaskan budaya Iran lewat penerimaan siswa non-Iran secara gratis, kaderisasi mahasiswa Iran agar loyal terhadap pemerintah, serta membangun relasi dengan pihak-pihak luar. 
  • Pesantren-pesantren agama (hawzah) di luar negeri, yang mengajarkan agama dan keyakinan Syiah serta menyalurkan beasiswa bagi mahasiswa untuk belajar di Qum, setelah mereka lulus tingkat persiapan di negara mereka masing-masing.
  • Perwakilan pemimpin revolusi di luar negeri, yang memberikan bantuan material kepada siswa-siswa pesantren dan supervisi terhadap yayasan-yayasan Iran. Perwakilan ini bertugas pula mempromosikan kultus terhadap pemimpin revolusi Ali Khamenei.

Selain institusi dan organisasi tadi, terdapat pula lembaga-lembaga yang bekerja mewujudkan agenda global Iran, baik itu di bidang budaya, politik, atau sosial; antara lain: 

  • Yayasan Jihad al-Bina, yang memiliki cabang di Sudan, Suriah dan Lebanon, yang fokus dalam penyiapan bantuan berupa penyaluran listrik, pemasangan pipa air, penggalian sumur, pembangunan rumah, sekolah, dan jalan umum.  
  • Komisi Sosial Imam Khomeini, sebuah yayasan sosial yang memberikan bantuan material dan pelayanan kesehatan dan kemasyarakatan. Yayasan ini termasuk lembaga revolusi yang punya cabang di Irak, Suriah, Sudan, dan Lebanon.
  • Markaz Hiwar al-Hadharat/Pusat Dialog Peradaban, yang berafiliasi kepada institusi kepresidenan dan bekerja mempromosikan budaya serta peradaban nasional Iran dan pemerintah Iran, lewat slogan palsu dialog. Pusat ini berusaha menarik simpati terhadap Iran lewat jalinan hubungan dengan intelektual dan pemikir sekuler dan liberal Arab, dan penyelenggaraan seminar serta dukungan terhadap serikat-serikat kebangsaan Arab.
  • Muktamar Dukungan Terhadap Perlawanan Palestina, yang dipimpin Syekh Ali Akbar Muhtasyemi Bour, mantan dubes Iran di Suriah dan pendiri Hizbullah di Lebanon. Muktamar ini diselenggarakan di Teheran sekali setahun. Di dalamnya diundang pemimpin-pemimpin gerakan perlawanan Palestina dan sebagian pemimpin organisasi Islam dan Arab yang memiliki hubungan erat dengan Iran. Sedangkan mayoritas undangan adalah penulis dan wartawan serta intelektual dari berbagai negara Arab dan Islam yang sebagian besarnya tidak punya pekerjaan tetap.

Mereka diiming-imingi hadiah dan hibah serta support saat kembali ke negara masing-masing. Seiring dengan waktu, sadar atau tidak mereka dijadikan sebagai pion bagi agenda global Iran, dengan berbagai tawaran fasilitas yang diberikan.

Semua organisasi ini bekerja di setiap negara yang diduduki, di bawah supervisi komisi bersama yang terdiri dari dubes yang sekaligus bertindak sebagai ketua komisi, direktur kantor intelijen, direktur kantor perwakilan mursyid tinggi, dan perwakilan dari Faylaq al-Quds/pasukan suci. Sebagian institusi dan lembaga ini bergerak di mayoritas negara Arab secara bebas dan memperoleh dukungan dan kemudahan dari pihak-pihak resmi.     

Di tengah alpanya agenda Arab yang terkoordinasi, Iran mampu mewujudkan banyak rencananya. Iran telah berhasil membangun jaringan, sel-sel intelijen, kelompok-kelompok teroris, dan organisasi-organisasi oposisi di banyak atau sebagian besar negara Arab Teluk. Sebagaimana dia telah berhasil menjalankan banyak proyek budayanya di tengah masyarakat Arab. 

Kendati proyek ekspansi Iran terus berjalan, tanpa adanya reaksi dari pihak negara-negara Teluk atau Arab, tidak pernah sekali pun Iran mengumumkan terungkapnya sel militer atau organisasi politik yang terkait atau berkerja untuk kepentingan negara-negara Teluk. Bahkan, sikap abstain atau tidak adanya respon sebanding terhadap aksi Iran seakan menjadi kebanggaan bagi sebagian besar negara Arab dan Teluk khususnya. Dengan dalih tidak ingin campur tangan dengan urusan negara lain.       

