PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG PERAYAAN MAULID NABI,WAJIB DIKEMBALIKAN TERHADAP ALQURAN DAN SUNNAH1

Allah ‘azza wajalla telah memerintahkan hamba-hambaNya yang beriman agar mengembalikan semua perbedaan pendapat dalam masalah ushul (pokok) dan furu’ (cabang) agama ini kepada Kitabullah (AlQur-an) dan Sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam,sesuai firmanNya :

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلً} [النساء: 59]

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman,taatilah Allah dan taatilah rasul,dan ulil amri diantara kamu.Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah (AlQur-an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (AnNisa’ 59)

Jadi, AlQur-an dan Sunnah merupakan sumber utama syariat islam,dan hanya dari keduanyalah dalil-dalil hukum syar’I bersumber.2

Dan telah maklum,bahwa pemahaman terhadap kandungan AlQur-an dan Sunnah dan cabang-cabang hukum yang bersumber dari keduanya tidaklah mudah bisa dicerna oleh setiap orang, padahal kaum muslimin sangat perlu untuk memperbaiki bidang aqidah,ibadah dan mu’amalah mereka. Karenanya, Allah ta’ala menganugrahkan umat ini dengan adanya para ulama,dan ahli fiqh dari kalangan para sahabat nabi,tabi’in,dan yang datang setelah mereka,dimana mereka mengorbankan waktu dan umur mereka demi memahami AlQur-an dan Sunnah serta menjelaskannya kepada umat.

Akan tetapi,bersamaan dengan berlalunya waktu,dan tersebarnya sikap fanatik terhadap madzhab dan sikap tahazzub (berkelompok-kelompok) yang tercela,umat islam sedikit demi sedikit menjauh dari dalil-dalil wahyu berupa AlQur-an dan sunnah,sebaliknya mereka hanya bergantung terhadap pendapat para ulama dan ahli fiqh dalam berbagai masalah.Ini tentu menyelisihi dasar utama (agama ini) yang seharusnya setiap ahli haq berpegang teguh dengannya,yaitu bergantung terhadap dalil syar’I dari AlQur-an dan hadis-hadis shahih yang keduanya merupakan hujjah,sementara pendapat seorang ulama bukanlah sebuah hujjah dan dalil.Pernyataan ini sama sekali bukan celaan terhadap kehormatan seorang ulama,bahkan kita yakin seyakin-yakinnya bahwasanya “tidak ada seorangpun dari kalangan para imam –(yang diikuti madzhabnya oleh umat secara umum ) – melakukan kesengajaan untuk menyelisihi suatu sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam,baik dalam perkara kecil maupun besar”3 ,jika sikapnya terhadap sunnah adalah sedemikian rupa, maka terlebih lagi ia tidak mungkin sengaja menyelisihi Kitabullah.

Ada satu hal yang tak mungkin diragukan yaitu bahwasanya “para ulama agama ini semuanya sepakat dalam satu tujuan; menampakkan haq yang diturunkan Allah kepada nabiNya,serta agar agama hanyalah bagi Allah semata dan agar kalimatNyalah yang lebih tinggi.Bahkan mereka semua mengakui bahwa menguasai semua ilmu tanpa memiliki suatu kesalahan didalamnya bukanlah suatu derajat yang bisa dicapai oleh salah seorang diantara mereka dan tidak pernah diklaim oleh seorangpun diantara mereka baik ulama yang terdahulu maupun yang datang belakangan.Sebab itu,para ulama salaf yang telah diakui kadar keilmuan dan keutamaan mereka,menerima kebenaran/haq dari orang yang menyampaikannya, walaupun dari orang yang lebih sedikit ilmunya, bahkan sampai mewasiatkan kepada para sahabat dan pengikut mereka untuk selalu menerima kebenaran jika datang dari pendapat orang lain.”4

Juga bukan sebuah rahasia lagi,bahwa para sahabat nabi shallallahu’alaihi wasallam adalah orang-orang yang paling luas ilmunya diantara umat ini,dan paling kuat sikap ittiba’nya terhadap sabda dan amalan rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu menggambarkan hal ini dalam ucapannya “Mereka (para sahabat) adalah orang-orang yang paling suci hatinya diantara umat ini,yang paling luas ilmunya,yang paling sedikit bebannya,yang paling lurus petunjuknya,dan yang paling baik kondisinya.Mereka adalah kaum yang telah dipilih Allah untuk menemani nabiNya shallallahu’alaihi wasallam,maka ketahuilah keutamaan mereka,dan ikutilah atsar (jejak-jejak) mereka,sebab sungguh mereka berada diatas petunjuk yang lurus”.5

