Traveler muslim abad ke-14 asal Maroko, Ibnu Bathuthah pernah beberapa lama tinggal di India. Di awal-awal kedatangannya di negeri Hindustan itu Ibnu Bathuthah mengisahkan pengalamannya menyaksikan perempuan-perempuan Hindu melakukan ritual membakar diri setelah baru saja ditinggal mati suaminya. (Ibnu Bathuthah, 2012: 484-486) Ritual itu dikenal dengan nama sati. Menurut tradisi Hindu, istri yang membakar diri untuk ‘menyusul’ suaminya merupakan suatu kehormatan.
Dari atas kuda Ibnu Bathuthah dengan jelas melihat perempuan itu menceburkan diri ke dalam kobaran api. Beberapa laki-laki yang berdiri di sekitar kobaran api memukul gendang dan terompet. Yang lain menindihkan kayu besar pada tubuh perempuan itu agar tidak dapat bergerak. Suasana semakin gaduh dengan pekikan orang-orang di sekitar yang menyaksikan ritual mengerikan itu.
Ibnu Bathuthah sudah sering menemukan hal mengerikan ketika terjun ke medan tempur melawan musuh. Namun, ketika melihat ritual tersebut, ia hampir jatuh dari atas kudanya. Ia hampir pingsan sehingga teman-temannya bergegas mengusapkan air di wajahnya.
Bagi perempuan Hindu yang baru saja ditinggal suami, sati merupakan pengorbanan yang mulia. Tidak ada paksaan untuk melakukan ritual mengerikan tersebut. Bahkan tidak ada tetesan air mata meski orang-orang di sekeliling meratapinya. (Sharma, 2002: 100) Perempuan Hindu lebih memilih melakukan sati ketimbang hidup menjanda. Hidup menjanda dalam pandangan Hindu adalah suatu kehinaan.
Hal serupa juga terjadi di kalangan orang Rusia. Ibnu Fadhlan, seorang utusan khalifah dari Baghdad pada abad ke-10, menuturkan dalam Risalahnya kebiasaan orang-orang Rusia ketika meninggal. Jika seorang tuan meninggal, maka yang diminta untuk ikut tuannya biasanya budak perempuannya. Budak tersebut dikorbankan dengan cara dililit tali pada lehernya, dihujani belati pada dadanya, dan terakhir dibakar. Menurut mereka, jenazah yang dibakar seketika itu akan masuk surga. (Ibnu Fadhlan, 2017: 160-169)
Barat (Eropa) hari ini tidak bisa dipisahkan dari sejarah Kekristenan. Namun pandangan gereja di Abad Tengah tentang perempuan tidak jauh berbeda dengan keyakinan lainnya di dunia saat itu. Para imam gereja memandang wanita sebagai wakil iblis_penggoda jahat. (Perry, 2014: 217) Mereka dianggap seperti Hawa, penyebab dosa di muka bumi. Gereja menganggap perempuan yang dilahirkan sebagai “anak laki-laki yang salah jadi”
Ketidakadilan terhadap para perempuan di Barat, membuat mereka bergerak menyuarakan kesetaraan (equality) dengan kaum lelaki. Lahirlah gerakan feminisme di Eropa dan Amerika. Perempuan-perempuan turun ke jalan melakukan aksi, mulai dari mogok makan, mengikat diri di gerbang-gerbang parlemen, sampai pembakaran. Di Inggris tahun 1913, aktivis feminis militan sampai melemparkan diri di bawah kuda Raja Edward VII saat pacuan kuda berlangsung. Ia tewas seketika.(Perry, 2014: 170)
Islam Muliakan Perempuan
Kita kadang dibuat heran dengan para haters yang selalu mengkritik Islam terkait persoalan perempuan. Mereka memandang Islam sebagai agama yang mendiskreditkan perempuan. Islam terlampau membatasi ruang gerak perempuan. Harus berhijablah, pacaran haramlah, macam-macam. Lalu muncul persepsi bahwa Islam tidak sesuai lagi dengan zaman modern, perempuan tidak akan mampu berkembang jika teguh pada agamanya_Islam. Naudzubillah!
Bagaimana jika para haters itu hidup di abad pertengahan dan menyaksikan apa yang disaksikan Ibnu Bathuthah dan Ibnu Fadhlan, bahwa sebenarnya yang menjadikan perempuan sebagai makhluk rendah itu bukanlah Islam. Masihkan mereka menganggap Islam yang merendahkan kaum hawa? Islam bahkan hadir untuk memuliakan perempuan!