Padahal, di sisi lain sebenarnya negara-negara ini punya “kartu politik” yang bisa menjadi alat tekan bagi Iran. Ironisnya, dimensi ini tidak disentuh sama sekali. Ambil contoh silang pendapat di kalangan marja’ hawzah/pesantren agama di Iran, eksistensi kelompok-kelompok oposisi Iran, kelompok Sunni dan suku-suku di luar Farsi, bangsa Arab Ahwaz, kepulauan Emirat Arab, dll. 

Tambahan lain, persepsi sebagian besar faksi dan kekuatan Arab dan Teluk, baik itu yang bersifat agama atau politik atau budaya, bahwa Iran hanya mengandalkan isu Syiah dalam mengoperasikan agendanya, merupakan kesalahan strategis yang fatal. Kondisi yang justru membuka lebar pintu bagi Iran untuk melindungi sel dan pion-pionnya dari pengawasan pihak yang berwenang.

Mayoritas negara Arab dan Teluk merupakan negara yang terbuka yang dihuni oleh berbagai kelompok imigran. Lewat mereka, Iran telah berhasil membangun sejumlah lembaga dan perusahaan bisnis serta perdagangan, yang bekerja sama dengan person atau serikat asing dan non-muslim. Iran mampu mengoptimalkan fungsi mereka dalam menjalankan agendanya.   

Praktek ini dijalankan oleh Iran di negara lain. Dalam sebuah peristiwa langka di media Iran, situs Tabnak yang beroperasi di bawah Jenderal Muhsin Ridha’i, Sekretaris Jenderal Majlis Tasykhish Mashlahah al-Nizham/Dewan Penyelidik Kepentingan Pemerintah, pada 20 Oktober silam memuat artikel bertajuk “Pasca Kementerian Perminyakan, Kementerian Luar Negeri di Tangan Pengawal Revolusi.”

Artikel tersebut memuat peran pengawal revolusi dalam menyetir kementerian luar negeri menyusul banyaknya perwira tinggi Pengawal Revolusi yang memegang jabatan kunci di kementerian dan tugas diplomasi.    

Hal tersebut mengemuka setelah percobaan pembunuhan terhadap dubes Saudi di Washington. Kasus tersebut memancing reaksi terhadap kebijakan kementerian luar negeri dan Pengawal Revolusi. Kritik diajukan oleh para mantan diplomat dan politisi serta wartawan Iran. Mantan dubes Iran di Meksiko, Muhammad Hasan Qadiri Abyanah mengeritik peran Pengawal Revolusi dalam mengendalikan kementerian luar negeri.      

Dubes Abyanah secara implisit mendukung laporan sebuah koran Meksiko tiga tahun yang lalu tentang aktivitas Pengawal Revolusi Iran yang mendukung geng mafia narkoba dan penyelundup senjata ke Meksiko. Koran Meksiko Uniorsal (17/7/2008) menuduh komponen Faylaq al-Quds yang merupakan sayap dari Pengawal Revolusi Iran membuka kamp pelatihan di utara Meksiko buat kelompok-kelompok teroris dan mafia penyelundup senjata dan narkoba.       

Koran tersebut juga menyebutkan bahwa kedutaan besar Iran memberikan bantuan kepada anggota Pengawal Revolusi untuk menikahi wanita-wanita Meksiko sekaligus mengganti nama-nama mereka agar mudah mendapatkan kewarganegaraan sehingga leluasa bergerak di Amerika Latin. Selain itu, kedutaan menyelenggarakan pameran, seminar, dan acara-acara perkenalan yang mengundang generasi muda Meksiko. Tujuannya, agar mereka menjalin hubungan dengan fungsionaris Pengawal Revolusi.

Praktek yang sama telah dilakukan oleh kedutaan besar Iran di Suriah dan Lebanon di awal tahun 80-an. Fungsionaris Pengawal Revolusi diusahakan agar menikahi gadis-gadis Lebanon dan Suriah. Maksudnya, agar mereka bisa belajar bahasa Arab dengan logat lokal, kemudahan mendapatkan kewarganegaraan atau visa/paspor, dan kemampuan melakukan penetrasi ke lembaga-lembaga atau masyarakat umum.