Walaupun mereka memiliki kedudukan yang agung ,keluasan ilmu dan sikap ittiba’ yang terbaik namun kadang diantara mereka ada yang salah dalam berijtihad baik dalam bentuk ucapan ataupun amalan,tapi kapan jelas baginya akan kesalahannya tersebut ia segera rujuk kepada kebenaran,sebagaimana ucapan Ibnu Taimiyah rahimahullah tentang Umar bin AlKhaththab radhiyallahu’anhu “Beliau (Umar) rujuk dari beberapa ucapannya jika telah jelas kebenaran yang menyelisihi pendapatnya,bahkan beliau suka bertanya kepada para sahabat tentang sebagian sunnah sehingga beliau mengambil faedah dari mereka”6

Contoh lainnya adalah rujuknya Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu dari pendapatnya yang menyatakan tidak wajibnya mandi janabah setelah melakukan hubungan suami istri,,rujuknya Umar radhiyallahu’anhu dari pendapat tidak bolehnya tayammum bagi yang junub (jika tidak mendapatkan air),,Rujuknya Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma dari pendapat wajibnya zakat atas penguasa,,rujuknya Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dari pendapat tidak bolehnya puasa bagi yang bangun (setelah fajar) dalam keadaan junub,,rujuknya Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma dari pendapat bolehnya riba fadhl,,rujuknya Utsman radhiyallahu’anhu dari pendapat bahwa masa ‘iddahnya wanita yang ditinggal mati suaminya adalah sesuai kehendak dirinya,,dan rujuknya Abu Musa radhiyallahu’anhu dari pendapatnya tentang menyusui orang dewasa (radha’ulkabir).

Masalah-masalah yang seperti ini atau yang semisalnya,banyak menunjukkan kepada kita semua tentang kelapangan mereka dalam perbedaan pemikiran dan juga menunjukkan bahwa dahulu para sahabat radhiyallahu’anhum saling menasehati dalam perkara-perkara syar’I demi menyatukan hati diatas kebenaran,, “Dahulu para ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in dan setelah mereka jika mereka saling berselisih tentang suatu perkara,mereka langsung mengikuti petunjuk Allah ta’ala dalam firmanNya (Wahai orang-orang yang beriman,taatilah Allah dan taatilah rasul,dan ulil amri diantara kamu.Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah (AlQur-an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (AnNisa’ 59).Dahulu mereka saling berdialog dalam suatu perkara dalam bentuk musyawarah atau saling menasehati ,bahkan mungkin saja mereka berselisih dalam suatu perkara ilmiyah atau amaliyah (tanpa menemukan titik temu) namun tetap menjaga sikap saling mencintai ,dan ukhuwwah seagama”.7

Bersamaan dengan kembalinya bulan rabi’ul awwal disetiap tahunnya,maka kembali pula muncul kepermukaan sebuah masalah umat yaitu perayaan maulid nabi,yang merupakan salah satu bid’ah yang munkar dan tertolak yang diada-adakan oleh sebagian umat islam.Perayaan ini merupakan bid’ah yang baru dalam agama dimana semua rukun-rukun bid’ah tercakup didalamnya berupa mengada-adakan ibadah yang tidak disyariatkan oleh Allah dan rasulNya,mengkhususkan hari untuk memperingatinya/merayakannya,dan bahkan ia juga merupakan bentuk tasyabbuh (menyerupai) orang-orang musyrik.Adapun perincian pembahasan ini adalah sebagai berikut :

Perayaan Maulid Sebagai Perkara Baru

Berdasarkan waktunya,maka perayaan ini adalah sebuah syiar agama dimana orang-orang melaksanakannya dengan tujuan taqarrub/mendekatkan diri kepada Allah baik dengan anggapan sebagai ibadah wajib ataupun ibadah sunat,tentunya tanpa adanya dalil syar’i.jadi ia merupakan perkara bid’ah yang haram,Allah ta’ala berfirman :

{أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ} [الشورى: 21]

Artinya : “Apakah mereka mempunyai sesmbahan selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak diinginkan (diridhai) Allah ?” (Asy Syura 21)

Dan merupakan suatu hal yang populer…bahwa rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan para khulafa’ rasyidin tidak pernah melakukannya,dan dan tidak pula dilakukan oleh selain mereka dari kalangan sahabat,dan pengikut-pengikut mereka dizaman yang utama umat ini,padahal mereka adalah yang paling paham tentang sunnah,yang paling sempurna kecintaannya terhadap rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan ittiba’nya terhadap syariatnya daripada orang-orang yang datang setelah mereka.Rasulullah juga telah bersabda :

( من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد )

Artiny : “Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru (bid’ah) dalam perkara (agama) kami maka ia tertolak”8

Beliau juga bersabda dalam hadis lain :

(عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ)

Artinya : “Berpegangteguhlah dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ yang lurus lagi mendapatkan petunjuk setelahku,gigitlah ia dengan gerahammu,dan berhati-hatilah dari perkara yang baru,karena setiap perkara yang baru (dalam agama) adalah bid’ah ,dan setiap bid’ah adalah sesat”9

Perlu diketahui bahwa yang pertama kali mengada-adakan peringatan maulid nabi adalah Bani ‘Ubaid AlQaddah (Al’Ubaidiyyun)10 yang menamakan diri mereka sebagai “Fathimiyyun”,pada abad ke-4 H dimana saat itu ‘Ubaidiyyun memasuki Mesir tahun 362 H.

Al Maqrizy rahimahullah berkata : “Dahulu,Para Khalifah fathimiyyun disepanjang tahun mengadakan perayaan-perayaan,seperti : perayaan akhir tahun, perayaan awal tahun,perayaan hari asyura’ dan maulid nabi.”11

Maka dengan pernyataan diatas,nampaklah bahwa perayaan mauled nabi diada-adakan pada masa Daulah ‘Ubayidiyyah,dan tentang ini Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah bersabda : ” Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru (bid’ah) dalam perkara (agama) kami maka ia tertolak”12

Bahkan orang yang membolehkan Maulid nabi juga mengakui bahwa ia adalah sebuah bid’ah,apalagi orang yang memang mengharamkannya.

Ibnu Al haj berkata : “Diantara perkara bid’ah yang diada-adakan yang mereka juga anggap sebagai salah satu ibadah yang agung,dan sebagai sebuah syiar,adalah apa yang mereka lakukan pada bulan rabi’ul awwal berupa perayaan maulid nabi,dan perayaan ini banyak mengandung bid’ah dan perkara-perkara haram”13

Abu Syaamah rahimahullah berkata : “diantara bid’ah yang diada-adakan dizaman kita yang sejenis dengan hal seperti ini adalah apa yang dilakukan di kota Irbil disetiap tahun pada hari kelahiran nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam berupa pengkhususan sedekah,perbuatan baik,menampakkan perhiasan dan kegembiraan….”14

Ibnu Nahhas juga menyebutkan bahwa diantara perkara bid’ah yang diada-adakan dalam setiap tahun adalah “perayaan maulid pada bulan rabi’ul awwal”.15

 

Maulid Dan Pengkususan Hari Yang Tidak Ada Tuntunannya

Orang yang merayakannya telah mengkhususkan hari ke 12 rabi’ul awwal ,padahal syariat telah melarang untuk mengkhususkan suatu hari tertentu demi untuk beribadah kecuali apa yang memang telah dikhususkan sendiri oleh syariat.Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

« لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ فِى صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ »

Artinya : “janganlah mengkhususkan malam jumat dengan qiyam (shalat malam) tanpa melakukannya pada malam-malam lain,dan jangan pula mengkhususkan hari jumat dengan berpuasa tanpa melakukannya dihari-hari lainnya kecuali jika (hari jumat) bertepatan dengan hari puasa (wajib atau sunat) kalian”16

Jadi sebuah kerusakan suatu amalan bersumber dari pengkhususan suatu amalan yang sama sekali tidak ada dalil akan pengkhususannya,sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh hadis Rasulullah shallallahu’alaihu wasallam diatas,dan suatu larangan atau perintah kadang mengandung suatu hikmah kenapa hal tersebut dilarang atau diperintahkan,sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang menggambarkan hikmah dari suatu perintah atau larangan tertentu : “Selisilah orang-orang musyrik”17.Kesimpulannya redaksi hadis diatas tentang larangan pengkhususan waktu untuk puasa atau shalat menunjukkan bahwa rusaknya suatu amalan bersumber dari segi pengkhususan tersebut (karena tidak sesuai dengan sunnah)18

.

Perayaan Maulid Dan Tasyabbuh /Menyerupai Orang-Orang Kafir

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

( لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ ),قُلْنَا : “يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى ؟” قَالَ : (فَمَنْ)

Artinya : “Kalian sungguh akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kamu,sejengkal demi sejengkal,sehasta demi sehasta,sehingga walaupun mereka masuk kedalam lubang Dhobb19,kalian akan juga memasukinya”, kami (para sahabat) bertanya : “wahai Rasulullah,apakan mereka (yang kami akan ikuti) Kaum yahudi dan Nasrani ?”, beliau menjawab : “Siapa lagi (kalau bukan mereka)”20.