Kita kembali dulu jauh ke belakang untuk melihat kondisi perempuan dari masa ke masa. Dalam sejarah Islam kita kenal satu masa yang disebut periode jahiliyah. Periode jahiliyah merupakan masa sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus. Satu masa kelam dalam sejarah umat manusia. Di masa itu, membunuh anak_menguburnya hidup-hidup, bilkhusus perempuan, hal yang biasa. Hobi malah. Al-Qur’an menyinggung perbuatan jahiliyah itu.
“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” (Qs. At-Takwir: 8-9)
Islam kemudian datang, dibawa oleh manusia paling mulia: Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ajarannya mengandung nilai-nilai yang mampu menaikkan derajat perempuan. Dengan Islam, mereka dapat seutuhnya menjadi manusia. Rasulullah menjelang penghujung hidupnya, pada haji wada’, masih sempat memberi wasiat pada kaum muslimin untuk berlaku baik pada perempuan. Beliau juga tidak sungkan menyematkan gelar “sebaik-baik perhiasan dunia” kepada perempuan muslimah.
Rasulullah pernah mengusir komunitas Yahudi Bani Qainuqa dari kota Madinah. Sebabnya, seorang muslimah yang sedang berbelanja di pasar Yahudi dilecehkan, ingin dibuka hijabnya sehingga tersingkap auratnya. Seorang muslim yang melihat peristiwa itu segera mendatangi si Yahudi lalu membunuhnya. Melihat temannya dibunuh, orang-orang Yahudi ramai memukuli si muslim sampai mati.
Luar biasa, si muslim membela kehormatan seorang muslimah. Padahal baru beberapa tahun yang lalu mereka menganggap ‘halal’ mengubur hidup-hidup anak perempuan. Peristiwa ini terjadi sekitar 8 abad sebelum Ibnu Bathuthah menyaksikan ritual sati di India. Islam sudah jauh lebih dulu menaruh hormat pada perempuan.
Umar Radhiyallahu ‘anhu kala menjadi khalifah pernah dikoreksi oleh seorang perempuan terkait pelarangan perempuan meminta mahar yang tinggi. Setelah dibenarkan oleh si fulanah, Umar menarik fatwanya.
Bayangkan, beberapa tahun sebelumnya, perempuan tidak dianggap di mata laki-laki. Mereka menjadi barang yang dapat diwarisi. Namun, hanya dalam beberapa tahun, mereka sudah mampu mendebat seorang pemimpin (khalifah).
Banyak keistimewaan Perempuan dalam Islam. Sedikit di antaranya:
- Perempuan berhak memilih dengan siapa dia ingin menikah. Ia tidak boleh dinikahkan selain atas restunya. Rasulullah bersabda, “Jika salah seorang dari kamu ingin menikahkan anak perempuannya, hendaknya ia meminta pendapatnya.” (Shahih Jami’ Ash-Shagir). Al-Khansa’ binti Khizam Al-Anshariyah, seorang janda kalangan Anshar, pernah dinikahkan oleh ayahnya, tapi dia menolak. Al-Khansa mendatangi Rasulullah mengadukan hal yang dia alami. Hasilnya, Rasulullah menolak pernikahan perempuan tersebut.
- Perempuan juga berhak mengakhiri ikatan pernikahan dengan cara khulu’. Ini adalah keistimewaan perempuan dalam Islam yang tidak ditemukan dalam agama lainnya. Jika dalam rumah tangga tidak ada lagi kecocokan dan bila terus bersama suami suasana rumah berubah jadi neraka, maka istri berhak meminta pisah dengan cara khulu’.
- Perempuan berhak mendapatkan perlakuan dan pergaulan yang baik. Dalam rumah tangga, seorang istri berhak memperoleh nafkah. Dan suami tidak dibenarkan bersikap kasar dan kejam kepadanya. (Lihat: An-Nisa’: 19)
- Perempuan berhak mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki. Mereka, sebagaimana kaum Adam, juga diwajibkan mencari ilmu. “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim dan muslimah,” sabda Rasulullah.
- Perempuan bisa turut serta dalam ibadah kolektif seperti mengikuti shalat berjamaah, i’tikaf di masjid, berhaji, dan lainnya. Tidak ada larangan bagi mereka dalam hal itu.
- Bisa ikut serta dalam kegiatan sosial. Seperti membantu orang-orang yang terluka di medan pertempuran. Bahkan ikut serta dalam berperang (jihad), seperti yang dilakukan oleh Khansa dan Ummu ‘Athiyyah Radhiyallahu ‘anhuma.
Oleh: Ustadz Mahardy Purnama