Tidak boleh dilupakan dalam konteks ini upaya Iran memanfaatkan kegiatan-kegiatan ekonomi untuk tujuan politik dan intelijen. Mahdi Fathullah, Direktur Organisasi Pengembangan Perdagangan Iran, pada 3 Oktober 2007 menyatakan bahwa Uni Emirat Arab (UEA) merupakan rekanan dagang pertama bagi Iran. Menurut sumber Iran, nilai ekspor UEA ke Iran mencapai 7,5 miliyar USD, sedangkan impor UEA dari Iran senilai 2,5 miliyar USD (2005).   

Iran sendiri memiliki jumlah imigran yang besar di negara-negara Teluk Arab. Di UEA diperkirakan ada setengah juta imigran dari Iran, dan terdapat sekira 6500 perusahaan Iran yang beroperasi. Di tahun 2005, jumlah modal yang diinvestasikan pengusaha Iran di Dubai mencapai 200 miliyar USD. Semua hal ini terjadi di semua negara-negara Gulf Cooperative Council/Dewan Kerja Sama Teluk, walaupun dengan tingkat yang berbeda-beda.

Analisis ini sebangun dengan dokumen sebuah lembaga Arab yang melaporkan persiapan sejumlah sel Iran di Teluk untuk memulai gerakan pra kondisi demonstrasi massa di husayniyat. Selanjutnya, demo tersebut akan ditingkatkan menjadi mogok sipil dan demo akbar. Laporan tersebut mengingatkan bahaya gerakan tersebut. Pasalnya, pedagang yang loyal terhadap Iran, secara ideologi dan politik, menguasai pasar bahan makanan dan penyiapan jasa vital terkait fasilitas air dan listrik. Sehingga mogok sipil berpotensi besar melumpuhkan gerak infrastruktur di negara-negara Teluk.

Sebagian dari eksperimen (strategi) Iran ini telah dipraktekkan sebagiannya di Bahrain pada tahun yang lalu, sebelum masuknya pasukan Dir’u/Tameng Jazirah memberikan bantuan.

Kesimpulan

Fakta-fakta di atas seharusnya menyadarkan setiap warga Arab dan Teluk untuk introspeksi diri. Kenapa Iran leluasa menjalankan strategi tersebut hingga detik ini? Apa saja faktor yang mendukung Iran melakukan tindakan yang mengancam keselamatan umat dan negara kita? Apakah itu karena lemahnya badan keamanan Arab sehingga tidak mampu menjaga keamanan nasional (hal yang kami sangsi terhadapnya), atau lemahnya keinginan politik pemerintah kita sehingga memancing Iran untuk berkeras kepala dengan agendanya? Atau karena memang Arab sama sekali tidak punya agenda Arab, baik itu di tingkat bangsa atau resmi kenegaraan, yang mampu merespon agenda Iran?

Harus dicatat bahwa terdapat kelompok-kelompok dalam masyarakat Arab yang tidak mempersepsikan Iran sebagai ancaman, khususnya ketika membandingkan antara tindakan Iran dengan Israel dan AS. Asumsi bahwa Iran sebagai negara muslim yang mempromosikan dukungan terhadap perjuangan Palestina memudahkan Iran melakukan penetrasi sosial ke tengah masyarakat Arab.

Oleh karena itu, tantangan ini harus dihadapi dengan sebuah strategi menyeluruh dengan kajian yang komprehensif. Tidak cukup hanya dengan polling yang melibatkan pemikiran dan metodologi yang terbatas. Persoalan sebesar ini tidak dapat dihadapi hanya dengan polling lewat web di internet atau koran atau pertemuan umum biasa.***


[i]Dr. Ahmad Syakir al-Allaq, Universitas al-Kufah, Fak. Sastra, Jurusan Sejarah.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_img

Popular

More like this
Related

Sambut Kehadiran Ramadan Yang Kian Dekat, Wahdah Islamiyah Donggala Gelar Tablig Akbar

DONGGALA, wahdah.or.id - Dewan Pengurus Daerah (DPD) Wahdah Islamiyah...

Berlimpah Ilmu, Doktor Hadits Alumni Madinah Beberkan Tips Pahala War Di Bulan Ramadan

MAKASSAR, wahdah.or.id - Pakar Hadis dan alumni Program Doktoral...

Perkuat Pemahaman Keagamaan dan Persiapan Sambut Ramadan, Ini Enam Materi yang Didapat Peserta PSR

MAKASSAR, wahdah.or.id -- Dewan Pengurus Pusat (DPP) Wahdah Islamiyah...

170 Jiwa Terdampak, Relawan Wahdah Peduli dan WIZ Bantu Evakuasi Korban Banjir di Makassar

MAKASSAR, wahdah.or.id - Banjir kembali menerjang dua kecamatan di...