Merayakan hari kelahiran Nabi shallallahu’alaihi wasallam merupakan amalan yang menyerupai perayaan Nasrani atas hari kelahiran nabi Isa ‘alaihissalam,akan tetapi “perayaan maulid ini diadakan oleh Kaum ahli bid’ah dengan alasan bahwa Muhammad shallallahu’alaihi wasallam lebih pantas diutamakan dibandingkan dengan nabi isa alaihissalam,didalamnya (perayaan maulid) dilantunkan qasidah-qasidah pujian yang berlebih-lebihan terhadap Nabi shallallahu’alaihi wasallam ,padahal telah ada larangan beliau akan hal ini dalam sabdanya : “janganlah kalian berlebih-lebihan mengagungkanku sebagaimana orang-orang Nasrani melebih-lebihkan pengangungan mereka terhadap Isa bin Maryam,sesungguhnya saya hanyalah hamba Allah,maka katakanlah (sebagai penghargaan bagiku) : hamba Allah dan RasulNya”21.Jadi,mereka (yang merayakannya) menggabungkan dua keburukan : (1).menyerupai orang-orang kafir, (2).dan menyerupai mereka dalam pengagungan yang berlebih-lebihan.22

Dari pembahasan diatas,dapat disimpulkan bahwa perayaan maulid nabi merupakan salah satu bid’ah yang sangat tertolak,sebab semua bid’ah tidak berada pada level yang sama dari segi tertolaknya bid’ah tersebut.Para ulama telah membaginya menjadi dua : 1.bid’ah haqiqiyah (secara dzatnya) . 2.bid’ah idhofiyah (berupa tambahan-tambahan amalan dalam amalan yang disyariatkan).

Bid’ah Haqiqiyah adalah “bid’ah yang sama sekali tidak memiliki dalil syar’I baik dari AlQur-an ,sunnah ,ijma’ ,qiyas ,maupun dari metode pendalilan lain yang diakui oleh ahli ilmu,,ia (juga tidak memiliki dalil) baik dalil umum maupun dalil khusus,,sebab itu ia dinamakan bid’ah,karena ia adalah amalan yang dibuat-buat tanpa ada contoh (dari agama) sebelumnya.23

Sedangkan bid’ah idhofiyah adalah memiliki dua komponen : komponen pertama : ia memiliki hubungan dengan dalil syar’I,dari segi ini ia tidak dinamakan sebagai bid’ah…komponen kedua : yang tidak memiliki dalil syar’i,ini seperti halnya bid’ah haqiqiyah…atau dengan kata lain “bid’ah idhofiyah” adalah bid’ah yang apabila dilihat dari salah satu sudut pandang tertentu,maka ia adalah sunnah,namun jika dilihat dari sudut pandang lain maka ia adalah bid’ah karena bersumber dari sebuah syubhat atau sama sekali tidak memiliki sumber (dalil).

Pembagian bid’ah ini bersumber dari pengkajian terhadap bid’ah dan hubungannya dengan dalil-dalil syar’i dari satu sisi, dan hubungannya dengan amalan dari sisi lainnya.

Bid’ah Haqiqiyah tidaklah bersumber dari dalil yang diakui,dan tidak pula sumber yang menyerupai dalil syar’I,baik secara umum maupun terperinci,sedangkan bid’ah idhofiyah maka sebagian komponennya memiliki dalil syar’i.

-Bid’ah haqiqiyah kadang tidak memiliki ikatan dengan amalan yang disyariatkan,dan kadang memiliki ikatan dengannya,sedangkan bid’ah idhofiyah : kebanyakan memiliki ikatan dengan amalan yang disyariatkan.

-Bid’ah idhofiyah jika berkaitan dengan amalan yang masyru’ ,maka bid’ah ini akan menjadi cirri khas amalan tersebut ,jika demikian maka ia bisa berubah menjadi bid’ah haqiqiyah,karena suatu bid’ah yang telah menjadi cirri khas dari amalan masyru’ tertentu,telah merubah amal masyru’ tersebut menjadi amalan yang tidak masyru’ (bid’ah).Ini dijelaskan oleh sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam :

« مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ »

Artinya : “barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak bersumber dari perkara (agama ) kami,maka amalannya tertolak”24

Jadi,pada dasarnya mencintai Nabi shallallahu’alaihi wasallam,mengisahkan perjalanan hidup,sifat dan kehidupan beliau adalah perkara yang masyru’,akan tetapi ketika hal ini bercampur atau memiliki ikatan dengan amalan-amalan bid’ah seperti menjadikan hari kelahirannya sebagai hari perayaan,atau mengkhususkannya dengan beberapa jenis dzikir dan doa yang bid’ah atau selainnya dari kebid’ahan,bid’ah inipun menjadi cirri khas dari amalan masyru’ tersebut,sehingga iapun berubah menjadi bid’ah haqiqiyah.

 


1 .Artikel ini merupakn terjemahan dari bagian awal makalah Syaikh Muhammad bin Abdullah AlMaqdy hafidzhahullah,yang dimuat di MAJALAH ALBAYAN hal.8-11,edisi 307 bulan rabi’ulawwal 1434 H – Februari 2013 M dengan judul “Hal ajaaza Syaikhul Islam Al Ihtifal bilmaulid ?” .dialih bahasakan oleh Maulana La Eda ( [email protected] )

2 .lihat : Syarh Al Qawaa-id Al Fiqhiyyah : Ahmad bin Syaikh Muhammad AzZarqa, hal.147, Darul-qalam,Damaskus, cet. Kedua (1409 H/1989 M)

3 .Raf’u Al-Malaam ‘an Al-aimmah Al-a’laam : Syaikhul-islam Ibnu taimiyah (hal.8).

4 .AlFarq baina AnNashihah wa AtTa’yiir : Ibnu Rajab (hal.8)

5 .HR Ibnu AbdilBarr (Jami’ Bayanil’Ilmi : 2/946-947)

6 .Majmu’ Fatawa 35/123

7 .Majmu’ AlFatawa 24/172

8 .HR Bukhari (2697) dan Muslim (1718),Imam Nawawy rahimahullah berkata dalam Syarah Shahih Muslim 12/16 (1718) : hadis ini merupakan kaedah agung diantara kaedah-kaedah islam dan ia juga adalah diantara jami’ulkalim Rasulullah ,sebab ia adalah kaedah yang sangat jelas menolak semua bentuk bid’ah dan perkara yang dibuat-buat (dalam agama).

9 .HR Ahmad (17144 dan 17145),Abu Dawud (4607),Ibnu Majah (43),dan Tirmidzy (2676).Dinilai shahih oleh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad dan AlAlbany dalam AshShahihah (2735)..Lihat pula risalah Ibnu baaz rahimahullah “Hukmul Ihtifaal bil mawlid annabawy”.

10 .Dalam majmu’ alfatawa (35/127) Ibnu taimiyah menyifati mereka sebagai “diantara manusia yang paling fasik dan kafir,,,dan diantara yang maklum yang tiada keraguan didalamnya adalah siapa saja yang bersaksi akan keimanan dan ketakwaan mereka atau kebenaran nasab mereka (sampai ke fathimah binti Rasulillah) maka ia telah melakukan persaksian tanpa ilmu..” Beliau juga berkata (35/131) : ” …bahkan semua yang Nampak dari mereka (Ubaidiyyun) berupa sifat zindiq , nifak,dan sikap permusuhan terhadap sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam,merupakan bukti akan kebatilan nasab mereka sampai Fathimah”.

11 .AlMawwa’idz wal I’tibar bidzikril Khuthath wal I’tibar (2/436).

12 .HR Bukhari (2697) dan Muslim (1718),Imam Nawawy rahimahullah berkata dalam Syarah Shahih Muslim 12/16 (1718) : hadis ini merupakan kaedah agung diantara kaedah-kaedah islam dan ia juga adalah diantara jami’ulkalim Rasulullah ,sebab ia adalah kaedah yang sangat jelas menolak semua bentuk bid’ah dan perkara yang dibuat-buat (dalam agama).

13 .Al Madkhal (2/2)

14 .AlBaa’its ‘ala inkaarilbida’ walhawaadits (23)

15 .tanbihul ghafilin 331.

16 .HR Muslim (1144),AnNasai dalam AlKubra (2751),Ibnu Khuzaimah (1176),dan Ibnu hibban (3612)

17 .HR Bukhari (5892) dan Muslim (259)

18 .lihat : Iqtidha’ AshShirat AlMustaqim (2/112)

19 .Sebuah hewan gurun yang menyerupai biawak namun ia bukan biawak yang diharamkan,ia hanya bisa hidup digurun (cari gambarnya di google dengan mengklik “ضب”

20 .HR Bukhary (3456)

21 .HR Bukhary (3445)

22 .lihat : ArRad AlQawy (87)

23 .Al I’tisham (1/367)

24 .HR muslim (1718)

Artikulli paraprakUstad Zaitun: Kehancuran Bangsa Bermula dari Kehancuran Keluarga
Artikulli tjetërAyat-ayat Yang Sering Disalah Persepsikan Masyarakat

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini